TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Bulan Dzulhijjah tak hanya lekat dengan ibadah haji dan Idul Adha, tapi juga menjadi waktu yang ramai dirayakan sebagai musim pernikahan. Di Kabupaten Probolinggo, Jatim, lonjakan jumlah pasangan yang melangsungkan akad nikah di bulan ini terjadi secara signifikan.
Di balik semangat tabarruk (mengharap berkah), terselip pula kenyataan sosial yang tidak ringan: tradisi koleman yang kerap menjadi beban tersendiri bagi warga.
Kantor Kementerian Agama atau Kemenag Kabupaten Probolinggo mencatat, pada Juni 2025, yang bertepatan dengan bulan Dzulhijjah, jumlah pasangan yang mendaftar menikah mencapai 660. Angka ini melonjak dua kali lipat dibanding Mei yang hanya 330 pasangan.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia atau MUI Kabupaten Probolinggo, KH Abdul Wasik Hannan menyebut, pemilihan bulan Dzulhijjah sebagai momen pernikahan punya dasar spiritual yang kuat.
“Bulan Dzulhijjah adalah salah satu dari empat bulan suci dalam Islam, selain Dzulqo’dah, Muharram, dan Rajab. Di bulan ini, Rasulullah SAW menikahkan putrinya, Sayyidah Fatimah, dengan Sayyidina Ali. Maka kita bertabarruk (mengharap berkah) dari peristiwa itu,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa bulan Dzulhijjah sarat nilai historis dan spiritual yang menginspirasi umat Islam.
“Ketika jemaah haji melempar jumrah, ada nilai historis dari tiga tokoh besar yang kita teladani, Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Begitu juga sa’i antara Shafa dan Marwa, itu adalah jejak perjuangan perempuan mulia, Siti Hajar, dalam mencari air untuk bayinya,” jelasnya.
Namun, meningkatnya angka pernikahan ini juga memunculkan sisi lain: beban sosial yang muncul akibat tradisi koleman. Koleman atau sumbangan sosial antar warga saat hajatan, telah menjadi praktik sosial yang mengakar. Tapi tak jarang, praktik ini justru memberatkan bagi mereka yang berpenghasilan rendah.
Koleman: Solidaritas atau Tekanan?
Bagi sebagian warga, tradisi koleman bukan lagi sekadar bentuk gotong royong, tapi telah menjadi beban yang menguras kantong dan pikiran. Terutama saat musim hajatan tiba.
Maimunah (51), seorang janda beranak dua asal Probolinggo, yang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART), mengaku sering kali harus menyesuaikan keuangan yang sudah pas-pasan demi memenuhi kewajiban sosial.
“Pendapatan saya pas-pasan. Tapi ya mau bagaimana lagi, namanya hidup bertetangga ya memang seperti ini, apa lagi kalau sudah berkeluarga,” ujarnya.
Senada dengan itu, Febri (27), warga Kraksaan, juga merasakan tekanan dari padatnya undangan pernikahan.
“Saya ya sering pinjam uang buat koleman. Pemasukan nggak tentu dan minim. Tapi ya begitulah. Saya takut kalau nanti saya nikah malah nggak didatangi orang, karena saya dulu nggak hadir,” ujarnya sambil tertawa.
Bahkan, dalam sehari, Febri pernah harus menghadiri tiga hajatan sekaligus, yang semuanya menuntut koleman.
Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kemenag Probolinggo, Moh Sa’dun, melihat koleman dari sisi positif. Ia menyamakannya dengan sistem arisan yang sifatnya saling membantu.
“Ya itu sama dengan arisan,” ujarnya singkat.
Namun, KH Abdul Wasik kembali menegaskan bahwa koleman seharusnya tidak berubah menjadi ajang pamer atau bentuk tekanan sosial.
“Kalau memang tidak mampu, tidak perlu memaksakan diri. Yang wajib itu menghadiri walimah jika diundang, selama tidak ada kemaksiatan di dalamnya,” ujarnya.
Menikah: Bukan Sekadar Soal Cinta
Di tengah romantisme pernikahan dan tuntutan adat yang melekat, Gus Hafidzul Hakiem Noer, pendiri majlis sholawat Syubbanul Muslimin Probolinggo, mengingatkan bahwa menikah bukan hanya tentang dua orang yang saling jatuh cinta.
“Menikah itu bukan hanya tentang cinta. Menikah itu tentang kamu dan dia, antara bahasamu dan bahasanya, antara keluargamu dengan keluarganya, antara adatmu dengan adatnya, antara kebiasaanmu dan kebiasaannya,” terangnya.
Ia menegaskan bahwa rumah tangga harus dibangun di atas dua pilar utama: sabar dan sholat.
“Kata Allah dalam Alquran, was ta’inu bissabri was sholah. Salinglah bahu-membahu dalam dua hal itu. Sabar menghadapi pasangan, sabar menghadapi ekonomi, sabar menjalani kehidupan. Dan sholat sebagai tiang rumah tangga. Kalau tiangnya kokoh, rumah tangganya juga kokoh,” imbuhnya.
Pernikahan memang momen sakral. Namun di tengah tuntutan adat dan ekspektasi sosial, nilai-nilai spiritual terkadang harus bersaing dengan realita ekonomi. Di sinilah peran bijak dari masyarakat dan pemangku kebijakan diperlukan, agar pernikahan tetap menjadi peristiwa bahagia, bukan sumber tekanan baru.
Kemenag Kabupaten Probolinggo pun terus mengimbau agar masyarakat tidak terjebak pada kemewahan semu dalam pesta pernikahan. Karena pada akhirnya, keberkahan rumah tangga tidak datang dari banyaknya tamu, melainkan dari keikhlasan niat dan kesiapan hati. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Di Balik Tingginya Angka Pernikahan di Bulan Dzulhijjah
Pewarta | : Abdul Fatah Harowy |
Editor | : Muhammad Iqbal |