TIMES JATIM, MALANG – Polemik pengibaran bendera bergambar tengkorak dari serial animasi One Piece belakangan ini menuai beragam tanggapan. Menyikapi hal tersebut, pakar Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Brawijaya, Dr. Muktiono, S.H., M.Phil, menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar hukum maupun prinsip HAM di Indonesia.
Muktiono yang juga Ketua Umum Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum UB menyebut bahwa pengibaran bendera One Piece merupakan bentuk ekspresi individu atas kegemaran atau kesenangan pribadi.
“Tindakan tersebut menurut saya bagian dari tindakan untuk mencari kesenangan (pursuing happiness) yang merupakan bagian dari hak asasi seseorang. Bisa juga tindakan ini bagian dari bentuk protes, sindiran, atau respons terhadap situasi tertentu yang merupakan hal biasa dari warga negara,” jelasnya.
Ia menambahkan, selama tindakan tersebut tidak melanggar hak orang lain, tidak mengganggu ketertiban umum, tidak melanggar hukum, serta tidak membahayakan keselamatan atau kesehatan diri sendiri maupun orang lain, maka pengibaran bendera seperti itu seharusnya tidak menjadi persoalan hukum.
Dari sisi legal, Muktiono merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Menurutnya, tidak ada aturan yang melarang pengibaran bendera non-resmi seperti One Piece, selama tidak melecehkan bendera negara secara langsung.
“Saya kira negara terlalu bersikap atau bertindak berlebihan dengan melarang atau mengkriminalisasi pengibaran bendera atau pengecatan lambang One Piece jika tidak ada kebutuhan mendesak yang didasarkan pada ancaman yang nyata,” tegasnya.
Muktiono justru mengkhawatirkan upaya kriminalisasi terhadap ekspresi semacam ini dapat mengalihkan perhatian publik dan negara dari isu-isu yang lebih penting.
“Seharusnya negara fokus menyelesaikan masalah esensial seperti pemberantasan korupsi, perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, mengejar ketertinggalan teknologi, penyediaan lapangan kerja dan upah layak, serta pemerataan pendidikan,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |