TIMES JATIM, JAKARTA – Setelah memicu polemik dan kontroversi, Revisi UU TNI akhirnya disahkan pada 23 Maret 2024 melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Revisi ini menjadi dasar hukum bagi peran dan eksistensi TNI dalam sistem pertahanan negara, serta kontribusinya dalam ruang publik sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang.
Perubahan ini menjadi perbincangan hangat, terutama di kalangan kelompok masyarakat sipil (civil society) yang khawatir akan potensi intervensi militer dalam kehidupan sipil, yang bisa mengancam prinsip-prinsip demokrasi, mengganggu hubungan sipil-militer, dan membukan jalan bagi keterlibatan TNI untuk masuk ke dunia politik praktis.
Secara keseluruhan, revisi ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan bagi TNI agar lebih adaptif terhadap tantangan kontemporer, baik yang bersifat domestik maupun global. Selama ini, TNI hanya berperan dalam bidang pertahanan negara, namun seiring dengan perkembangan ancaman yang semakin beragam dan kompleks.
TNI dianggap perlu diberi tugas dan fungsi tambahan untuk menangani berbagai isu yang lebih luas. Salah satu perubahan utama adalah pemberian mandat yang lebih besar kepada TNI dalam menangani operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.
Dalam hal ini, TNI bukan hanya terlibat dalam peran tradisionalnya sebagai penjaga kedaulatan negara, tetapi juga sebagai aktor yang berperan aktif dalam memelihara perdamaian dunia, sesuai dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Selain perluasan peran TNI pada institusi Kementerian/Lembaga, Revisi UU TNI juga mengatur tentang penambahan kewenangan operasi militer selain perang dan batasan usia pensiun anggota TNI.
Perluasan Peran TNI di Luar Struktur Militer
Revisi UU TNI yang baru disahkan memperkenalkan perubahan signifikan terkait peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) di luar struktur militer. Dalam RUU TNI yang telah dibahas, terdapat penambahan lima instansi yang kini bisa diduduki oleh prajurit aktif TNI, sehingga jumlahnya bertambah menjadi 14 instansi, dari sebelumnya hanya sembilan.
Instansi-instansi baru yang dapat diisi oleh TNI ini mencakup Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), serta Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).
Penambahan ini menunjukkan bahwa peran TNI tidak lagi terbatas pada fungsi pertahanan semata, tetapi juga merambah ke ranah-ranah yang bersinggungan langsung dengan isu-isu nasional seperti penanganan terorisme, pengelolaan perbatasan, serta mitigasi bencana.
Revisi ini membawa dampak pada peran TNI dalam sektor-sektor lain yang berhubungan langsung dengan kehidupan sipil. TNI kini diperbolehkan untuk membantu pemerintah dalam berbagai bidang, mulai dari keamanan, penanggulangan bencana alam, hingga pengamanan bagi tamu negara setingkat kepala negara.
Sebagai contoh, pasal yang mengatur tentang bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi penting, mengingat kerawanan sosial yang semakin meningkat di berbagai daerah.
Kekhawatiran Intervensi Militer dalam Kehidupan Sipil
Penambahan tugas dan instansi ini tentu saja tidak bisa dipandang remeh. Apakah hal ini akan memperkuat integrasi antara sektor militer dan sipil dalam menghadapi tantangan nasional, atau justru membuka celah bagi intervensi militer yang berlebihan dalam kehidupan sipil? Ini adalah pertanyaan penting yang harus dijawab dengan hati-hati oleh semua pihak yang terlibat dalam proses implementasi revisi UU TNI.
Kekhawatiran terkait potensi intervensi militer dalam kehidupan sipil memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sejak era reformasi, Indonesia telah menjaga hubungan yang hati-hati antara militer dan sipil, mengingat pengalaman masa lalu yang memperlihatkan dampak negatif dari keterlibatan TNI dalam politik praktis.
Revisi UU TNI yang memberikan kewenangan lebih luas kepada militer untuk mengisi instansi-instansi sipil, serta menambah tugas dalam berbagai sektor non-militer, berisiko membuka celah bagi terjadinya pergeseran batas antara fungsi militer dan sipil. Hal ini bisa menimbulkan ketegangan, apalagi dengan meningkatnya ketidakpastian sosial dan politik.
Sejak reformasi, hubungan sipil-militer di Indonesia telah dijaga dengan ketat agar TNI tidak terlibat dalam politik praktis, mengikuti prinsip demokrasi yang kuat. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada TNI dalam berbagai sektor bisa menjadi pedang bermata dua, di satu sisi meningkatkan kapasitas negara untuk menghadapi tantangan, namun di sisi lain berisiko memicu kembali ketegangan antara pihak militer dan sipil.
Untuk memastikan penambahan tugas dan kewenangan TNI tidak mengancam prinsip demokrasi, perlu adanya regulasi baru yang menetapkan pembatasan jelas mengenai peran militer dalam menjalankan tugasnya, serta mengutamakan transparansi dan akuntabilitas atas semua tindakan yang dilakukan oleh TNI.
Selain itu, perlu ada mekanisme pertanggungjawaban dan sanksi bagi anggota TNI yang melampaui kewenangannya, guna menghindari penyalahgunaan wewenang/kekuasaan (abuse of power).
Penting juga untuk memberikan pendidikan dan pelatihan khusus bagi anggota TNI yang menduduki jabatan sipil, agar mereka lebih kompeten, memahami batasan tugas dan tanggung jawabnya, serta tetap profesional tanpa terlibat dalam politik praktis.
Setiap langkah yang diambil oleh TNI dalam melaksanakan tugas baru tersebut, harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian (good faith) dan selalu menghormati prinsip-prinsip demokrasi (democratic principles) serta supremasi hukum (supremacy of law).
Secara keseluruhan, revisi UU TNI ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas militer dalam menghadapi ancaman modern yang semakin kompleks, sekaligus mendukung stabilitas nasional dan internasional.
Namun, untuk menjaga keseimbangan yang sehat antara militer dan tidak merusak prinsip-prinsip demokrasi yang telah lama dibangun di Indonesia, TNI harus tetap profesional, independen, dan berkomitmen untuk menjaga stabilitas negara tanpa terlibat dalam politik praktis.
***
*) Oleh : Syafiqurrohman, Asisten Ombudsman Republik Indonesia dan Direktur LKBH DPD KNPI DKI Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |