TIMES JATIM, DENPASAR – Di tengah kuatnya tradisi Hindu di Bali, keberadaan Kampung Gelgel di Kabupaten Klungkung menyimpan kisah panjang tentang awal mula masuknya Islam ke Pulau Dewata. Desa ini menjadi saksi sejarah akulturasi budaya dan harmoni antarumat beragama yang masih terjaga hingga kini.
Kisah lahirnya Kampung Gelgel bermula pada abad ke-14, ketika 40 prajurit Majapahit beragama Islam datang ke Bali untuk mengawal kepulangan Raja Bali saat itu, Dalem Ketut Ngulesir (Ida Dalem Sri Aji Semara Kepakisan), usai menghadiri Sidang Paruman Agung di Majapahit pada tahun 1384 M.
Menurut Perbekel Desa Kampung Gelgel, Sahidin A.Ma, para prajurit tersebut dikirim langsung oleh Prabu Hayam Wuruk sebagai bentuk penghormatan dan legitimasi terhadap Dalem Ketut Ngulesir yang diakui sebagai penguasa sah Bali.
Pasukan rudat Gelgel yang tampil untuk mengisi acara Klungkung Heritage Festival 2025 (10/10/2025). Festival ini bertepatan dengan peringatan Abhiseka ke-15 Ida Dalam Semara Putra. (Foto: Heliavita Jasmine/TIMES Indonesia)
“Sejarah yang kami terima dari turun-temurun menyebut, 40 prajurit Majapahit inilah cikal bakal masyarakat Muslim di Kampung Gelgel,” jelasnya.
Setelah kembali ke Bali, Dalem Ketut Ngulesir memindahkan pusat pemerintahan dari Samprangan (Gianyar) ke Gelgel. Para prajurit pengiring kemudian diberi tanah dan tempat tinggal di wilayah itu. Dari sinilah berdiri komunitas Muslim pertama di Bali yang kemudian mendirikan Masjid Nurul Huda, masjid tertua di Pulau Dewata.
Meski belum ada catatan tertulis mengenai tahun pembangunannya, masjid ini dipercaya berdiri sejak akhir abad ke-14 dan menjadi pusat kegiatan keagamaan warga Kampung Gelgel hingga sekarang.
Tradisi Megibung: Harmoni di Tengah Perbedaan
Hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu, warga Muslim Kampung Gelgel menjaga hubungan sosial yang erat melalui berbagai tradisi, salah satunya megibung — makan bersama dalam satu wadah besar.
Tradisi ini sudah dikenal sejak masa Dalem Waturenggong (1456–1550 M), namun di Kampung Gelgel, megibung disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kegiatan ini biasanya digelar saat Maulid Nabi, Idul Fitri, atau bulan Ramadan, dengan sajian makanan halal dan diawali doa serta shalawat bersama.
Gapura selamat datang Desa Kampung Gelgel berdiri anggun sebagai penanda bagi setiap pendatang yang memasuki kawasan desa Muslim pertama di Bali ini. (Foto: Heliavita Jasmine/TIMES Indonesia)
Menariknya, tradisi megibung di Gelgel sering dihadiri tidak hanya oleh warga Muslim, tetapi juga tokoh Hindu, pejabat daerah, hingga keluarga Puri Klungkung. “Megibung masih rutin kami adakan, terutama pada bulan puasa. Kami juga mengundang pemerintah daerah dan pihak puri,” kata Masran, mantan Kepala Desa Gelgel (1998–2006).
Warisan Sejarah dan Kesenian Rudat
Selain masjid tua dan tradisi megibung, Kampung Gelgel juga menyimpan mimbar kayu jati berukir yang diperkirakan berusia lebih dari 250 tahun — salah satu peninggalan sejarah Islam tertua di Bali. Mimbar ini menjadi simbol perpaduan estetika Islam dan seni ukir Bali.
Namun, menurut Sahidin, tidak banyak peninggalan fisik yang tersisa dari masa awal penyebaran Islam di desa ini. “Kami tidak memiliki peninggalan dari masa awal kedatangan Muslim di Bali, tapi ada mimbar berusia sekitar 250 tahun yang masih digunakan untuk khutbah,” ujarnya.
Dari sisi budaya, desa ini juga dikenal lewat kesenian Rudat Gelgel, sebuah pertunjukan yang memadukan tarian, lantunan shalawat, dan gerakan silat. Kesenian ini menggambarkan kisah datangnya 40 prajurit Muslim ke Bali dan terus dilestarikan oleh generasi muda.
“Sekarang rudat sudah berkembang. Ada kelompok senior, junior, bahkan anak-anak,” tutur Masran.
Warisan Toleransi dan Akulturasi
Lebih dari enam abad berlalu, Desa Kampung Gelgel tetap menjadi bukti hidup bahwa perbedaan tidak harus memisahkan. Di tempat inilah nilai-nilai toleransi, persaudaraan, dan kebersamaan tumbuh sejak masa Majapahit dan terus dijaga hingga kini.
Masjid Nurul Huda, tradisi megibung, dan kesenian rudat menjadi penanda bahwa harmoni antaragama di Bali telah berakar kuat sejak lama — menjadikan Kampung Gelgel bukan sekadar desa bersejarah, tetapi juga simbol keindahan keberagaman Nusantara. (*)
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |