TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Dialog “imajiner” yang dilakukan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim sebagai simbol generasi milenial dan Ki Hajar Dewantoro sebagai simbol produk “kolonial” tampaknya akan menjadi energi besar perubahan wajah pendidikan Indonesia. Taman Siswa sebagai manifestasi suasana belajar yang menyenangkan (baca: merdeka) tampaknya dihidupkan kembali oleh Mas Menteri untuk meramu kurikulum merdeka belajar.
Faktanya, telah banyak terlahir episode merdeka belajar yang sampai tulisan ini dibuat sebanyak 20 episode, di mana masing-masing episode melahirkan banyak ekspresi kemerdekaan belajar.
Esensi pembelajaran dengan susasana belajar yang merdeka, lebih menyanjung proses dan bukan hasil dan salah satunya adalah penghapusan ujian nasional adalah langkah nyata pembebasan ‘penjajahan” menuju era pembelajaran yang lebih memanusiakan manusia.
Konsep merdeka belajar sejatinya adalah memberikan kebebasan berfikir dan berkreasi kepada para peserta didik. Merdeka belajar juga memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berkreasi sesuai dengan minat dan potensi kodratnya masing-masing.
Implikasi dari semua itu tentu saja sekolah harus hadir kembali sebagai sebuah “Taman Siswa” yang menyajikan suasana menyenangkan, meningkatkan kehangatan dan kedamaian pada ruang-ruang kelas. Harapan mulianya tentu saja terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan peserta didik meliputi; physical wellbeing, cognitive wellbeing, emotional wellbeing, dan social wellbeing.
Kemampuan satuan pendidikan pada berbagai jenjang dalam mengimplementasi kurikulum merdeka belajar mengalami kendala. Kendala utamanya adalah faktor kepemimpinan dan tenaga pendidik sebagai aktor pelaksana kebijakan. Guru mempunyai peran vital sebagai agen perubahan, akan tetapi faktanya lebih banyak guru yang berdiam diri pada “zona nyaman” dan pantang bergerak untuk berperan aktif mengikuti perubahan.
Harus diakui pula, aktor utama implementasi merdeka belajar selain guru adalah kompetensi kepala sekolah sebagai figur sentral di sekolah dalam memahami serta menguasai kompetensi dasar dari para guru. Kepala sekolah dalam hal ini mempunyai keleluasaan dan kebebasan untuk membuat desain proses pembelajaran di sekolahnya yang tentu saja menuntut kreativitas dan inovasi.
Lantas model kepemimpinan seperti apa yang tepat untuk mengawal kurikulum merdeka belajar?
Model kepemimpinan Hasta Brata sebagai sebuah gaya kepemimpinan warisan asli leluhur bangsa Indonesia sangat tepat untuk dipilih menjadi gaya kepemimpinan dalam rangka membumikan kurikulum merdeka belajar.
Hasta Brata melambangkan kepemimpinan dalam delapan unsur alam yang masing-masing mempunyai karakteristik unik dan baik untuk dijadikan pedoman laku kepemimpinan sebagaimana berikut ini;
1. Bumi
Seorang pemimpin sifatnya harus tegas, konstan, konsisten, dan apa adanya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus konsisten memikirkan kesejahteraan pengikut atau bawahannya tanpa pandang bulu.
2. Matahari
Pemimpin harus memberi semangat, membangkitkan motivasi dan memberi kemanfaatan pengetahuan bagi orang yang dipimpinnya.
3. Bulan
Pemimpin harus mampu memberi kesempatan di kala gelap, memberi kehangatan di kala susah, memberi solusi saat ada masalah dan menjadi penengah di tengah konflik.
4. Bintang
Seorang pemimpin harus mampu menjadi panutan, menjadi contoh, dan mampu memberi petunjuk bagi orang yang dipimpinnya.
5. Api
Seorang pemimpin harus mampu membakar (api) semangat pasukannya, karena sejatinya hidup itu menyalakan api dan bukan mematikan lilin.
6. Angin
Menjadi pemimpin itu harus mampu berada di mana saja dan bergerak ke mana saja.laksana angin.
7. Samudra
Samudra yang lapang dan luas, artinya seorang pemimpin mesti bersifat lapang dada dalam menerima banyak masalah dari anak buah.
8. Air
Pemimpn harus bersih dan mampu membersihkan diri dan lingkungannya dari hal yang kotor dan mengotori.
Akhirnya, penulis menyarankan bawasannya peran sentral kepala sekolah dalam mengawal kurikulum merdeka belajar untuk tidak saja terpaku berdasarkan peraturan legal formal Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 Tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah khususnya pasal 12 ayat 1. Akan tetapi, penulis mengharapkan para kepala sekolah menggunakan model kepemimpinan Hasta Brata yang akan menghasilkan peningkatan kinerja warga sekolah dalam mendesain kurikulum merdeka belajar di sekolahnya berbasis kearifan lokal.
***
*) Oleh: Dr. Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd, Kepala SMA Negeri 1 Sumber Kabupaten Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kepemimpinan Hasta Brata Kuatkan Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |