TIMES JATIM, LAMONGAN – Indonesia sedang berjalan menuju titik genting, di mana ekonomi dan politik tidak lagi beriringan, melainkan saling menekan. Saat keduanya bertemu dalam kondisi rapuh, maka yang lahir bukan sinergi, melainkan krisis. Dan saya melihat, tahun 2026 bisa menjadi tahun di mana ledakan besar itu terjadi.
Hari ini, subsidi menjadi bom waktu fiskal. Bertahun-tahun pemerintah membangun ilusi kesejahteraan melalui subsidi energi dan pangan, tanpa membenahi struktur ekonomi secara mendasar.
Ketika harga komoditas global naik, rupiah melemah, dan utang membengkak, maka subsidi tak lagi bisa ditanggung. Pemerintah akan dipaksa mencabutnya secara drastis dan ketika itu terjadi, harga melonjak, rakyat terpukul, dan gejolak sosial tak terhindarkan.
Rupiah di angka Rp18.000 per dolar bukan lagi spekulasi. Ini adalah sinyal rapuhnya fundamental ekonomi kita. Ketergantungan pada impor, defisit transaksi berjalan, dan capital outflow akan menggerus nilai tukar.
Kenaikan dolar akan menghantam harga-harga domestik, memperbesar utang luar negeri, dan memicu krisis neraca pembayaran.
Namun yang lebih berbahaya adalah situasi politik yang tidak stabil. Di saat krisis ekonomi memuncak, Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo berada di persimpangan jalan kekuasaan.
Transisi yang tidak tuntas, tarik-menarik kepentingan, dan dualisme loyalitas elite memperlemah ketegasan negara. Di balik layar, konflik laten antara kekuatan TNI dan Polri, yang selama ini ditekan dalam stabilitas semu, bisa mencuat ke permukaan.
Tak hanya itu, kekuatan besar seperti Pertamina, yang menguasai hajat hidup orang banyak, juga rentan diseret dalam pertarungan kepentingan. Bahkan kekuatan oligarki ekonomi yang dikenal sebagai "9 Naga" mulai memainkan peran.
Mereka bukan hanya pemilik modal, tetapi juga pengendali narasi, jaringan politik, dan bahkan institusi hukum. Jika para naga ini pecah kongsi, maka ekonomi bisa dijadikan alat tawar politik, bukan lagi instrumen pembangunan.
Bayangkan, saat subsidi dicabut, dolar meroket, rakyat resah, dan elite saling berebut kendali, maka negara benar-benar berada di ambang krisis multidimensi bukan hanya ekonomi dan politik, tetapi juga sosial dan keamanan.
Oleh karena itu, 2026 bukan hanya tahun ujian, tapi titik balik sejarah. Apakah bangsa ini mampu bersatu di tengah badai, atau justru tercerai-berai oleh kepentingan sendiri-sendiri.
Jangan salahkan keadaan luar karena krisis yang akan datang, adalah hasil dari kekacauan internal yang dibiarkan tumbuh terlalu lama.
Waktunya berpikir jernih, bertindak tegas, dan menyatukan arah. Sebelum semuanya terlambat. (*)
***
*) Oleh : Dr. H. Abid Muhtarom, SE., S.Pd., M.SE., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Negara di Ambang Krisis Ekonomi dan Politik
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |