https://jatim.times.co.id/
Berita

Pengamat Hukum UIN KHAS: Istilah ‘Penonaktifan’ Anggota DPR Bersifat Politis

Rabu, 03 September 2025 - 14:41
Pengamat Hukum UIN KHAS: Istilah ‘Penonaktifan’ Anggota DPR Bersifat Politis Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Basuki Kurniawan (FOTO: Basuki for TIMES Indonesia)

TIMES JATIM, JEMBER – Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Basuki Kurniawan, menegaskan bahwa istilah 'penonaktifan' anggota DPR sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum positif Indonesia. 

Menurutnya, terminologi tersebut lebih bersifat politik internal partai ketimbang mekanisme hukum formal.

“Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah penonaktifan anggota DPR sesungguhnya tidak dikenal dalam hukum positif, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) beserta perubahannya,” jelas Basuki, Selasa (3/9/2025).

Ia menerangkan, istilah nonaktif hanya muncul secara terbatas pada Pasal 144 ayat (2) UU MD3, itu pun khusus untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bukan untuk keanggotaan DPR secara keseluruhan. 

“Dengan demikian, ketika partai politik menggunakan istilah penonaktifan, hal itu lebih bersifat politik internal dan bukan kategori hukum formal yang mengubah status keanggotaan DPR,” tegasnya.

Basuki menjelaskan, satu-satunya mekanisme formal untuk mengakhiri atau menghentikan status anggota DPR adalah melalui Pemberhentian Antar Waktu (PAW). 

Hal itu kata dia, diatur dalam Pasal 239 dan Pasal 240 UU MD3, yang memuat sejumlah alasan, mulai dari meninggal dunia, mengundurkan diri, hingga diberhentikan oleh partai politik yang mengusungnya.

Selain itu lanjut dia, UU MD3 juga mengenal pemberhentian sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 244, yang berlaku bagi anggota DPR berstatus terdakwa dengan ancaman hukuman minimal lima tahun. Jika terbukti tidak bersalah, yang bersangkutan dapat kembali aktif.

“Berbeda dengan PAW maupun pemberhentian sementara yang jelas diatur undang-undang, istilah penonaktifan sama sekali tidak memiliki landasan hukum formal,” kata dosen di Fakultas Syariah UIN KHAS Jember itu.

Ia menambahkan, praktik penonaktifan yang kerap dilakukan partai politik lebih merupakan bentuk sinyal politik kepada publik. Namun, secara hukum, status anggota DPR tetap melekat hingga adanya keputusan resmi melalui mekanisme PAW. 

“Hak, kedudukan, dan fasilitas kedewanan tetap berjalan sampai ada keputusan formal,” imbuhnya pada TIMES Indonesia.

Dari perspektif hukum tata negara, lanjut Basuki, kewenangan partai politik hanya sebatas mencabut keanggotaan seseorang dari organisasi. 

Sementara itu, penghentian statusnya sebagai anggota DPR harus melalui mekanisme UU MD3. Untuk urusan kode etik dan perilaku kedewanan, yang berwenang adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

“Jadi, publik perlu membedakan antara langkah politik internal parpol dengan mekanisme hukum formal negara. Penonaktifan itu konstruksi politik, bukan kategori hukum,” pungkasnya.(*)

Pewarta : Moh Bahri
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.