TIMES JATIM, MALANG – Workshop penulisan buku kajian sejarah berbasis situs digelar Dewan Kesenian Kabupaten Malang (DKKM), di aula SMKN 1 Turen, Kabupaten Malang, Sabtu (16/11/2024). Sebuah upaya menjaga menggali dan menjaga penilanggalan cagar budaya agar tidak punah.
Dalam workshop ini, secara khusus menghadirkan narasumber utama praktisi dan akademisi sejarah dari Departemen Sejarah di Universitas Islam Internasional Darullughah Wadda'wah, Bangil, Rakai Hino Daleswangi.
Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Malang, Suroso mengungkapkan, ada sekitar 600 cagar budaya termasuk di dalamnya situs-situs, diketahui ada wilayah Kabupaten Malang. Akan tetapi, di tempat situs itu, tidak semua punya juru pelihara.
Sehingga, menurutnya terkait literatur sejarah ataupun cerita di balik munculnya situs-situs cagar budaya tersebut, tidak serta merta bisa diketahui semua masyarakat atau pengunjung.
"Ada sekitar 600 (situs) cagar budaya, sebagian ada juru peliharanya, tetapi banyak yang tidak ada. Nah, kaki berharap di setiap wilayah kecamatan ini, ada yang bisa menuliskan terkait keberadaannya, walau hanya sinopsis atau manuskrip, dengan deskripsi singkat," kata Ki Suroso, Sabtu (16/11/2024) .
Terlebih, tidak jarang ditemui yang berkembang hanya cerita lisan dari masyarakat sekitar, dimana cerita rakyat ini tidak sama antara satu penutur dengan lainnya.
Sehingga, menurutnya masih banyak yang perlu digali terkait cerita dan masa sejarah apa yang melatarbelakangi munculnya situs atau cagar budaya yang sudah ada.
"Jadi, ketika bisa dibuat literatur sederhana pada setiap situs cagar budaya, maka akan bisa diketahui cerita sebenarnya. Kemudian, bisa dipampang di kawasan situs tersebut. Paling tidak out kegiatan ini itu," terangnya.
Disinggung terkait harus adanya literatur lengkap terhadap semua situs cagar budaya, Ki Suroso berharap, bisa melakukan hal tersebut nantinya. Akan tetapi, menurutnya ini juga membutuhkan dukungan lebih lanjut dan besar dari pemerintah Kabupaten Malang.
"Kami berharap banyak situs cagar budaya di Kabupaten Malang ini diketahui asal mulanya seperti apa, yang dijadikan bentuk literatur. Ini butuh dukungan pemerintah, termasuk akademisi," pungkasnya.
Sementara itu, Rakai Hino Daleswangi mengungkapkan, keberadaan tim ahli memang diharuskan untuk bisa memastikan secara ilmiah atas objek cagar budaya yang ditemukan.
Menurutnya, tanpa dokumen atau literatur yang bisa menceritakan asal mula sebuah obyek cagar budaya, maka bisa berakibat nilai-nilai sejarah dan nasionalisme dalam menjaga warisan sejarah budaya akan hilang.
"Jadi, orang tidak akan tahu di balik objek cagar budaya itu menyimpan nulai-nilai dan cerita sejarah apa. Yang diwariskan para pendahulu pun akan percuma, sehingga ini dengan sendirinya bisa menyebabkan cagar budaya akan punah," tandasnya.
Rakai Hino menyayangkan, belum semua daerah punya kebijakan regulasi yang khusus mengatur terhadap benda-benda cagar budaya. Termasuk, di Kabupaten Malang, yang belum punya Tim Ahli Cagar Budaya. Pedahal, menurutnya ini sedah jelas diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
"Kalau daerah punya tim ahli cagar budaya, yang diatur dalam perda atau peraturan kepala daerah, maka menjaga dan memelihara setiap obyek cagar budaya akan lebih fokus. Sayangnya, di Kabupaten Malang belum punya itu," tandas akademisi yang kini menempuh S3 Arkeologi di Universitas Indonesia ini. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Penulisan Kajian Berbasis Situs Candi, Menggali Literatur Cagar Budaya agar Tidak Punah
Pewarta | : Khoirul Amin |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |