https://jatim.times.co.id/
Opini

Kesejahteraan Dosen dan Ironi Kemiskinan Akademik

Jumat, 23 Mei 2025 - 17:43
Kesejahteraan Dosen dan Ironi Kemiskinan Akademik Chandra Dinata, Peneliti dan Dosen Program Studi Administrasi Publik, Universitas Merdeka Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Dalam narasi pembangunan nasional, dosen sering digambarkan sebagai agen perubahan, pemikul tanggung jawab pendidikan tinggi, dan penjaga nilai-nilai intelektual bangsa. Namun, pujian simbolik itu kontras dengan realitas keseharian banyak dosen, terutama yang mengabdi di perguruan tinggi swasta kecil atau berstatus honorer.

Diskusi Redaksi Kompas bertajuk “Menakar Kesejahteraan Dosen: Gaji Tak Sesuai Dedikasi?” (28 Mei 2025) menyoroti bagaimana sebagian dosen di Indonesia hidup dalam kondisi ekonomi yang mengkhawatirkan. 

Sebagaimana yang dituliskan oleh kompas.com tentang seorang dosen di Pamekasan, hanya menerima gaji tetap sebesar Rp 300.000 per bulan, jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) (Kompas.com-09/03/2024).

Ketimpangan Struktural

Data menunjukkan kesenjangan kesejahteraan yang tajam. Dosen PNS di PTN menerima gaji pokok antara Rp 3,5 juta hingga Rp 5,9 juta, ditambah tunjangan profesi dan kehormatan (Kompas.com, 2024). 

Sebaliknya, dosen honorer atau kontrak di PTS hanya mendapat honor per jam yang kerap tidak menutup biaya hidup layak. Survei Serikat Pekerja Kampus (SPK) terhadap 1.200 responden menunjukkan 61% dosen berpenghasilan bersih di bawah Rp 3 juta per bulan.

Jika dibandingkan dengan standar Bank Dunia sebesar $3,65 per hari (sekitar Rp 1,8 juta per bulan per orang), banyak dosen Indonesia masuk kategori "rentan miskin", meskipun tidak diakui secara resmi oleh standar BPS. 

Hal ini sejalan dengan kritik Amartya Sen terhadap pendekatan kemiskinan yang terlalu teknokratis dan gagal menangkap dimensi sosial yang lebih luas seperti ketidakamanan, ketergantungan, dan kehilangan daya tawar.

Kampus dalam Cengkeraman Rasionalitas Pasar

Komersialisasi pendidikan tinggi telah menggeser nilai dasar kampus sebagai ruang publik dan pusat pencarian kebenaran. Sejak diterapkannya kebijakan otonomi kampus dan status PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum), universitas dipaksa mencari pembiayaan mandiri, membuka pintu selebar-lebarnya bagi logika pasar. 

Adorno bersama Horkheimer dalam tulisannya ”Dialectic of Enlightenment” (1947), menyebut fenomena ini sebagai rasionalitas instrumental: pendidikan dipandang sebagai sarana mencapai efisiensi ekonomi, bukan sebagai proses pembentukan manusia utuh. 

Dosen didorong untuk memenuhi target kuantitatif seperti sitasi, akreditasi, dan jumlah publikasi, tetapi dipaksa melakukannya dengan gaji rendah, beban kerja tinggi, dan minim perlindungan sosial.

Lebih ironis lagi, dosen harus menjalankan Tri Dharma seperti mengajar, meneliti, dan mengabdi, tanpa jaminan kelayakan hidup. Mereka menjadi “pekerja intelektual murah” dalam ekosistem akademik yang makin teknokratis dan birokratis.

Kondisi ini mencerminkan apa yang dikritik oleh Syed Hussein Alatas dalam Minda Tertawan (1977): intelektual yang gagal membebaskan pikirannya dari dominasi struktur dan nilai-nilai luar yang tidak relevan dengan realitas lokal. Intelektual terjajah adalah mereka yang kehilangan daya kritis karena terlalu sibuk melayani kepentingan administratif, imitasi metodologis, dan tuntutan birokrasi kampus. 

Bagi Alatas, intelektual seharusnya menjadi pemimpin moral, pengusung perubahan sosial, dan penggerak pembebasan. Namun dalam sistem kampus neoliberal, dosen justru menjadi bagian dari mesin status quo, dipekerjakan, diukur, dan diberi insentif bukan karena gagasan, tetapi karena angka.

Senada dengan itu, Tom Nichols dalam The Death of Expertise (2017) menyoroti erosi kepercayaan atas kepakaran dari akademisi di tengah era disinformasi dan populisme digital. Namun lebih dari itu, Nichols juga mengkritik para akademisi sendiri yang kehilangan integritas moral, terlalu nyaman dalam menara gading, atau terlalu patuh terhadap birokrasi, sehingga kehilangan makna publiknya sebagai intelektual.

Di Indonesia, kita menyaksikan versi yang lebih getir: ketika dosen tak hanya kehilangan suara, tetapi juga penghidupan yang layak. Maka “matinya kepakaran” bukan hanya soal penolakan publik terhadap intelektual, tetapi juga matinya komitmen negara untuk melindungi dan memanusiakan para pendidik.

Ketimpangan Kebijakan dan Hegemoni Kekuasaan

Mengapa negara membiarkan kesenjangan struktural dalam dunia pendidikan tinggi? Jawaban kritis dapat ditemukan dalam kerangka hegemoni Gramscian, yaitu dominasi kelas penguasa yang dilegitimasi melalui konsensus semu dan direproduksi oleh kebijakan negara. 

Dalam konteks ini, regulasi seperti UU No. 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen memang mengakui peran dosen sebagai pendidik profesional, tetapi tidak secara eksplisit menjamin standar minimum kesejahteraan bagi dosen tidak tetap (honorer).

Lebih jauh, Perpres 10/ 2016 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menegaskan sistem remunerasi yang hanya menjangkau dosen PNS atau yang berada dalam institusi negeri, tanpa memuat skema keberpihakan pada dosen kontrak atau yayasan. 

Sementara itu, Permendikbudristek 53/2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, yang menjadi dasar transformasi kebijakan pendidikan tinggi, tetap menekankan output publikasi dan kinerja tridharma tanpa menjamin pemerataan dukungan infrastruktur, pendanaan penelitian, atau kejelasan karier bagi dosen di kampus-kampus non-unggulan.

Kebijakan yang bias struktural ini justru memperlebar jurang antara idealisme profesi dosen dengan realitas akses terhadap sumber daya negara. Dosen di perguruan tinggi swasta kecil, khususnya yang ’non-elit’, seringkali hanya difungsikan sebagai tenaga pengajar, tanpa ruang aktual untuk meneliti atau mengadvokasi kebijakan pendidikan. Mereka tak lebih dari “pelengkap sistem”, bukan pilar strategis pembangunan intelektual bangsa.

Reformasi yang Mandek dan Warisan yang Tertinggal

Reformasi 1998 pernah menjanjikan demokratisasi dan keadilan sosial, termasuk di sektor pendidikan. Namun sebagaimana dikatakan David Harvey (2005) dalam A Brief History of Neoliberalism, banyak negara pasca-reformasi justru melakukan roll-back terhadap tanggung jawab negara. Negara mundur dari pembiayaan publik dan mendorong pasar masuk ke ruang-ruang strategis, termasuk kampus.

Akibatnya, dosen yang semestinya menjadi penjaga nalar publik, berubah menjadi “kelas pekerja terdidik” tanpa perlindungan. Mereka menjadi bagian dari precariat, istilah Guy Standing untuk menggambarkan kelompok profesional yang hidup dalam ketidakpastian struktural dan terpinggirkan secara institusional.

Saatnya Menata Ulang Peran Intelektual

Masalah kesejahteraan dosen bukan sekadar soal gaji rendah. Ini adalah gejala dari krisis yang lebih besar, yakni pengabaian terhadap makna pendidikan, degradasi fungsi intelektual, dan penyusutan peran negara dalam membangun peradaban.

Dosen yang tercerabut dari martabat sosial dan kesejahteraan ekonominya akan sulit melahirkan pemikiran kritis, apalagi membela kepentingan rakyat.

Reformasi pendidikan yang sejati harus dimulai dari keberanian negara menata ulang sistem pembiayaan kampus, menyusun ulang kebijakan tenaga pendidik, dan memulihkan otonomi intelektual dosen sebagai aktor transformasi sosial. 

Jika tidak, maka yang akan lahir dari ruang kelas bukanlah generasi pemikir, tetapi generasi patuh tanpa daya kritis, tanpa keberanian, dan tanpa masa depan.

***

*) Oleh : Chandra Dinata, Peneliti dan Dosen Program Studi Administrasi Publik, Universitas Merdeka Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.