TIMES JATIM, PACITAN – Fenomena sound horeg belakangan ini bikin gerah musisi dan komposer asal Pacitan, Tegar Dhewangga Trenggono.
Bagi dia, suara pecah dan kasar dari sound horeg bukan cuma bikin kuping sakit, tapi juga bisa menghancurkan kualitas musik, terutama musik klasik yang butuh kejernihan.
“Sound horeg itu istilah buat suara yang pecah, kasar, nggak jernih. Penyebabnya macam-macam, bisa karena kualitas sound system jelek, gain ketinggian, distorsi yang nggak diinginkan, atau mixing yang nggak seimbang,” tegas Tegar, Sabtu (16/8/2025).
Tegar menegaskan, untuk musisi klasik, hal ini adalah dosa besar. Musik klasik hidup dari detail warna suara, dinamika, dan kesetiaan bunyi ke instrumen aslinya. “Kalau itu hilang, yang tersisa cuma kebisingan,” sindirnya.
Lima Dosa Sound Horeg
1. Bunuh warna suara (timbre)
Dalam musik klasik, suara biola beda dengan piano, klarinet beda dengan sopran. “Sound horeg bikin semua instrumen terdengar sama-sama kasar. Nggak ada lagi kehalusan timbre,” ujarnya.
2. Hilangkan dinamika musik
Perbedaan pianissimo dan fortissimo adalah nyawa ekspresi. Kalau semua terdengar “keras dan kotor”, emosi musik jadi datar.
3. Kacaukan intonasi dan harmoni
Musisi susah dengar pitch yang tepat kalau suara pecah. “Efeknya, main orkestra atau ansambel bisa jadi nggak sinkron,” kata Tegar.
4. Lelahin telinga
Suara pecah bikin telinga cepat capek, apalagi kalau latihan atau konser berjam-jam. Lama-lama, risiko gangguan pendengaran makin besar.
5. Turunkan standar pertunjukan
Bagi musisi, reputasi ada di kualitas suara. “Kalau konsernya horeg, kesan penonton pasti buruk. Padahal, masalahnya ada di tata suara, bukan di musisinya,” tegasnya.
Efeknya di Dunia Pendidikan Musik
Bukan cuma di panggung, sound horeg juga jadi racun di kelas musik. Tegar mengingatkan, pendidikan musik klasik berdiri di atas pendengaran teliti dan rasa musikal yang halus. Kalau yang didengar sejak awal sudah “rusak”, maka efeknya fatal.
Pertama, siswa terbiasa dengan bunyi yang salah. “Kuping mereka jadi nggak sensitif sama timbre yang bagus,” kata Tegar.
Kedua, intonasi dan harmoni jadi kacau. Distorsi bikin pitch nggak jelas, jadi sulit bedain nada yang fals sama yang pas.
Ketiga, hilang kepekaan pada detail dinamika dan artikulasi. Legato, staccato, crescendo — semua terdengar sama kalau suaranya pecah.
Keempat, mental permisif. “Bisa muncul pikiran, yang penting keras, nggak peduli indah apa nggaknya. Ini bahaya,” tegasnya.
Kelima, motivasi siswa turun. Bunyi indah biasanya bikin semangat latihan. Kalau hasilnya selalu jelek karena sound system, mereka bisa putus asa.
Ini Bukan Soal Telat Bayar Vendor
Bagi Tegar, persoalan sound horeg nggak bisa dianggap remeh. Ini soal masa depan musik Indonesia. “Sound horeg itu bukan cuma masalah teknis. Ini soal masa depan telinga generasi musisi kita. Kalau dari kecil sudah dibiasakan dengan kualitas buruk, kita sedang mencetak generasi yang nggak peka sama keindahan bunyi,” tandasnya.
Tegar bukan sekadar bicara. Dia punya jam terbang dan pengakuan internasional.
Pria yang akrab disapa Tegar ini pernah meraih Token Appreciation Award of Music dari Seton Hall University, The City of South Orange, New Jersey, Amerika Serikat, pada Kamis (7/3/2024).
Penghargaan itu jadi bukti, Tegar paham betul soal kualitas bunyi dan pentingnya menjaga standar, baik di panggung maupun di ruang latihan. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |