TIMES JATIM, MALANG – Industri kopi di Kabupaten Malang masih menyimpan potensi besar untuk dikembangkan. Pasalnya, dari total kebutuhan ekspor kopi yang mencapai 45 ribu ton per tahun, kontribusi kopi lokal Malang baru sekitar 13.500 hingga 15.000 ton. Sisanya, masih diisi oleh kopi dari luar daerah seperti Sumatera, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Bali, meski tetap memakai label “Kopi Dampit” yang sudah terkenal hingga mancanegara.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang, Avicenna Medisica Sani Putera.
“Industri kopi ini masih sangat-sangat luas di Kabupaten Malang. Salah satu eksportir kopi membutuhkan 45 ribu ton per tahun, sementara kopi lokal kita hanya bisa memenuhi sekitar 13.500 sampai 15.000 ton,” ujarnya.
Dia menyebut, tantangan produksi kopi di Kabupaten Malang adalah kondisi cuaca. Cuaca ekstrem seperti hujan berkepanjangan atau fenomena El Nino terbukti dapat mengganggu proses pembuahan atau masa generatif kopi.
“Tahun lalu bahkan dua tahun terakhir, produksi sempat menurun karena anomali cuaca. Tapi tahun ini sudah mulai membaik dan harga kopi juga sedang bagus, green bean sempat tembus Rp100 ribu, sekarang stabil di kisaran Rp85 ribu hingga Rp90 ribu,” terang Avicenna.
Untuk mendorong semangat para petani, Pemerintah Kabupaten Malang secara rutin mengadakan lomba kelompok tani kopi berprestasi setiap tahun. Penilaian mencakup kelembagaan, performa kelompok tani, hingga cita rasa kopi yang dihasilkan.
“Kelompok tani terbaik dari kabupaten akan kami ikutkan ke tingkat provinsi, bahkan nasional jika lolos,” jelas Avicenna.
Selain itu, subsidi pupuk masih tersedia bagi petani kopi. Bantuan bibit juga diberikan secara bertahap, terutama dari varietas Robusta, yang masih menjadi mayoritas di Malang. Namun, pengembangan Arabika juga mulai tumbuh di lereng Gunung Arjuna dan Semeru.
Kabupaten Malang memiliki keunikan geografi yang menjadi keunggulan tersendiri dalam industri kopi. Wilayah ini memiliki empat lereng gunung utama, yakni Bromo, Semeru, Arjuna, dan Kawi, yang masing-masing menghasilkan kopi dengan karakter rasa yang khas.
“Ini potensi yang luar biasa. Bahkan PTPN di lereng Kawi sudah khusus bergerak di komoditas kopi,” tambahnya.
Hingga saat ini, luas lahan kopi di Kabupaten Malang mencapai lebih dari 18 ribu hektare, dengan produktivitas rata-rata 0,8 ton hingga 1 ton per hektare per tahun. Bila kondisi optimal, produksi bisa mencapai 1,1 ton per hektare.
Namun, penambahan lahan kopi masih minim. Justru yang meningkat saat ini adalah lahan tebu, yang bertambah hingga 3.000 hektare. Menurut Avicenna, hal ini perlu pengaturan dan evaluasi ke depan.
Meski sebagian besar kopi diekspor melalui perusahaan mitra, kopi Malang sudah dikenal di pasar internasional seperti Belanda, Amerika, dan Eropa dengan label Java Coffee.
“Petani kita memang belum bisa ekspor langsung. Tapi mereka bermitra dengan perusahaan lokal yang punya kapasitas ekspor,” jelasnya.
Dengan selisih sekitar 30 ribu ton dari kebutuhan ekspor yang belum bisa dipenuhi kopi lokal, ini menjadi peluang besar bagi pengembangan komoditas kopi Kabupaten Malang. Dengan dukungan regulasi, pembinaan, dan promosi dari pemerintah daerah, sektor kopi diprediksi akan tumbuh lebih besar dan memperkuat identitas Malang sebagai penghasil kopi unggulan di Indonesia. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |