TIMES JATIM, PONOROGO – Andai beliau berumur panjang sampai ke zaman di mana kita hidup sekarang, barangkali KH. Imam Zarkasyi pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor bakal dituntut macam-macam. Bagaimana tidak, beliau merobek ijazah seorang alumni yang kedapatan tidak sabar ingin mendapatkan selembar ijazah hasil belajarnya selama bertahun-tahun di Gontor.
Pasalnya, Pak Zar, begitu biasa beliau disapa, memandang santri tersebut telah bersikap tidak beradab, sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan yang selama ini diajarkan di Pondok Gontor. Sehingga ijazah yang dianggap berharga itu menjadi tidak begitu penting di mata Kiai Zarkasyi manakala si santri sudah kehilangan adabnya.
Suatu ketika, sebagaimana diceritakan dalam buku biografi beliau, KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern (Unida Gontor, 2016, cet.II), seorang alumnus yang baru tamat satu tahun dengan nilai amat memuaskan (Mumtaz) itu datang ke Gontor menghadap sekretaris untuk meminta ijazah. Seperti biasa sekretaris meminta izin terlebih dahulu kepada KH. Imam Zarkasyi sekaligus meminta tanda tangan beliau selaku pimpinan pondok.
Disebabkan satu dan lain hal persoalan administrasi, alumnus itu merasa urusannya dipersulit sehingga ia memaksa untuk segera mendapatkan ijazahnya. Kejadian itu sampailah ke telinga Kiai Zarkasyi.
“Tulis ijazahnya dan panggil anaknya kemari!” perintah Pak Zar. Setelah perintah ditunaikan, sekretaris akhirnya membawa alumnus tersebut berikut ijazah yang sudah diproses ke hadapan Kiai Zarkasyi.
“Siapa namamu? Lihat! Apakah dalam ijazah ini benar namamu?” tanya Pak Zar dengan sorot mata tajam.
“Benar,” Jawab alumnus tersebut. Apa yang terjadi? Ijazah itu langsung diambil oleh Pak Zar, dan dengan sangat marah beliau merobek-robek ijazah yang sudah ditandatanganinya itu sambil berkata dengan nada penuh ketegasan.
“Kamu ini cerdas, tapi karena mentalmu dan kecongkakanmu, kamu tidak berhak mendapatkan ijazah ini! Pergi sana!” ujar beliau yang tentu sesuatu yang paling tidak diinginkan oleh santri.
Bisa dibayangkan bagaimana gemetarnya santri tersebut. Urusan yang dipandangnya seolah sepele bagi si santri, menjadi persoalan besar di mata Kiai Zarkasyi. Itu karena bukan semata selembar ijazah, tapi urusan sikap mental dan adab yang diabaikan oleh santri.
Sekali lagi pertanyaannya, jika itu terjadi di masa kini, selembar ijazah dirobek oleh seorang guru karena hal demikian, apa yang terjadi?
Namun lantaran sikap itu keluar dari ketulusan dan keikhlasan total seorang kiai yang tidak peduli pada apapun kecuali menginginkan pendidikan terbaik bagi santri-santrinya, hal seperti itu menjadi lumrah di mata para santri.
Sikap yang lahir dari keikhlasan seorang Kiai, seorang pendidik sejati, akan menembus ke dalam diri pribadi seorang murid tanpa disadari saat itu juga.
Lalu apa pandangan Kiai Zarkasyi soal ijazah itu sendiri?
“Kenyataan hasil ilmu, pribadi, dan kecakapanmu yang berguna bagi masyarakat itulah yang sebenar-benarnya ijazah dan surat keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat nanti,” Begitu wasiat beliau.
Berangkat dari sikapnya itulah lahir tokoh-tokoh kaliber nasional alumni Gontor yang dengan ketangguhan mentalnya mewarnai negeri ini. Sebut saja tokoh besar NU KH. Idham Chalid, cendekiawan muslim Nurcholis Madjid (Cak Nur), Ketua Umum Muhammadiyah Dien Syamsuddin, Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi, budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan banyak lagi.
Sebenarnya sikap pendidikan yang dilakukan oleh KH. Imam Zarkasyi bukanlah sikap yang lahir dari hasil coba-coba belaka. Secara prinsip, pendidikan di hampir semua pesantren memiliki benang merah yang sama.
Pandangan pemikiran pendidikan yang ditempuh oleh para kiai terhadap santrinya adalah lahir dari satu pandangan hidup (worldview) yang setali tiga uang, terlepas itu pondok modern ala Gontor atau pondok salafiyah khas Nahdlatul Ulama (NU).
Pandangan KH. Imam Zarkasyi sangat terang dan jelas. Dalam risalah Kuliah Umum Pekan Perkenalan yang sering disampaikan kepada para santri, beliau menegaskan tujuan pokok seorang santri datang ke pondok pesantren adalah ibadah tholabul ‘ilmi, bukan untuk menjadi pegawai.
“Pondok Modern Gontor bukan mendidik supaya pemudanya menjadi pegawai, tetapi menganjurkan agar supaya giat dalam tholabul ‘ilmi dengan suci, ibadah memenuhi perintah agama. Tentang nanti dapat menjadi pegawai atau tidak, tingkat berapa, sama sekali tidak menjadi dasar fikiran atau perhitungan. Bahkan diharap agar para pelajar nanti dapat menjadi orang yang dapat memimpin sesuatu usaha atau organisasi,” (Diktat Kuliah Umum Pekan Perkenlan Pondok Modern Gontor)
Dengan prinsip yang seperti itu, sangat wajar maka jika beliau menemukan murid-muridnya yang sekian tahun dididik tetapi masih belum mengerti juga arah pendidikan Gontor. Mereka akan berhadapan dengan sikap beliau yang keras “memukul” orientasi santri yang dipandangnya salah haluan.
“Jadi datang ke sini (Gontor) cari apa?” ujar Pak Zar dalam risalah Pekan Perkenalan (1939), “Kalau siswa menjawab, Saya datang ke sini semata-mata untuk mencari ilmu dan pendidikan, inilah jawaban yang tepat. Makan tidak enak, tidur tidak enak, tidak menjadi soal, kalau benar-benar yang dicari ilmu, kecakapan, dan pendidikan.”
Di sinilah benang merah dasar pendidikan Pesantren dan sikap seorang kiai itu menemukan relevansinya. Prof. Mukti Ali seorang pemikir muslim, menjabat Menteri Agama di era Orde Baru, bahkan sampai menuliskan satu karangan khusus, Ta’limul Muta’allim Versi Imam Zarkasyi (Trimurti Press, 1991), keterkaitan pemikiran pendidikan KH. Imam Zarkasyi dengan satu karya kitab ulama yang menjadi rujukan utama santri di berbagai pesantren, Ta’limul Muta’allim karangan Imam Az-Zarnuji (w.591 H).
Landasan utama yang merupakan pandangan hidup santri dalam menuntut ilmu menurut Imam Zarnuji yang harus menjadi prinsip pokok adalah untuk mencari ridha Allah, mengejar kebahagiaan Akhirat, menghapus segala macam kebodohan, menghidupkan dan mengekalkan Dien Islam. Menuntut ilmu tidak diarahkan untuk mencari kedudukan di hadapan manusia serta kekuasaan.
Pernyataan itu jelas disampaikan dalam kitab Ta’limul Muta’allim dan menjadi urat akar santri dalam mengarungi bahtera ilmu. Baik sejak mereka menuntutnya maupun ketika mengamalkannya di masyarakat.
Prof. Mukti Ali pada akhirnya harus mengatakan, “Barangkali tidak salah orang mengatakan bahwa pondok Gontor adalah suatu pondok yang paling konsekuen menjalankan metode pengajaran dan pendidikan agama ala Syaikh Az-Zarnuji itu.”
Prinsip pendidikan pesantren yang kuat sejak penanaman “nawaitu”-nya itu bukan barang aneh. Para santri memang tidak diarahkan mengejar “lowongan kerja”.
Mereka sepenuhnya dituntut bagaimana maslahat bagi umat. Kalau pun bekerja mereka akan berkhidmat habis-habisan. Sehingga jika lahir tokoh-tokoh hebat di masyarakat dari kalangan santri, itu adalah buah belaka, karena mereka ditempa untuk itu.
Ulama besar Nahdlatul Ulama sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, KH. Ali Maksum, bahkan menegaskan, “Kalau cita-citanya (seorang santri) ingin Hubbul Jah wa RIyasah (cinta kedudukan dan kekuasaan), maka motivasinya pun haruslah Hubbul Jah wa Riyasah.
Demikian juga kalau tujuannya Li I’lai kalimatillah (meninggikan kalimat Allah), maka dalam thalabul ‘ilmi pun harus diberi motivasi Lillahi ta’ala (karena Allah).” (dalam buku Ajakan Suci, LTN-NU, 1993)
Landasan para kiai ini tentu adalah pengejawantahan ajaran agama yang memang membawa rahmat bagi semesta (rahmatan llil alamain).
Dengan demikian kita dapat memahami, dari pandangan hidup asasi (worldview) inilah, santri, kiai, dan pesantren, menjadi mata air yang sejak dulu melahirkan pemimpin-pemimpin tangguh. Mereka tidak sedang mencari “pekerjaan” untuk memenuhi kepentingan perutnya sendiri saja.
Keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ikatan ukhuwwah Islamiyah, dan jiwa kebebasan dari kungkungan sistem hidup yang merusak tata nilai fitrah menjadikan mereka nahkoda bangsa yang hebat.
Jadi, jika ada sistem pendidikan yang melenceng dari pandangan dasar ini, entah bagaimana jadinya. (*)
***
*) Oleh : Restu Ashari Putra, Alumni Pondok Modern Gontor, Ponorogo (2004).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |