TIMES JATIM, LAMONGAN – Kebijakan baru BPJS Kesehatan menuai kontroversi. Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Lamongan, Erna Sujarwati, menegaskan akan memboikot BPJS jika pemerintah tidak segera mengevaluasi aturan yang dinilai merugikan masyarakat.
Aturan tersebut menyatakan bahwa 144 jenis penyakit tidak dapat dirujuk ke rumah sakit tipe B dan harus ditangani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Erna menyebut, kebijakan ini sangat memberatkan masyarakat, terutama yang menderita penyakit serius tetapi terbatas akses fasilitas medisnya.
“Jika BPJS tetap mengabaikan kebutuhan rakyat, kami akan ambil langkah tegas. Pemerintah wajib mengevaluasi aturan ini,” ujar Erna dengan lantang, Senin (20/1/2025).
Ia menekankan bahwa BPJS adalah satu-satunya asuransi kesehatan nasional yang digunakan mayoritas rakyat Indonesia. Namun, kebijakan ini justru berpotensi melemahkan akses layanan kesehatan.
PDI Perjuangan menyerukan agar pemerintah segera turun tangan mengevaluasi aturan tersebut demi mencegah kerugian yang lebih besar bagi masyarakat.
“Jangan sampai rakyat merasa ditinggalkan oleh pemerintahnya sendiri,” kata Erna.
Selain itu, Erna juga menyoroti kebijakan dan keputusan yang mengarahkan pasien rumah sakit agar mendapatkan layanan kesehatan di Puskesmas.
"Kalau semua pasien harus ke Puskesmas, apakah pelayanannya bisa sebaik di rumah sakit? Apakah fasilitasnya lengkap? Kamarnya memadai? Dan yang paling penting, apakah dokter selalu tersedia setiap saat?" ucap Erna dengan nada tajam.
Pertanyaan ini mencuatkan kekhawatiran banyak orang. Pasalnya, tidak semua Puskesmas memiliki fasilitas yang setara dengan rumah sakit. Mulai dari jumlah dokter, ketersediaan kamar rawat inap, hingga peralatan medis, Puskesmas sering dianggap belum memadai untuk menangani pasien dalam jumlah besar.
Erna juga menambahkan, selama ini banyak warga Kabupaten Lamongan yang merasa nyaman dirawat dan mendapat pelayanan kesehatan di rumah sakit.
"Kenapa harus diarahkan ke Puskesmas? Apakah kebijakan ini hanya untuk mengurangi beban BPJS tanpa memikirkan kenyamanan pasien?" ujar Erna.
Menanggapi polemik ini, Wakil Direktur Pelayanan dan Penunjang RSUD dr. Soegiri Lamongan, dr. Abdur Rohman memberikan klarifikasi. Menurutnya, aturan ini bertujuan menyesuaikan layanan kesehatan dengan jenjang dan kompetensi medis.
"Daftar 144 penyakit ini bukan berarti pasien sama sekali tidak bisa dirujuk, tetapi seharusnya dapat ditangani dokter umum di FKTP hingga sembuh," ujar dr. ABR.
Namun, ia menegaskan bahwa pasien tetap bisa dirujuk ke rumah sakit dalam kondisi tertentu, sesuai dengan kriteria TACC antara lain, Time (Waktu) aryinya penyakit kronis yang membutuhkan perawatan spesialis jangka panjang.
Kemudian, Age (Usia) artinya pasien berisiko tinggi seperti bayi dan lansia yang memerlukan penanganan khusus.
Ketiga, Comorbidity (Penyakit Penyerta) karena jika pasien memiliki lebih dari satu penyakit yang memperberat kondisi. Dan Complication (Komplikasi) ketika penyakit berkembang dan menyebabkan komplikasi serius.
Selain itu, jika FKTP tidak memiliki fasilitas memadai, pasien tetap dapat dirujuk ke rumah sakit dengan catatan tertulis dalam surat rujukan.
"Aturan ini dibuat agar FKTP lebih optimal dalam menangani pasien sesuai kapasitasnya. Jika semua langsung ke rumah sakit besar, bisa terjadi overload," tuturnya.
Namun, tantangan besar tetap ada. Banyak pasien lebih nyaman dengan dokter tertentu di rumah sakit. Sayangnya, BPJS Kesehatan tidak dapat menanggung biaya jika rujukan tidak sesuai aturan.
"Jika ingin tetap berobat ke rumah sakit tertentu tanpa rujukan, pasien bisa menggunakan asuransi kesehatan swasta sebagai alternatif," kata dr. ABR. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Aturan Baru BPJS, Tuai Kritikan dari Fraksi PDIP DPRD Lamongan
Pewarta | : Moch Nuril Huda |
Editor | : Deasy Mayasari |