TIMES JATIM, MALANG – Ada masa dalam hidup di mana langkah terasa pelan, dunia tampak sunyi, dan apa yang kita lakukan seperti tak ada yang memperhatikan. Kita bekerja keras, berbuat baik, berdoa tanpa henti, tapi seolah semuanya lenyap di tengah kesunyian. Di sanalah manusia diuji. Ia menanam makna karena ingin dilihat orang, atau karena hatinya memang mencintai kebaikan itu sendiri.
Menanam makna di tanah sepi bukan sekadar metafora. Ia adalah cara hidup. Sebab di dalam setiap keheningan, selalu ada proses yang tak terlihat. Akar yang menembus bumi, benih yang perlahan tumbuh, air yang mencari jalannya tanpa suara.
Begitulah pula manusia yang tetap berbuat dalam diam. Ia tak butuh sorak-sorai, cukup yakin bahwa setiap kebaikan punya waktu untuk tumbuh meski dunia tak pernah menoleh.
Kita sering takut pada sepi. Padahal, dalam keheningan itulah keikhlasan ditempa. Di dunia yang ramai oleh pencitraan dan validasi sosial, diam menjadi perlawanan yang paling mulia.
Dalam Islam, ada satu dimensi amal yang sering luput: amal khafī, amal tersembunyi amal yang hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah. Tidak ada kamera, tidak ada sanjungan, tidak ada tepuk tangan. Tapi di sisi Tuhan, amal semacam itu justru yang paling harum.
Kesepian kadang bukan tanda ditinggalkan, tapi dipilihkan ruang untuk menata niat. Saat manusia kehilangan penonton, ia punya kesempatan untuk menemukan kejujuran hatinya. Karena yang tersisa hanyalah diri dan Tuhannya.
Di titik itu, manusia belajar bahwa makna hidup bukan diukur dari seberapa banyak orang tahu, tapi seberapa tulus ia memberi, walau tak pernah disebut.
Banyak orang menanam makna di tanah yang salah di tanah pencitraan, di ladang gengsi, di lahan ambisi. Mereka menanam agar dipuji, bukan agar tumbuh. Akhirnya, yang tumbuh bukan makna, tapi kehampaan.
Sementara itu, ada mereka yang menanam di tanah sepi: ibu yang sabar mengurus anak tanpa mengeluh, guru di pelosok yang mengajar tanpa kamera, nelayan yang berangkat subuh tanpa pernah viral. Mereka bukan siapa-siapa di mata dunia, tapi di sisi Allah, mereka adalah penjaga makna.
Al-Qur’an mengingatkan dalam surah Al-Zalzalah ayat 7-8: “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
Ayat ini sederhana, tapi dalam sekali. Ia mengajarkan bahwa kebaikan tidak butuh sorotan; cukup tanamkan, rawat, dan biarkan Tuhan yang menumbuhkan.
Ruang Menemukan Diri
Kesepian sering disalahpahami sebagai tanda kelemahan. Padahal, banyak orang besar justru menemukan cahaya dalam sunyi. Para nabi, ulama, dan sufi sering “dihantar” ke ruang sepi sebelum diamanahi tugas besar.
Rasulullah Saw ber-tahannuts di Gua Hira bukan karena ia lari dari dunia, tapi karena ia sedang mempersiapkan jiwa untuk menerima cahaya wahyu. Kesunyian itu suci, karena di dalamnya, manusia berhenti berpura-pura dan mulai mendengar suara hati.
Dalam perspektif psikologi eksistensial, manusia sejatinya selalu berhadapan dengan kesepian ontologis kesadaran bahwa ia akhirnya sendirian dalam makna hidupnya. Tapi di situlah kebebasan spiritual lahir: ketika seseorang berani menanam makna tanpa perlu ditemani sorak dunia.
Sepi bukan kutukan; ia adalah taman rahasia tempat makna tumbuh perlahan. Guru Saya Abuya Fadlan Masykuri pernah berkata dalam satu pengajiannya, “Allah tak pernah menilai seberapa besar panggungmu, tapi seberapa jujur langkahmu.”
Kalimat itu sederhana, tapi menggetarkan. Karena di zaman sekarang, jujur pada diri sendiri adalah perjuangan. Kita hidup di tengah masyarakat yang lebih mudah menilai tampilan daripada niat. Padahal, amal yang paling berharga justru yang dilakukan tanpa pamrih, tanpa perlu tahu siapa yang melihat.
Menanam makna di tanah sepi artinya menanam kebaikan tanpa berharap balasan dunia. Mungkin tidak akan viral, tidak akan diberi penghargaan, bahkan bisa jadi dilupakan. Tapi yakinlah: yang menanam untuk Allah, akan dipanen oleh Allah, bukan oleh manusia.
Menanam makna di tanah sepi bukanlah kesia-siaan, tapi jalan sunyi menuju kematangan jiwa. Dunia mungkin tak mencatat nama orang yang diam-diam menebar kebaikan, tapi langit mengenalnya dengan baik.
Setiap langkah kecil yang kita ambil dalam kejujuran akan menjadi saksi di hadapan Tuhan. Tidak ada yang benar-benar hilang di hadapan-Nya. Semua yang dilakukan dengan cinta dan ketulusan akan kembali, meski entah kapan. Maka teruslah menanam, meski tak ada yang bertepuk tangan.
Teruslah berbuat, meski dunia sibuk dengan dirinya sendiri. Karena makna sejati tak tumbuh di tanah ramai ia hanya tumbuh di tanah sepi, yang disirami air ikhlas dan dijaga oleh tangan sabar. “Yang menanam di tanah sepi, kelak akan menuai di taman keabadian.”
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |