https://jatim.times.co.id/
Opini

Pendidikan Berjajar dari Kenyataan

Sabtu, 13 September 2025 - 18:43
Pendidikan Berjajar dari Kenyataan Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

TIMES JATIM, BOJONEGORO – Di negeri yang kita cintai ini, pendidikan sering dipuja sebagai jalan menuju kesuksesan. Tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan kita masih “berjajar” berjarak, terpisah antara yang kaya dan yang miskin, antara kota dan desa, bahkan antara sekolah yang berlabel elit dengan sekolah biasa. Kata “berjajar” di sini bukan sekadar soal posisi fisik, melainkan simbol dari jurang ketimpangan yang terus melebar.

Mari kita lihat dari sisi paling sederhana: fasilitas. Anak-anak di kota besar bisa menikmati ruang kelas ber-AC, perpustakaan digital, akses internet kencang, bahkan bimbingan belajar eksklusif. 

Sementara itu, di pelosok desa, masih banyak sekolah yang atapnya bocor, kursinya reyot, bahkan listrik pun tidak stabil. Bagaimana mungkin kita bicara soal “kesetaraan pendidikan” kalau starting point saja sudah berbeda sejauh bumi dan langit?

Ketimpangan ini tentu berimbas pada kualitas peserta didik. Anak-anak kota terbiasa dengan gawai, aplikasi belajar daring, dan kompetisi internasional. Anak-anak desa, meski sama cerdasnya, sering kali tertinggal karena minimnya fasilitas dan akses. 

Akhirnya, hasil ujian nasional, angka kelulusan, hingga kesempatan melanjutkan ke perguruan tinggi, selalu menunjukkan bias yang menguntungkan mereka yang hidup di kota.

Bukan hanya itu, pendidikan juga berjarak karena faktor ekonomi. Pendidikan di Indonesia memang diatur untuk semua, tapi biaya tersembunyi tetap jadi momok. Orang tua miskin harus memikirkan ongkos seragam, buku, transportasi, bahkan uang sumbangan. 

Bandingkan dengan keluarga kaya yang dengan mudah memasukkan anaknya ke sekolah internasional atau universitas ternama. Akibatnya, pendidikan kerap menjadi alat reproduksi kelas sosial: yang kaya tetap kaya karena akses pendidikannya lebih baik, yang miskin sulit naik kelas karena pendidikan mereka terbatas.

Ada pula fenomena yang sering terlupakan: label pendidikan. Lulusan universitas tertentu dianggap lebih bergengsi dibanding universitas lain. Para pencari kerja, bahkan birokrasi, masih mengkapitalisasi nama-nama kampus besar untuk menyaring SDM. 

Akibatnya, kemampuan dan potensi sering kali kalah oleh “stempel” ijazah. Padahal, seharusnya pendidikan mengukur kualitas manusia, bukan sekadar gengsi almamater.

Di balik semua ini, kita tidak bisa menutup mata terhadap peran birokrat dalam “mengkapitalisasi” agenda pendidikan. Banyak program yang seharusnya pro-rakyat justru dikemas sebagai proyek politik. 

Beasiswa sering disalurkan berdasarkan kedekatan, bukan kebutuhan. Pembangunan sekolah kadang lebih dipengaruhi oleh peta suara pemilu ketimbang peta kebutuhan pendidikan. Akhirnya, pendidikan yang mestinya membebaskan justru terjebak dalam pusaran kepentingan.

Namun, apakah ini berarti kita tidak punya harapan? Tentu tidak. Justru di tengah kondisi seperti inilah, kita perlu menggagas solusi yang lebih membumi. Pertama, pemerataan fasilitas harus menjadi prioritas. Jangan biarkan ada sekolah di kota dengan fasilitas digital canggih sementara sekolah di desa masih kesulitan kapur tulis. Teknologi bisa menjadi jembatan: jika internet diperluas ke desa-desa, akses literasi digital bisa lebih merata.

Kedua, biaya pendidikan harus benar-benar dirancang agar tidak memberatkan keluarga miskin. Subsidi tepat sasaran, beasiswa tanpa diskriminasi, serta dukungan bagi anak-anak dari keluarga rentan harus diperkuat. Pendidikan tidak boleh hanya jadi hak istimewa bagi mereka yang mampu.

Ketiga, sistem rekrutmen tenaga kerja maupun birokrasi harus mengurangi ketergantungan pada label almamater. Ujian berbasis kompetensi, portofolio, dan keterampilan nyata harus lebih diutamakan. Dengan begitu, anak dari sekolah biasa pun punya kesempatan yang sama untuk bersaing, asal memang punya kemampuan.

Keempat, agenda pendidikan tidak boleh dijadikan panggung politik. Transparansi dalam distribusi anggaran, keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan, dan keberanian menindak penyalahgunaan wewenang mutlak diperlukan. Pendidikan adalah milik rakyat, bukan alat elite untuk menambah kuasa.

Lebih dari itu, masyarakat juga punya peran besar. Jangan biarkan stigma antara sekolah negeri dan swasta, antara kampus favorit dan kampus biasa, semakin menancap. Kita harus mulai menilai orang berdasarkan karya dan integritasnya, bukan sekadar nama sekolah di ijazahnya.

Pendidikan berjajar ini adalah realitas pahit yang tidak boleh kita abaikan. Jika kita terus membiarkan jurang antara kaya-miskin, kota-desa, dan elit-biasa melebar, maka janji pendidikan sebagai “senjata ampuh melawan kemiskinan” hanya akan jadi slogan kosong.

Di masa depan, bangsa ini hanya bisa berdiri tegak jika pendidikan benar-benar adil, merata, dan membebaskan. Pendidikan harus jadi tangga yang membawa semua orang naik bersama, bukan eskalator yang hanya bisa dinaiki segelintir yang beruntung. Karena pada akhirnya, anak-anak desa maupun kota, kaya maupun miskin, semua punya hak yang sama untuk bermimpi dan mewujudkannya.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.