https://jatim.times.co.id/
Opini

Keteduhan Payung Hukum dalam Pesantren

Minggu, 12 Oktober 2025 - 23:31
Keteduhan Payung Hukum dalam Pesantren Husnul Hakim, SY., MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Wakil sekretaris PCNU Kab Malang, Pemerhati kebijakan dan Hukum.

TIMES JATIM, MALANG – Jika kita membaca sejarah lahir dan berdirinya sebuah pesantren ratusan tahun yang lalu, kita akan diperlihatkan pada hal-hal unik dan sederhana bagaimana pesantren lahir, berdiri dan berproses dari kesederhanaan. 

Satu hal yang istimewa juga kita bisa lihat bagaimana cara pesantren untuk bertahan dan tumbuh kemudian mendapat kepercayaan masyarakat, kuncinya adalah kesederhanaan dan keihklasan sang kiai membimbing para santri dan masyarakat sekitarnya. 

Bagaimana sang kiai dengan kesabaran, keihklasan dan pengabdian serta penuh semangat ke istikomahan membersamai santri, mengajarkan bukan hanya tentang adab dan ilmu agama saja, akan tetapi mengajarkan tentang hidup dan kehidupan, tentang sabar, tentang ikhlas, dan kesetiaan terhadap ilmu dan mengamalkan ilmunya. 

Kita bisa lihat di banyak pesantren, khususnya yang sudah berumur ratusan tahun, mulai dari pesantren Lirboyo, Ploso, Sidogiri, Tebuireng, dan lainya, mereka memulai dari bawah atap yang mungkin bocor dan dinding yang rapuh dalam sejarahnya, namun tersimpan semangat panjang tentang ilmu, adab, dan pengabdian. 

Menjelang peringatan Hari Santri Nasional 2025 ini, terlebih dengan adanya musibah pesantren Alkhoziny, mulai bermunculan kegelisahan atas kehadiran negara, atas keberpihakan negara kepada pesantren. 

Pertanyaan yang sering muncul, kenapa negara hadir setengah hati? Padahal pesantren sudah ada sejak sebelum republik ini ada, bahkan ratusan tahun sebelumnya, dan menjadi ruh perjuangan kemerdekaan bangsa ini.

Kenapa saya katakan setengah hati? Pada tahun 2019, lahirlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Bagi banyak kalangan, ini dianggap momen bersejarah, negara akhirnya memberikan pengakuan hukum kepada lembaga yang selama ratusan tahun berjalan dan terpaksa mandiri. 

Undang-undang ini disebut sebagai payung hukum bagi pesantren, tanda resmi bahwa negara mengakui, menghormati, dan berjanji untuk mendukung serta menjadikan pesantren sebagai mitra dalam pemberdayaan, dakwah dan mencerdaskan anak bangsa. Begitulah salah satu narasi dalam UU tersebut.

Namun setelah lima tahun berlalu, banyak yang mulai bertanya dalam diam: “Apakah payung itu benar-benar meneduhkan, atau hanya sekadar tanda hujan sudah datang?”, karena sampai hari ini belum ada kejelasan aturan turunannya apalagi anggaranya, disebutpun dalam APBN kita tidak. 

Melalui UU Pesantren, negara sebenarnya telah mengakui eksistensi lembaga pendidikan Islam yang selama ini tumbuh secara organik di tengah masyarakat. Ia memberi kepastian hukum dan menegaskan tiga fungsi utama pesantren diantaranya pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. 

Artinya bahwa pesantren kini bukan lagi dipandang sebagai lembaga keagamaan tradisional semata, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan sosial yang ikut membangun bangsa.

Namun sebagaimana payung tanpa penyangga, UU ini tak akan berguna tanpa implementasi yang nyata. Banyak pesantren, terutama pesantren kecil dan salafiyah, jika kita lihat pesantren didaerah pinggiran Kabupaten Malang misalnya, belum merasakan hangatnya perlindungan dari regulasi tersebut. Anggaran yang dijanjikan sering kali tersangkut di meja birokrasi.

Bayangkan, pesantren yang dikelola seorang kiai dengan beberapa santri harus berhadapan dengan formulir, data digital, dan syarat administratif yang rumit dan ruwet bagi seorang kiai dan ustad pesantren, dimana mereka yang kita tahu setiap harinya berkutat dengan kajian kitab dan ilmu agama saja. 

Kemudian banyak dari mereka akhirnya menyerah, bukan karena tidak layak dan tidak berhak, tetapi karena tidak mampu memenuhi mekanisme dari birokratis yang cenderung teknokratis yang dirancang tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan.

Birokrasi yang berbelit dan bahasa tehnokrasi yang kaku membuat pesantren tradisional tersisih dari akses bantuan. Payung hukum itu akhirnya lebih sering melindungi mereka yang sudah kuat, bukan yang paling membutuhkan. 

Padahal sejatinya yang paling membutuhkan adalah pesantren kecil didaerah pinggiran seperti di kabupaten Malang bagian Selatan, kecamatan Bantur, Gedangan, Donomulyo, Sumbermanjing wetan, dimana pesantren ini hanya mengelola pendidikan madrasah Diniyah saja dengan akses dan fasilitas yang sangat terbatas. 

Ketimpangan Akses dan Kesenjangan Kapasitas

Masalah lain yang mengemuka adalah kesenjangan dalam distribusi manfaat. Pesantren besar yang sudah mapan dan memiliki jaringan luas cenderung mudah mendapatkan akses. Sementara pesantren di pelosok, yang justru berfungsi sebagai tempat belajar bagi anak-anak masyarakat miskin, masih berjalan dengan sumber daya yang sangat terbatas dan fasilitas seadanya.

Banyak kita lihat di kabupaten Malang pesantren dengan fasilitas sederhana namun tetap dengan Istiqomah memberikan pelayanan pendidikan dan pengajaran ilmu agama, dan bahkan para santri ini digratiskan oleh kiainya, bukan hanya gratis dalam proses belajar tapi sampai pada makanya setiap hari.

Di sinilah ironi itu terasa. UU Pesantren hadir untuk memberdayakan, tetapi dalam praktiknya justru melahirkan lapisan baru, pesantren “berdaya” di satu sisi, dan pesantren “terpinggirkan” di sisi lain.

Kesenjangan ini tidak semata soal anggaran. Ini soal cara pandang. Selama pemerintah melihat pesantren hanya sebagai penerima bantuan, bukan sebagai mitra pembangunan, maka kesenjangan itu akan terus ada.

Salah satu amanat penting dalam UU Pesantren adalah pembentukan dana abadi pesantren. Gagasannya mulia, negara menyediakan sumber pendanaan berkelanjutan agar pesantren bisa berkembang tanpa bergantung pada belas kasihan atau sumbangan karitatif.

Namun hingga kini, janji itu masih menggantung. Tak ada mekanisme transparan, tak ada regulasi turunan yang jelas, dan tak ada peta jalan pendanaan yang berpihak. Yang muncul hanya bantuan insidental, kadang karena momen politik, kadang karena agenda seremonial.

Terakhir kita lihat, karena musibah pesantren Alkhoziny, inipun masih banyak yang mempertanyakan, kenapa harus pakai anggaran APBN. Mereka lupa bahwa pesantren hari ini posisinya sama dengan lembaga pendidikan modern lainya, karena memiliki dasar yang sama yakni berdasar kan UU. 

Padahal semangat UU ini jelas, menjadikan pesantren sebagai subjek pembangunan, bukan objek belas kasihan sosial.

Melalui kementrian Agama, Pemerintah memang telah mengeluarkan beberapa aturan turunan, seperti Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2020 tentang pendirian dan penyelenggaraan pesantren. Namun demikian aturan ini belum menyentuh substansi dari kebutuhan pesantren yang menjadi harapan selama ini. 

Misalnya, penguatan kapasitas, pendampingan kelembagaan, dan pembiayaan yang berkelanjutan. Dalam aturan itu masih sebatas administratif, sekadar menata legalitas dan prosedur pendirian.

Walaupun UU Pesantren punya kerangka hukum, namin belum punya ekosistem yang dibangun. Regulasi berjalan tanpa peta jalan yang seakan hanya untuk menyenangkan komunitas pesantren saja dan pesantren dibiarkan berjuang sendirian, sebagaimana mereka telah lakukan selama ratusan tahun.

Pesantren Sebagai Subjek, Bukan Sekadar Objek Kebijakan

Selama ini pemerintah, seperti kita tahu masih melihat Pesantren hanya sebagai obyek, belum menjadikan pesantren sebagai obyek. Cara pandang ini yang membuat pesantren selalu ditempatkan pada posisi penerima bantuan saja, perlu diatur dan ditata, bukan sebagai pihak yang memang berhak, sehingga tidak diberi ruang untuk turut menentukan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk pesantren.

Pemerintah tidak menyadari bahwa sesungguhnya pesantren memiliki kekuatan sosial dan spiritual yang luar biasa, mereka adalah penggerak moral, pengikat komunitas, dan penjaga tradisi. Sekecil apapun institusi pesantren, baik yang berada dipinggiran memiliki kekuatan yang membuat pesantren mampu bertahan dan mandiri hingga sekarang.

Pemerintah harus merubah paradigmanya jika ingin UU Pesantren menjadi payung yang meneduhkan, merubah dari anggapan bahwa pesantren harus ditempatkan sebagai obyek ke cara pandang bahwa pesantren merupakan subjek pemberdayaan, bukan penerima belas kasihan.

Saya tidak bisa membayang, dengan jaringan dan kultur pesantren yang luas dan kuat serta relatif memiliki kepercayaan masyarakat yang tinggi, akan sangat luar biasa jika pemerintah betul-betul menjadikan pesantren sebagai mitra aktif dalam pemberdayaan masyarakat dan mitra dalam pengentasan kemiskinan, dan membangun ekonomi umat serta pendidikan karakter nasional. Pesantren sesungguhnya adalah kekuatan pembangunan yang paling organik.

Coba kita lihat praktek baik yang sudah dilakukan oleh pondok pesantren Sidogiri, lewat koperasinya membangun pemberdayaan ekonomi masyarakat dan dengan toko waralabnya yang bernama "swalayan Basmallah". Ini bisa jadi contoh baik bagi pemerintah dalam menjadikan pesantren sebagai mitra pemberdayaan masyarakat.

Bahasa Birokrasi yang Tidak Ramah Pesantren

Selama ini, khususnya pesantren yang berada didaerah pinggiran dan masih Istiqomah dengan metode pengajaran salafiyah, tidak familiar dengan bahasa Birokrasi. Pesantren seperti ini lebih terbiasa dengan bahasa nilai, adab dan keberkahan. Sementara birokrasi berbicara dengan bahasa prosedur, angka dan laporan. Perbedaan inilah yang menjadikan jarak antara birokrasi dan tradisi yang ada dipesantren.

Jarak ini harus didekatkan dan dipertemukan agar terjadi satu pemahaman, dan tidak membingungkan. Sehingga apa yang diprogramkan oleh pemerintah untuk pesantren dapat diakses dengan baik. 

Mempertemukan keduanya menjadi hal penting, sehingga pemerintah tidak terjebak pada bahasa Birokrasi yang cenderung teknokratis dan pesantren dengan bahasa sederhana dan agamis.

Untuk mempertemukan keduanya, dibutuhkan pendampingan yang lebih inten, dengan bahasa sederhana dengan penuh empati, pendekatan yang di pakai oleh pemerintah juga harus lebih manusiawi, tidak hanya menekankan pada aspek administrasi saja dan pendekatan prosedural saja.

Lahirnya UU pesantren didasari keinginan agar negara memberikan pengakuan legal formal terhadap institusi pesantren dan kemudian ada perhatian terhadap pesantren dari negara. Perjuangannya pun tidak mudah, banyak tokoh, ulama, berbagai pesantren dan tokoh politik berlatar belakang pesantren turut memperjuangkan akan lahirnya UU pesantren ini. 

Sehingga UU ini sejatinya milik semua kalangan, utamanya kalangan pesantren, karena kelahirannya didorong oleh banyak pihak dan bukan atas usulan pemerintah. Oleh karena itu, pengawalan implementasinya pun harus dilakukan bersama-sama.

Perbaikan tatakelola, adaptif, dan inovatif dalam pengembangan pesantren perlu terus dilakukan, sebagai upaya dalam memperkuat kapasitas pesantren secara kelembagaan dan tetap menjaga kemandirian, namun demikian tetap pada jalur kesederhanaan sehingga tidak kehilangan ruh keihklasan yang memang menjadi jiwa perjuangan di pesantren.

Kemandirian pesantren yang sudah ada sejak kelahirannya ratusan tahun yang lalu, tidak kemudian membuat negara lepas tanggungjawab. Tugas negara tetap pada menjaga keadilan dan keberpihakannya yang nyata kepada pesantren, bukan sekedar pengakuan dalam kertas UU pesantren dan membiarkan pesantren terus berjuang sendiri tanpa ada keberpihakan dari negara.

Jika membaca UU pesantren ini, negara sebenarnya telah mengakui eksistensi lembaga pendidikan keagamaan Islam yang selama ini tumbuh secara organik di tengah masyarakat.

Namun demikian, UU pesantren ini belum sepenuhnya "meneduhkan" bagi kalangan pesantren. Pengakuan secara legal formal dalam UU juga penting, akan tetap kehadiran negara dalam memenuhi rasa keadilan dan keberpihakan terhadap pesantren menjadi sangat penting.

Kehadiran dan keberpihakan negara kepada pesantren harusnya masuk keruang-ruang sederhana tempat belajar santri, dapur pesantren yang sederhana dan masuk ke berbagai program pesantren dalam pemberdayaan masyarakat, dimana pesantren menanamkan nilai-nilai luhur dan pembangunan karakter kepada para santrinya. Negara harus hadir dengan program konkrit dan berbasis kebutuhan masing-masing pesantren.

Pesantren tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin negara yang adil dan empatik; negara yang memahami bahwa ketulusan bukan untuk dipolitisasi, tetapi untuk diberdayakan.

Jika payung hukum itu ingin benar-benar meneduhkan, maka ia harus disangga oleh keadilan sosial, keberpihakan anggaran, dan kebijakan yang memahami nilai-nilai pesantren bukan sekadar data, melainkan sebagai denyut moral bangsa. Sejatinya, sejak lama pesantren sudah meneduhkan negeri ini, tanpa janji, tanpa pamrih, dan tanpa undang-undang. (*)

***

*) Oleh : Husnul Hakim, SY., MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Wakil sekretaris PCNU Kab Malang, Pemerhati kebijakan dan Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.