https://jatim.times.co.id/
Opini

Dakwah Kultural di Tengah Revolusi Digital

Jumat, 10 Oktober 2025 - 17:36
Dakwah Kultural di Tengah Revolusi Digital Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H. Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

TIMES JATIM, BANYUWANGI – Perubahan zaman kerap datang tanpa mengetuk pintu. Dunia kini sedang berada dalam pusaran revolusi digital yang menembus batas waktu, ruang, dan bahasa. Teknologi tidak hanya mengubah cara manusia bekerja, berinteraksi, dan belajar, tetapi juga cara beragama dan berdakwah. 

Di Indonesia, ruang dakwah kini tak lagi terbatas di mimbar atau majelis, tetapi meluas ke layar-layar smartphone. Dai, santri, dan guru ngaji berlomba-lomba menyampaikan pesan Islam melalui video pendek, podcast, hingga desain grafis.

Namun, di tengah gegap gempita modernisasi ini, ada satu hal yang perlahan memudar: aksara Pegon. Huruf Arab yang disesuaikan untuk menulis bahasa Jawa, Sunda, dan Madura itu dulunya menjadi jembatan ilmu antara langit wahyu dan bumi Nusantara. 

Dari pesantren ke kampung, dari kitab kuning ke naskah-naskah hikmah, Pegon menjadi medium utama penyebaran Islam yang membumi. Kini, di era ketika layar menggantikan lembaran kertas, Pegon seolah berdiri di persimpangan antara kelestarian dan kepunahan.

Di Banyuwangi, misalnya, banyak pesantren mulai menggeser pembelajaran kitab klasik ke bentuk digital. Santri lebih akrab dengan teks PDF ketimbang manuskrip tua. Papan tulis elektronik menggantikan tinta dan kertas. Meski demikian, transformasi ini tidak sepenuhnya berarti kehilangan. 

Justru, di sela arus digitalisasi, muncul upaya untuk menghidupkan kembali Pegon dalam bentuk baru, Pegon digital. Aplikasi keyboard Pegon, situs pembelajaran daring, dan komunitas literasi pesantren mulai bermunculan. Mereka menyebutnya sebagai bentuk “Pegonisasi Digital”, yaitu gerakan untuk membawa warisan literasi Islam Nusantara ke dunia maya (Fauzi, 2024).

Dakwah dan Perubahan Paradigma

Dalam kacamata teori komunikasi budaya, pergeseran dari tulisan Pegon ke dunia digital bukan sekadar soal media, melainkan perubahan paradigma. Marshall McLuhan (1964) pernah menyatakan bahwa “the medium is the message.” 

Artinya, media tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi turut membentuk cara berpikir dan bertindak manusia. Ketika dakwah berpindah dari kertas ke layar, dari kitab ke konten digital, cara memahami agama pun ikut berubah.

Sosiolog Pierre Bourdieu (1991) menyebut bahasa dan simbol sebagai modal kultural aset yang memberi legitimasi sosial dan makna. Dalam konteks ini, Pegon merupakan simbol modal kultural Islam Nusantara, yang merepresentasikan harmoni antara wahyu dan budaya lokal. 

Sementara Roland Robertson (1995) dalam konsep glocalization menjelaskan bahwa globalisasi bukan hanya tentang hilangnya lokalitas, tetapi juga tentang bagaimana budaya lokal menyesuaikan diri dan tetap hidup di tengah arus global.

Dari teori ini kita bisa melihat bahwa digitalisasi Pegon bukan bentuk penghancuran tradisi, melainkan proses penyesuaian. Pegon memasuki fase baru dari pena ke pixel, dari manuskrip ke media sosial. 

Sementara itu, menurut Manuel Castells (2010), kekuatan di era digital tidak lagi dimonopoli lembaga besar, tetapi berada di tangan mereka yang mampu menciptakan dan menyebarkan makna. 

Dalam konteks ini, pesantren, santri, dan komunitas kultural memiliki peluang besar untuk menjadikan Pegon digital sebagai sarana dakwah baru yang berpijak pada akar budaya sendiri.

Namun, setiap perubahan selalu memunculkan perdebatan. Sebagian pihak optimis bahwa dunia digital adalah peluang bagi kebangkitan Pegon. Menurut mereka, teknologi memungkinkan naskah-naskah kuno diselamatkan dari kepunahan melalui digitalisasi. 

Situs seperti Aksara Pegon Nusantara dan aplikasi Pegon Keyboard menjadi jembatan bagi generasi muda untuk kembali mengenal huruf leluhurnya (Aziz, 2023). Dalam pandangan ini, digitalisasi bukanlah ancaman, melainkan media dakwah yang memperluas jangkauan tanpa meninggalkan akar tradisi.

Namun, di sisi lain, ada yang memandang langkah ini sebagai bentuk desakralisasi. Para kiai sepuh berpendapat bahwa Pegon bukan sekadar aksara, melainkan warisan spiritual. Membawanya ke media sosial yang penuh hiburan dan konten instan dianggap menurunkan martabatnya. 

Mereka khawatir nilai adab dan kedalaman makna Pegon akan hilang ketika dikemas dalam bentuk konten. Selain itu, keterbatasan literasi digital di kalangan pesantren pedesaan menjadi kendala nyata. Tidak semua kiai dan santri memiliki akses teknologi atau kemampuan mengelola platform digital secara efektif (Rahman, 2022).

Debat ini menggambarkan benturan antara sakralitas dan efisiensi, antara menjaga ruh dengan menyesuaikan zaman. Tapi mungkin, solusi terbaik bukan memilih salah satu, melainkan mencari titik temu. Sebab, Islam sendiri selalu mengajarkan keseimbangan antara masa lalu dan masa depan, antara nilai dan inovasi.

Dari Pesantren ke Platform Digital

Perubahan besar sedang terjadi di pesantren-pesantren Banyuwangi dan sekitarnya. Beberapa lembaga seperti Pesantren Al-Amien dan Pesantren Mambaul Ulum kini membuka kelas Pegon Digital. 

Santri tidak hanya belajar membaca kitab klasik, tetapi juga menulisnya di laptop, membuat infografik dakwah, bahkan menciptakan desain konten dalam huruf Pegon. Mereka menggabungkan ilmu agama dengan keterampilan digital sesuatu yang dulu tak terbayangkan di dunia pesantren.

Kementerian Agama RI pun turut berperan dengan program Digitalisasi Naskah Keagamaan Pesantren yang diluncurkan sejak 2023. Ribuan naskah Pegon kini diarsipkan dan diakses publik secara daring (Kemenag RI, 2023). Inisiatif ini tidak hanya melestarikan warisan literasi Islam, tetapi juga membuka jalan bagi penelitian lintas generasi.

Gerakan ini diperkuat oleh media sosial. Akun seperti @PegonDigital, @SantriLiterasi, dan @IslamNusantaraTV rutin memproduksi konten edukatif. Bahkan, desainer muda Banyuwangi mulai membuat font Pegon modern yang bisa digunakan di perangkat digital. Semua ini menunjukkan bahwa Pegon tak lagi terkungkung di rak kitab kuning, tetapi telah menjelma menjadi bahasa kreatif yang menembus dunia maya.

Kebangkitan Pegon digital membawa sejumlah kontribusi besar bagi Islam Nusantara dan kehidupan sosial keagamaan Indonesia. 

Pertama, ia menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Melalui Pegon digital, pesantren dapat tetap berakar pada warisan ulama terdahulu sambil berbicara dalam bahasa generasi sekarang. 

Kedua, Pegon digital menjadi alat dakwah kultural bukan sekadar menyampaikan ajaran agama, tetapi juga menjaga bahasa, estetika, dan cara berpikir khas masyarakat Jawa dan Madura.

Ketiga, gerakan ini mengubah wajah pendidikan Islam tradisional. Pesantren kini bukan hanya pusat ilmu agama, tetapi juga ruang inovasi digital. Santri diajak tidak hanya membaca kitab, tetapi juga memproduksi pengetahuan. Mereka belajar bahwa menulis status dakwah di media sosial dengan huruf Pegon sama berharganya dengan menyalin kitab klasik di kertas kuning. 

Keempat, revitalisasi Pegon menjadi bagian dari diplomasi budaya Islam moderat Indonesia. Dunia kini mencari model Islam yang damai, terbuka, dan menghargai budaya. Melalui Pegon digital, Indonesia bisa menunjukkan wajah Islam yang tidak anti-teknologi, tetapi bersahabat dengan perubahan (Nurhayati, 2024).

Dakwah digital tidak harus selalu berkiblat pada gaya modern Timur Tengah atau retorika urban. Islam Nusantara dengan Pegonnya memiliki kekayaan lokal yang bisa tampil secara global. Ia membawa warna baru di tengah homogenisasi budaya global: warna yang lembut, bijak, dan penuh kearifan lokal.

Revolusi digital memang mengubah cara manusia menulis sejarah. Tapi bagi Islam Nusantara, perubahan ini juga membuka ruang untuk menulis ulang masa depan. Ketika santri Banyuwangi menulis doa, syair, atau pesan dakwah dengan huruf Pegon di layar digital, mereka sebenarnya sedang meneruskan tradisi para ulama terdahulu dengan medium baru.

Pegon digital bukan sekadar nostalgia terhadap masa lalu, tetapi langkah strategis untuk menjaga kesinambungan identitas Islam Nusantara di dunia global. Ia membuktikan bahwa dakwah tidak hanya milik ceramah, tetapi juga milik inovasi. Dan bahwa kesucian ilmu tidak terletak pada medianya, melainkan pada niat, makna, dan nilai yang dibawanya.

Dari Pegon ke pixel, dari manuskrip ke media sosial, Islam Nusantara terus bertransformasi tanpa kehilangan jati dirinya. Tantangan digitalisasi bukan alasan untuk mundur, melainkan peluang untuk berinovasi. Selama nilai dijaga dan tradisi dihormati, dakwah akan terus menemukan jalannya di setiap zaman.

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H. Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.