TIMES JATIM, BOJONEGORO – Fenomena drama Korea di Indonesia sudah bukan sekadar tren tontonan. Ia telah menjadi bagian dari gaya hidup dan bahkan cara berpikir generasi muda. Dari Crash Landing on You hingga Queen of Tears, drama-drama Korea menyita perhatian bukan hanya karena alur ceritanya yang manis dan visual aktor-aktrisnya yang memesona, tapi karena mereka berhasil menyentuh sesuatu yang lebih dalam: kerinduan masyarakat terhadap kehangatan, empati, dan nilai kemanusiaan yang kerap hilang dalam realitas sosial kita sendiri.
Kita sering menyebutnya K-wave atau Hallyu, sebuah gelombang budaya populer Korea yang menyebar hingga ke ruang paling personal layar ponsel dan hati penontonnya. Tapi di balik hiburan yang tampak ringan itu, ada kekuatan kultural yang besar.
Drama Korea memadukan estetika sinematografi, kedisiplinan narasi, dan nilai-nilai tradisional seperti loyalitas keluarga, cinta tulus, kerja keras, hingga pengorbanan. Semuanya dibungkus dengan kemasan modern yang mudah diterima masyarakat global.
Di Indonesia, daya tarik itu tumbuh di tengah kekecewaan terhadap kualitas hiburan lokal yang sering kali klise. Drama kita sendiri kerap terjebak dalam pola lama: konflik keluarga tak berujung, akting berlebihan, dan jalan cerita yang dangkal.
Drama Korea, sebaliknya, menyuguhkan kedalaman emosional yang berpadu dengan kecermatan teknis, musik latar yang menyentuh, pencahayaan yang cermat, dan penokohan yang kuat.
Namun, fenomena ini juga perlu dibaca secara kritis. Popularitas drama Korea tak hanya soal “hiburan yang lebih baik”, tapi juga cerminan dinamika budaya konsumsi di Indonesia.
Ketika ribuan anak muda menonton drama Korea setiap malam, meniru gaya busana, bahkan mempelajari bahasa Korea, kita melihat bagaimana budaya global dapat dengan cepat membentuk identitas lokal. Ada kekaguman, tapi juga ketergantungan yang perlu disadari.
Pertanyaannya, mengapa drama Korea begitu lekat di hati masyarakat Indonesia? Salah satu jawabannya adalah karena mereka mampu menghadirkan emosi yang relevan dengan keseharian kita.
Kisah perjuangan kelas menengah, hubungan orang tua-anak, hingga dilema moral di tempat kerja, semuanya terasa dekat. Penonton tidak hanya menonton tokoh di layar, tapi melihat refleksi diri, apa yang mereka inginkan, takutkan, dan perjuangkan.
Selain itu, keberhasilan industri Korea bukanlah hasil kebetulan. Pemerintah mereka sejak lama membangun kebijakan ekonomi kreatif yang terintegrasi: investasi di sektor perfilman, dukungan pendidikan seni, hingga diplomasi budaya.
Hasilnya adalah industri hiburan yang bukan hanya menghibur, tapi juga menggerakkan ekonomi. Korea berhasil mengekspor bukan hanya produk, tapi juga gaya hidup dan nilai-nilai nasionalnya.
Sementara itu, Indonesia masih berkutat pada paradigma hiburan sebagai konsumsi, bukan sebagai strategi kebudayaan. Padahal, potensi kita sangat besar.
Dengan keragaman etnis, bahasa, dan cerita rakyat, Indonesia seharusnya bisa melahirkan drama yang mampu menembus batas global. Namun, yang sering absen adalah konsistensi, riset mendalam, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman sinetron formulaik.
Demam drama Korea bisa kita lihat sebagai tantangan sekaligus inspirasi. Tantangan karena ia menunjukkan betapa industri hiburan nasional belum maksimal.
Inspirasi karena ia membuktikan bahwa budaya bisa menjadi kekuatan ekonomi sekaligus diplomasi. Dari Squid Game hingga Reply 1988, kita belajar bagaimana narasi lokal bisa menjadi global jika digarap dengan integritas dan visi yang kuat.
Menariknya, banyak drama Korea yang justru menyinggung isu-isu sosial secara tajam: ketimpangan ekonomi, tekanan pendidikan, depresi, hingga konflik moral di dunia modern.
Mereka membalut kritik sosial dengan empati, bukan sensasi. Ini yang jarang dilakukan oleh sineas Indonesia mengkonstruksi kesadaran kritis tanpa kehilangan daya hibur.
Generasi muda Indonesia yang tumbuh dengan drama Korea sesungguhnya sedang belajar banyak tentang empati, estetika, dan cara bercerita. Tapi di sisi lain, mereka juga perlu disadarkan agar tidak hanya menjadi konsumen budaya asing.
Mereka harus didorong menjadi produsen narasi sendiri. Karena pada akhirnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menuturkan ceritanya sendiri kepada dunia.
Mungkin kita tak perlu meniru Korea secara mentah. Namun, kita bisa meniru semangatnya: merawat kreativitas dengan sistem, menghargai kerja keras seniman, dan menjadikan budaya sebagai identitas yang hidup.
Industri film dan drama kita perlu keluar dari jebakan pasar instan dan mulai berpikir strategis: bagaimana menciptakan karya yang tak hanya menghibur, tapi juga membangun peradaban.
Demam drama Korea boleh saja menghangat di Indonesia. Namun, semoga dari “panasnya layar” itu lahir pula bara semangat bagi sineas muda kita untuk menulis cerita tentang negeri sendiri, dengan keindahan dan kejujuran yang sama kuatnya. (*)
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |