TIMES JATIM, BANYUWANGI – Jika Berbicana tentang Banyuwangi, Jawa Timur, maka sebenarnya kita tidak benar-benar utuh dalam membayangkannya. Faktanya, tragedi ekologi masih kerap membersamai simpul kecil di Kecamatan Pesanggaran, tepatnya di bawah garis lintang -8.6086918 dan garis bujur 114. 0738545. Di titik itulah secara tidak langsung mata kita akan dihadapkan dengan struktur sosial yang berkecamuk dan hakikat alam yang mengupas.
Hal tersebut disampaikan oleh Mahasin Haikal Amanullah, akademisi sekaligus Lurah Mukadimah Institute, usai melakukan eksplorasi dalam rangka riset kolektif di petak 56, Gunung Gede, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, pada Jumat (5/12/2025) kemarin.
Menurut Haikal, ada noumena yang harus dibedah secara sistemik dan mendalam dalam kronik ini. fenomena petak 56 di Pesanggaran, tidak lahir dari satu topos mengenai kerusakan lingkungan saja, dampak itu hanya efek domino dari paradoks sosial dan apolitic pemerintah desa.
“Jika ditinjau dari aspek antropologi ekologi, tambang ilegal tumbuh ketika kehadiran negara mundur. Masalahnya, bukan hanya isu ekonomi dan kerusakan lingkungan, tetapi kekosongan tata kelola pemerintahan. Hal itu hadir di masyarakat Petak 56 ini,” kata Haikal, mengutip Roy Abraham Rappaport, Sabtu (6/12/2025).
Mengenal Lebih Dekat Simulacra Politik Illegal Mining Petak 56
Citra satelit Petak 56, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. (FOTO: Tangkapan Layar Google Maps)
Haikal mengurai anomali terstruktur dari fenomena kesenjangan ekologis di Petak 56 Pesanggaran. Sebagai manifesto aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI), konsekuensi logisnya adalah wilayah itu pasti memasuki zona abu-abu, di mana hukum, moral, dan ekologi dipaksa terbentur. Sesuai dengan apa yang dituturkan Giorgio Agamben.
Alumni Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UINKHAS) Jember ini mengingatkan agar publik lebih detail dalam mengeja realitas sosial.
Kebiasaan fenomena pelaku PETI di Petak 56, sebenarnya bukan satu-satunya objek dosa ekologis. Variabel tersiratnya dikuatkan dalam buku Slow Violence and the Enviromentalism of the Poor, bahwa etika kritik mengenai ekologi adalah dengan menyentuh sebab, bukan akibat.
“Ketika pemerintah desa kehilangan legitimasi sosialnya, masyarakat lokal akan berhenti melihatnya sebagai keadilan sosial dan mereka akan memperjuangkan keadilan versi mereka sendiri. Saya dapat menyebutnya sebagai variabel (sebab) yang tak tersentuh tadi”, tegasnya.
Aktivis muda ini menyebut bahwa premis ini menemukan justifikasi kuatnya saat pihaknya mendengarkan penjelasan langsung dari salah seorang tokoh illegal mining tersebut. Sebut saja inisialnya P.
“Pemerintah Desa sedikit abai pada kemashlahatan Desa, Mas. Asal tau saja, bahwa kita juga terlibat dalam pembangunan mikro desa, termasuk pavingisasi,” ucapnya menirukan apa yang dikatakan P.
Ya, itulah statemen implikatif dari relasi kuasa yang timpang. Seperti ketiadaan forum dialog, musyawarah yang inklusif, serta senjangnya kepercayaan membuat desa tampak berjalan dengan otoritas tertutup.
Di Balik Kerusakan Ekologi dan Manifesto Kebijaksanaan Kritik Terhadap Tambang
Dari studi analisis kawasan di Petak 56, secara empiris aktivitas tambang ilegal ini meninggalkan jejaknya, baik yang terdampak secara langsung maupun tak langsung.
Dampak di antaranya adalah adanya beberapa bekas lubang galian yang terlantarkan, hutan rusak, vegetasi hilang, hingga gangguan terhadap sistem air dan ekosistem sekitar.
Dalam kesempatan ini, Haikal juga menekankan pentingnya kritik yang adil dan tidak hanya terbelenggu pada stereotip sosial yang bergulir.
Baik tambang yang dikelola PT Bumi Suksesindo (PT BSI) yang sudah menjadi langganan kritik atau tambang ilegal di Petak 56 yang masih abu-abu di mata pengamat, semua harus analisis dengan paradigma locus ekologi yang sama.
“Perihal dampak ekologis, petak 56 lebih menghawatirkan keadaannya. Meski berskala kecil, saya belum melihat adanya transformasi ekologis disana. Cukup berbeda dengan PT BSI dengan reklamasi progresifnya”, kata pemuda yang berdomisili di Desa Sukonatar, Kecamatan Srono, Banyuwangi ini.
Selain perbandingan tersebut, Haikal juga mengurai wacana pincang dan kritik sentimen yang kerap hadir dalam discours tambang.
Meminjam istilah “hermeneutics of suspicion” Paul Ricoeur, Haikal menilai epistemologi dari hadirnya suatu wacana dapat ditafsir jika ada kecurigaan terhadap motif laten yang tak pernah diucapkan. Dalam konteks ini adalah illegal mining.
“Pro-Kontra itu wajar, saya hanya berharap ada pembacaan yang mencari kemungkinan untuk transformasi, kesembuhan, dan rekonsiliasi terhadap alam. Bukan propaganda belaka,” cetusnya.
“Kontra saja tidak cukup, apalagi pilah-pilih kontranya,” sambungnya mengutip buku Symbolism of Evil.
Dari kecuriagaan dan harapan itulah masyarakat dapat membaca secara objektif adu domba wacana politik ekologis mengenai tambang.
Warga Lokal Terjebak di Tengah Perang Wacana
Dominasi wacana kritik kepada PT BSI yang cukup sepihak, mengindikasikan adanya sebuah kepentingan wacana. Meski memakai gaya yang cukup revlusioner, terkadang dosis dogma sosialnya lebih tebal daripada datanya.
Ironisnya, yang justru melempar bola panas itu bukanlah warga lokal, tetapi warga tak dikenal dengan semboyan perlawanan.
Dalam konflik wacana tambang yang tak berkesudahan ini, baik yang berizin maupun yang bekerja di bawah bayang-bayang ilegal, sama-sama mengajarkan bahwa wacana publik di Banyuwangi sering terjerembab pada perjalanan panjang antara keraguan dan harapan.
Haikal juga menyinggung pemikian Michel Foucault yang mengingatkan bahwa setiap wacana, termasuk wacana revolusioner seperti kritik terhadap tambang, selalu mengandung relasi kuasa yang tersembunyi.
Menurut Haikal, sebuah kritik hanya sah apabila mampu mengkritik dirinya sendiri, menyaring bias, dan disertai data yang konkret.
“Jika struktur wacana selama ini justru memecah-belah masyarakat lokal, maka apa bentuk narasi alternatif yang bisa memulihkan relasi sosial-ekologis di sana?. Jangan jadikan wilayah selatan sebagai simtom dari prahara ini, apalagi memanfaatkan habitus konsumerisme warga lokal,” tuturnya.
Lebih lanjut, Haikal mengungkapkan bahwa dari berbagai pengakuan warga, banyak yang mengaku lelah karena terus menerus dibenturkan dengan PT BSI, perusahaan yang dinilai memberikan banyak kontribusi bagi masyarakat.
Sementara itu, pada pihak yang berseberangan, sebagian para peniup wacana justru menghilang ketika konflik memasuki tahap akhir.
“Itu adalah pengakuan absah dari warga yang pernah menjadi korban wacana,” tutup Lurah Mukadimah Institute itu. (*)
| Pewarta | : Muhamad Ikromil Aufa |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |