TIMES JATIM, PACITAN – Musim kemarau 2025 diprediksi berlangsung lebih singkat dari biasanya. BPBD Pacitan mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada terhadap ancaman kekeringan, terutama bagi petani dan wilayah rawan air bersih.
Kepala Pelaksana BPBD Pacitan, Erwin Andriatmoko, menjelaskan, prediksi dari BMKG menyebut kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Jawa Timur, akan mulai berlangsung sejak April hingga Juni. Namun, puncaknya terjadi pada Juli hingga Agustus mendatang.
"Setelah membaca prediksi, untuk Indonesia bagian barat, puncak kemarau akan berlangsung pada bulan Juli. Wilayah tengah hingga timur mencapai puncaknya pada bulan Agustus nanti," ujar Erwin, Selasa (10/6/2025).
Erwin menambahkan, awal musim kemarau di Jawa Timur terbagi dalam beberapa fase. Dari total 74 Zona Musim (ZOM), sekitar 51 persen wilayah diperkirakan mulai kemarau pada Mei, disusul April (44,6 persen), Maret (2,7 persen), dan Juni (1,4 persen).
Satu wilayah yang diprediksi paling akhir memasuki musim kemarau adalah ZOM 313 yang meliputi bagian tenggara Kabupaten Malang dan barat daya Lumajang. Wilayah ini baru mulai kemarau di awal Juni.
Yang menarik, kemarau tahun ini diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Jika biasanya berlangsung hingga Oktober, kini ada kemungkinan berakhir lebih cepat.
“Kalau pola iklimnya tetap seperti ini, akhir musim kemarau bisa terjadi sebelum akhir September,” tambah Erwin.
Prediksi ini bisa berubah tergantung dinamika cuaca global dan regional. Beberapa faktor besar yang mempengaruhi panjang-pendek musim kemarau adalah fenomena El Nino dan La Nina.
El Nino biasanya membuat musim kemarau lebih panjang dan kering, sementara La Nina justru membuat kemarau lebih pendek dan lembap.
“Saat ini ENSO dalam kondisi netral. Tapi ada kecenderungan La Nina lemah yang menyebabkan hujan masih bertahan di beberapa tempat,” terang Erwin.
Ia juga menyinggung soal kemarau basah, di mana hujan masih turun meski masuk musim kering. Meski terdengar baik, kondisi ini tetap bisa menimbulkan masalah.
“Sebaran hujan mungkin tidak merata. Beberapa wilayah bisa mendapat curah hujan cukup, tapi daerah lain tetap kekurangan air,” tegasnya.
Ancaman kekeringan tetap ada, terutama bagi sektor pertanian yang sangat bergantung pada ketersediaan air. Karena itu, Erwin mengimbau agar petani bisa menyesuaikan jadwal tanam berdasarkan prediksi musim masing-masing daerah.
Langkah Antisipatif
Pemerintah daerah juga tak tinggal diam. BPBD Pacitan menyiapkan beberapa langkah antisipatif mulai dari memperkuat sistem pemantauan cuaca, menyusun rencana mitigasi, hingga berkoordinasi lintas instansi.
“Langkah teknis seperti manajemen air, penghematan, serta pengelolaan lingkungan harus mulai diterapkan. Masyarakat bisa berperan aktif,” kata Erwin.
Di tingkat masyarakat, langkah adaptasi sederhana seperti menghemat air, menjaga vegetasi, dan mengelola sampah dengan benar bisa jadi solusi awal menghadapi ketidakpastian musim.
Erwin juga mengajak warga agar tidak lagi hanya mengandalkan Pranata Mangsa, sistem penanggalan tradisional pertanian Jawa, dalam menentukan musim.
“Kita sekarang harus mengandalkan data dan informasi ilmiah dari BMKG atau lembaga resmi,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya membangun kesadaran bersama menghadapi perubahan iklim di Pacitan yang kian tak menentu. Dalam situasi seperti ini, kesiapsiagaan dan kemampuan beradaptasi jadi kunci utama untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Musim Kemarau 2025 di Pacitan Lebih Singkat, BPBD: Waspadai Dampaknya
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Deasy Mayasari |