TIMES JATIM, SURABAYA – Udara di Surabaya siang itu begitu panas, apalagi saat bulan ramadan. Namun hati terasa dingin saat masuk di sebuah rumah kecil berlantai 2 di tengah perkampungan tua di Surabaya, Kampung peneleh gang V. Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran itu menggema di sudut ruangan. TIMES Indonesia berkesempatan mengunjungi sebuah rumah kecil di Kampung Peneleh yang merupakan sebuah pondok pesantren Tahfidzul Qur’an atau pesantren hafalan Al-Qur’an tertua di Surabaya yakni Pesantren Nurul Qur’an Al-Basuni Surabaya.
Di depannya berdiri megah sebuah masjid tua dengan arsitektur kuno yang katanya adalah masjid yang didirikan oleh waliyullah Sunan Ampel, yakni masjid Jami Peneleh.
Bacan Al-Qur'an itu datang dari beberapa orang santriwati. Salah satunya Arina. Gadis itu turun menemui TIMES Indonesia dan ikut duduk bersama. "Lagi menghafal nanti sore jadwal setor," ujar Arina.
TIMES Indonesia juga disambut seorang wanita berusia sekitar setengah abad lebih bernama Dzuriyah. Dengan senyumnya Dzuriyah menyambut reporter dengan ramah. Di samping Dzuriyah terbaring seorang wanita bernama Nyai Aminah yang merupakan istri pendiri pondok Almarhum KH Dahlan Basyuni. "Saya sebagai wakilnya bu Nyai," ujar Dzuriyah.
Wanita yang disebut Nyai itu berusia 71 tahun. Meski terbaring di ranjangnya kata Dzuriah, Nyai masih sanggup mendengarkan satrinya 'setor' hafalan Al-Quran.
Dengan tetap tersenyum, Dzuriyah bercerita bahwa dulunya pesentren tersebut memiliki banyak santri yang datang dari berbagai macam daerah. Namun, sejak pendiri Pondok, KH Dahlan Basyuni meninggal, semakin hari jumlah santrinya pun menurun. "Sekarang ada 15 santriwati dan santriwan," tuturnya.
Kami pun kemudian ditemui oleh seorang pria paruh baya yang merupakan keponakan Nyai Aminah bernama Ubaidur Rachman. Ubaidur datang ketika ia telah menyelesaikan salat Asharnya.
Ia pun ikut duduk bersilah dan mulai bercerita. Pesantren yang kini hanya tinggal 15 santri itu berdiri sekitar tahun 1966 dan 1967. Pondok pesantren itu bukan merupakan warisan dari orang tua, sebagaimana yang lazim terjadi di pesantren salaf lainnya. Pesantren ini berawal dari pengajian rutin yang dilakukan bersama oleh warga kampung.
"Kemudian, lama-lama berdatangan santri luar yang menetap. Hingga tahun 1970 sudah ada sekitar 70 santri," jelasnya.
Ia menjelaskan pesantren itu diberi nama Roudlotul Ta’limil Qur’an. Kemudian diganti menjadi Pondok Pesantren Sunan Ampel. Lalu berganti lagi menjadi Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an atau lebih terkenal dengan nama Pondok Peneleh.
“Modal utama Yai Lan (Sapaan akrab pendiri pondok KH Dahlan Basyuni) mendirikan pesantren adalah karena beliau meyakini bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapapun yang mempelajari, mempercayai dan mengamalkannya,"
Yai Lan kata Ubaidur memiliki beberapa tujuan, yakni pertama Yai Lan ingin menyebarluaskan Syiar Islam dengan menyebarluaskan Al-Qur'an. Kedua, melalui pondok pesantren kecil itu, KH Dahlan Basyuni mendorong kaum muslimin agar lebih mencintai dan gemar membaca, menghayati, memahami dan melaksanakan ajaran Al-Qur’an.
"Ketiga, adalah menyiapkan generasi Qur’ani. Kemudian memperbaiki dan meningkatkan kemampuan tahfidz para santri, menyebarluaskan hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dan terakhir, membangun masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup jamaahnya," tandasnya.
Meski sempat berjaya bahkan sempat mengalami berbagai perubahan tempat yakni di dalam masjid dan kemudian kini pindah di Rumah Nyai Aminah. Lalu kini santrinya yang tak lagi sebanyak dulu, Pondok Pesantren Nurul Qur’an Al-Basuni itu tetap berdiri tegak, menggemakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Hingga santrinya pun lulus dan menjadi penghafal-penghafal Al-Qur'an. Tak jarang alumni pondok itu kerap menjadi imam di beberapa masjid. (*)
Pewarta | : Khusnul Hasana (MG-242) |
Editor | : Irfan Anshori |