TIMES JATIM, JAKARTA – Korea Selatan sedang dibayangi "kelumpuhan" pemerintahan disaat Presidennya dimakzulkan, sedangkan penjabat presiden sementara dan partai oposisi utama saling berebut pengaruh kekuasaan.
Penjabat Presiden Han Duck-soo dan oposisi utama Partai Demokratik Korea (DPK) sedang menghadapi dilema karena memperebutkan kekuasaan untuk posisi urusan utama negara.
DPK bahkan sudah mengeluarkan ancaman akan melengserkan pimpinan sementara, Han Duck-soo, jika tak menyetujui RUU Investigasi Khusus yang diajukan paling lambat 24 Desember.
Dua RUU yang diajukan DPK itu adalah investigasi khusus yang menargetkan ibu negara Kim Keon Hee dan penyelidikan soal deklarasi darurat militer Yoon yang gagal.
DPK adalah pemegang mayoritas parlemen.
Minggu (22/12/2024) siang, DPK mengeluarkan ultimatum yang menyatakan bahwa Han harus bertanggung jawab jika ia gagal membuat keputusan pada Malam Natal (24/12/2024) nanti.
Namun, seperti dilansir The Korea Times, bahwa permainan kekuasaan yang berlebihan bisa menjadi bumerang.
Sebagai penjabat presiden, Han Duk soo memiliki kewenangan untuk menunjuk hakim Mahkamah Konstitusi, isu utama bagi DPK yang bisa mempersulit strateginya.
Han Duk soo hanya memiliki waktu dua minggu untuk memutuskan RUU penyelidikan khusus itu setelah Majelis Nasional yang dikendalikan oposisi meloloskannya pada 12 Desember lalu, dua hari sebelum menyetujui usulan pemakzulan Yoon.
Kantor Han Duk soo mengatakan, akan meninjau RUU tersebut dengan saksama dan berunding sebelum membuat keputusan sebelum batas waktu secara hukum pada 1 Januari 2025 nanti.
Han Duk soo selama ini dianggap sebagai teknokrat, dia bukan politisi.
Anggota DPK awalnya berharap penjabat presiden itu bisa bekerja sama untuk menyetujui RUU yang kontroversial tersebut.
Tetapi dengan penolakan Han Duk soo terhadap enam RUU yang didukung oposisi minggu lalu itu, kini membuat oposisi ragu atas harapannya itu.
Selama rapat Kabinet, Kamis lalu, penjabat presiden itu memveto empat RUU pertanian, Undang-Undang Majelis Nasional, serta Undang-Undang Penilaian Kesaksian Majelis Nasional. Alasannya, itu adalah masalah konstitusional dan potensi bahaya bagi masa depan bangsa.
Veto tersebut merupakan sikap yang sangat jarang dari seorang pemimpin sementara, itu telah memicu reaksi keras dari DPK.
DPK menuduh Han Duk soo melanggar kekuasaan legislatif dan memperingatkannya untuk tidak mengubah Kabinet menjadi "Yoon Suk-yeol Jilid 2".
Para analis meyakini, bahwa Han Duk soo menghadapi keputusan yang sangat sulit terkait rancangan undang-undang penasihat khusus. Karena dengan menyetujui atau menolaknya, akan membawa konsekuensi politik yang signifikan.
"Ini dilema besar bagi penjabat presiden. Opini publik sangat mendukung penyelidikan khusus terhadap ibu negara, terutama karena banyak yang mencurigai setelah jaksa membebaskannya dari semua tuduhan," kata komentator politik, Park Sang-byung.
"Han sangat menyadari hal itu. Han sendiri yang mengakui kegagalannya untuk menghentikan Yoon dari mengumumkan darurat militer. Dengan menolak RUU penyelidikan khusus terhadap darurat militer, tentu akan tampak kontradiktif," tambah Park Sang-byung.
"Namun, menyetujui RUU tersebut juga akan menjadi pukulan berat bagi Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang berkuasa dan presiden yang sedang berjuang," tambahnya.
Penyelidikan penasihat khusus terhadap Yoon Sul-yeol dan istrinya bisa semakin melemahkan posisi kaum konservatif. "Karena mereka kini sedang bergulat dengan dampak dari pemakzulan presiden," katanya lagi.
Pemimpin sementara PPP, Kweon Seong-dong mengkritik desakan DPK untuk penyelidikan khusus itu dan menuduh oposisi berusaha "melumpuhkan pemerintah dan partai yang berkuasa."
Ia mendesak presiden sementara untuk menggunakan hak vetonya.
"Kegagalan menggunakan hak veto akan menjadi pelanggaran Konstitusi, mengingat unsur-unsur yang tidak konstitusional dalam RUU ini," tambah Kweon dalam konferensi pers, Minggu.
Sementara itu, DPK telah menetapkan batas waktu Malam Natal bagi Han Duk soo untuk menyetujui RUU tersebut.
"Jika Han tidak menyetujui rancangan undang-undang penasihat khusus tersebut paling lambat tanggal 24 Desember, maka kami akan segera meminta pertanggungjawabannya," kata pemimpin sidang DPK, Park Chan-dae.
Meskipun Park tidak merinci bagaimana langkah itu akan dilakukan, namun blok oposisi itu mengancam akan mencopot presiden sementara dari jabatannya.
Dengan 170 kursi di Majelis yang beranggotakan 300 orang, DPK memiliki cukup suara untuk melanjutkan pemakzulan terhadap Han Duk soo, yang memerlukan persetujuan mayoritas parlemen. Namun, hal inipun akan membawa risiko politik yang signifikan bagi DPK.
"Bagi DPK, prioritas utama adalah meningkatkan peluang pemakzulan Yoon dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk mencapai ini, mereka membutuhkan kerja sama dari Han Duk soo," kata Park.
Perebutan kekuasaan di Korea Selatan antara penjabat presiden dengan oposisi utama Partai Demokratik Korea (DPK) serta partai berkuasa, PPP, telah menimbulkan bayangan bahwa negara di semenanjung Korea itu menghadapi kelumpuhan pemerintahan. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |