TIMES JATIM, MALANG – Gelombang demonstrasi yang diwarnai kericuhan, perusakan fasilitas umum, hingga penjarahan di sejumlah daerah dalam beberapa pekan terakhir menuai perhatian publik. Pengamat hukum yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, menilai bahwa aksi anarkis tersebut bukan lagi gerakan murni rakyat untuk menyampaikan aspirasi.
“Kalau saya melihat situasi ini, ini sudah tidak murni. Kenapa saya katakan begitu? Kita belajar dari peristiwa sebelumnya, misalnya saat pemerintahan Pak Jokowi. Ada demo RUU KPK, RUU KUHP, mahasiswa protes, tapi tidak sampai ada pembakaran fasilitas umum dan penjarahan seperti sekarang,” ujarnya Rabu (3/9/2025).
Aan menjelaskan, dalam sebuah unjuk rasa, bentrokan antara massa dengan aparat adalah hal yang wajar jika terjadi karena aksi melewati batas waktu atau tidak segera dibubarkan. Namun, ketika demonstrasi berlanjut dengan aksi pembakaran hingga penjarahan pada dini hari, hal itu sudah di luar mekanisme hukum.
“Kalau hanya bentrokan karena demo molor sampai sore, lalu aparat bertindak represif untuk membubarkan, itu mekanisme yang biasa. Tapi kalau dini hari sampai ada pembakaran dan penjarahan, ini sudah di luar hukum,” tegasnya.
Bahkan, Aan menyoroti aksi pembakaran bangunan Cagar Budaya Gedung Negara Grahadi di Surabaya. Menurutnya, tindakan tersebut kontraproduktif dan merugikan masyarakat sendiri.
“Kalau membakar cagar budaya seperti Gedung Negara Grahadi di Surabaya, itu sama saja membunuh diri sendiri. Saya tidak yakin pelaku berasal dari massa yang murni ingin menyampaikan pendapat,” katanya.
Lebih lanjut, Aan menduga ada pihak-pihak yang memanfaatkan kekecewaan masyarakat untuk melakukan tindakan di luar hukum.
“Goal-nya adalah memanfaatkan situasi. Kita memaklumi masyarakat kecewa. Aspirasi rakyat sering tidak didengar. Banyak undang-undang dibuat terburu-buru, seolah-olah rakyat tidak ada. Mekanisme meaningful participation juga sering diabaikan,” jelasnya.
Namun, ia menekankan bahwa kekecewaan tidak bisa dijadikan pembenaran untuk aksi anarkis. Sebab, jika dibiarkan, hal ini bisa memicu dampak lebih buruk, termasuk kembalinya militer ke ranah sipil.
“Kalau kekecewaan dimanfaatkan untuk melegitimasi tindakan yang melanggar hukum, itu juga salah. Dampaknya bisa ke darurat militer, jam malam, dan peran sipil digantikan militer. Ini bukan lagi aspirasi rakyat, tapi ancaman bagi demokrasi,” tutup Aan. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |