TIMES JATIM, BANYUWANGI – Penerapan aturan baru terkait pakaian dinas dilingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi, Jawa Timur, dikeluhkan.
Kebijakan yang mulai diterapkan pada Selasa, 15 Juli 2025, dianggap cukup diskriminatif terhadap pegawai instansi pemerintah dari kalangan Non Aparatur Sipil Negara (Non ASN).
Nuansa diskriminasi sangat terasa dalam aturan pakaian dinas setiap hari senin. Di situ, pegawai Non ASN diwajibkan mengenakan pakaian dinas kemeja putih. Sedang pengawai ASN dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) mengenakan pakaian dinas Khaki atau warna coklat.
Jadi bisa dibayangkan. Tentunya disitu memunculkan perbedaan yang mencolok. Padahal, tugas pegawai Non ASN, sering kali tak ada bedanya dengan mereka yang sudah berstatus ASN dan P3K. Malah tak jarang pegawai Non ASN justru memiliki masa pengabdian yang jauh lebih panjang.
Nuansa diskriminasi yang mirip pem bully an, makin terasa bagi pegawai Non ASN yang bertugas di satuan lembaga pendidikan atau kalangan Guru Tidak Tetap (GTT).
“Siswa sekarang ini kan kritis, jadi setiap hari senin, guru yang masih GTT saat ini merasa kayak kena bully. Seragam dinasnya harus berbeda,” ucap salah satu pegawai Non ASN di Banyuwangi, Senin (14/7/2025).
Diakui, sebelumnya perbedaan pakaian dinas memang sudah ada. Namun pegawai P3K dan Non ASN, tetap disamakan. Kini, dengan adanya aturan baru, para pegawai Non ASN, harus merasakan perlakuan berbeda dalam penerapan aturan pakaian dinas.
“Bagaimana perasaan mereka (pegawai Non ASN). Apalagi para guru GTT. Siswa mereka saja diarahkan untuk menggunakan seragam yang sama, tapi guru GTT, setiap hari senin, setiap mereka berkumpul dengan para guru lain untuk upacara, mereka harus tampil dengan pakaian dinas berbeda,” ujarnya.
Diharapkan, kebijakan baru tentang pakaian dinas dilingkungan Pemkab Banyuwangi ini bisa dievaluasi. Sebagai bentuk keadilan serta penghormatan terhadap para pegawai Non ASN, yang telah belasan atau puluhan tahun mengabdi dan belum beruntung menjadi ASN atau P3K.
Tak hanya terkait pakaian dinas, standar perekrutan P3K dilingkungan Pemkab Banyuwangi pun ikut dikeluhkan. Diharapkan yang dijadikan acuan bukan hanya nilai tes seleksi. Tapi juga mempertimbangkan masa pengabdian.
“Misal untuk guru GTT, banyak yang sudah mengabdi selama 15 tahun lebih, bahkan ada yang 20 tahun lebih, tapi tetap tidak lolos seleksi P3K. Yang lolos malah banyak dari mereka yang masih baru mengabdi,” beber pegawai Non ASN.
“Harus diakui, yang masih muda-muda itu memang masih fresh dan bisa jadi lebih baik dalam mengerjakan tes seleksi. Tapi masak sih tidak ada penghargaan sama sekali untuk mereka yang sudah mengabdi belasan tahun dan puluhan tahun,” imbuhnya.
Keluhan tentang aturan baru pakaian dinas dan perekrutan P3K ini langsung mendapat respon dari anggota Fraksi NasDem DPRD Banyuwangi, Zamroni SH.
Sebagai waki rakyat, dia mengaku juga sudah mendapat laporan. Sebagai tindak lanjut aspirasi masyarakat, rencananya dewan akan memanggil pihak eksekutif.
“Kami belum tahu apa maksud penerapan aturan berbeda pada pakaian dinas pegawai ASN, P3K dan Non ASN ini. Agar tidak menjadi isu liar dan bentuk Tabayyun, kami akan berkoordinasi dengan pimpinan dan selanjutnya memanggil pihak eksekutif,” katanya.
Menurut Zamroni, kebijakan membeda-bedakan pakaian dinas, harusnya tidak perlu terjadi. Mengingat pegawai Non ASN sering kali memiliki tugas yang sama dengan pegawai ASN dan P3K.
“Malah kadang pegawai Non ASN itu lebih giat dan sudah mengabdi pada daerah lebih lama,” ungkap Zamroni.
Sebagai bentuk tanggung jawab, anggota Komisi IV DPRD Banyuwangi ini berkomitmen akan memperjuangkan dan mencarikan solusi atas keluhan tentang aturan baru pakaian dinas. Termasuk akan menyuarakan aspirasi tentang standar perekrutan P3K.
“Jika masa kerja atau masa pengabdian tidak menjadi pertimbangan dalam perekrutan P3K, kami kira itu tidak adil,” cetus Zamroni. (*)
Pewarta : Fazar Dimas Priyatna
Editor :
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Imadudin Muhammad |