https://jatim.times.co.id/
Berita

Usia 18 Tahun Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan: dari Tremas, Ulama Dirawat dengan Ilmu dan Kesabaran

Minggu, 07 Desember 2025 - 09:35
Usia 18 Tahun Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan: dari Tremas, Ulama Dirawat dengan Ilmu dan Kesabaran Talkshow Malam Puncak Dies Maulidiyah 18 Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)

TIMES JATIM, PACITAN – Sabtu malam (6/12/2025), halaman Masjid Perguruan Islam Pondok Tremas tampak lebih ramai dari biasanya. Bukan karena pengajian rutin atau agenda pesantren harian, melainkan malam puncak Dies Maulidiyah ke-18 Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan.

Setelah sepekan diisi berbagai kegiatan, malam ini menjadi penutup sekaligus semacam jeda refleksi tentang ilmu, tentang sanad keilmuan, dan tentang bagaimana pesantren terus merawat tradisi berpikir di tengah zaman yang serba cepat.

Acara ini dihadiri lengkap dari dosen dan mahasantri, santri kelas akhir aliyah, tokoh pesantren, sampai perwakilan Pemerintah Kabupaten Pacitan. Duduk berbaur, tanpa jarak yang terlalu resmi, seperti halnya tradisi pesantren yang sejak awal memang egaliter.

Sejak awal acara, suasana khidmat terasa. Selawat Nabi dan mahalul qiyam dibacakan bersama-sama. Sebelumnya, grup banjari menghangatkan suasana. Kombinasi yang lumrah di pesantren: religius, meriah, tapi tetap khusyuk.

Negara Menoleh ke Pesantren

Mewakili Bupati Pacitan, Prayitno datang membawa kabar baik. Pemerintah melihat Ma’had Aly bukan sekadar lembaga pendidikan diniyah tingkat lanjut, melainkan aset daerah.

Dalam sambutannya, Prayitno menyebut Ma’had Aly Al-Tarmasi telah berperan penting mencetak kader ulama dan cendekiawan Muslim. Bukan hanya paham kitab, tapi juga punya adab, karakter, dan kesadaran kebangsaan.

“Selama 18 tahun, Ma’had Aly Al-Tarmasi konsisten mencetak kader ulama dan cendekiawan Muslim,” ujarnya.

Di tengah kecenderungan sebagian orang yang tergesa-gesa ingin instan termasuk dalam urusan agama, keberadaan Ma’had Aly justru merawat proses panjang bernama ilmu.

Ilmu Tidak Tumbuh Sendirian

Naib Mudir I Ma’had Aly Al-Tarmasi, KH Abdillah Nawawi, Lc. tidak berbicara soal capaian spektakuler. Ia justru menekankan satu hal yang sering luput dibicarakan, kerja kolektif.

“Keberlangsungan Ma’had Aly ini buah dari kesabaran, ketulusan, dan kerja banyak pihak,” katanya.

Bagi KH Abdillah, Ma’had Aly tidak berdiri karena satu tokoh semata. Ia tumbuh karena ada muhadir yang setia mengajar, mahasantri yang tekun belajar, dan ekosistem pesantren yang menjaga nyala ilmu tetap hidup.

Harapannya sederhana tapi serius: Ma’had Aly tetap menjadi rumah bagi lahirnya gagasan besar, bukan sekadar pabrik ijazah.

Dari Resensi Kitab sampai Qiraatil Kutub

Malam itu juga diumumkan para pemenang lomba resensi kitab Fath al-Majid karya Syaikh Ahmad Dahlan bin Abdullah At-Tarmasi.

Juara pertama diraih Muhammad Habib Yusro dari Ma’had Aly Hasyim Asy’ari lewat tulisannya tentang relevansi Fath al-Majid di tengah fikih minoritas. Juara kedua diraih perwakilan Ma’had Aly Rasyidiyah Khalidiyah, disusul Ali Yusuf Muzaki di posisi ketiga.

Selain itu, Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) tingkat Kabupaten Pacitan juga diumumkan. Untuk kategori lokal Pondok Tremas, Rizki Dwi Santoso keluar sebagai juara pertama. Sementara kategori luar Pondok Tremas dimenangkan M Arsya Dani Hilmi.

Di pesantren, merayakan prestasi seperti ini bukan sekadar soal menang atau kalah. Ini cara sederhana menyatakan: membaca kitab masih relevan, bahkan penting.

Ketika Mbah Dim Dibicarakan

Sesi inti malam itu adalah diskusi ilmiah yang dimoderatori Farkhi Asna, Lc., M.Pd., dengan menghadirkan sejarawan sekaligus alumni Tremas, Iip Dzulkifli Yahya, bersama Mudir Ma’had Aly, KH Luqman Al Hakim Harits Dimyathi.

Iip mengaku sengaja lebih banyak membahas sosok KH Dimyathi bin Abdullah. Bukan karena Syekh Mahfudz At-Tarmasi kurang penting, tetapi karena kajian tentang beliau sudah sangat melimpah.

“Mbah Dim ini posisinya mentor. Tidak semua kiai pesantren berada di posisi itu,” kata Iip.

KH Luqman menimpali dengan kisah personal. Ia mengaku kagum saat membuka kitab-kitab milik KH Dimyathi: bersih, rapi, hampir tanpa catatan.

Di situ, pesan sederhana terasa menguat: ilmu tidak selalu ditandai dengan banyaknya coretan, tapi dengan kedalaman pemahaman.

Tradisi Ngaji Harus Dihidupkan

Ketika ditanya soal relevansi perjuangan KH Dimyathi hari ini, jawabannya justru sederhana: rawat tradisi ngaji.

Iip bahkan mengusulkan agar mahasantri diberi tugas rutin menulis biografi tokoh pesantren. Tidak sekadar sebagai tugas akademik, tapi sebagai upaya merawat ingatan.

Diskusi pun mengalir, dari metode pendidikan klasik hingga tantangan pesantren menghadapi teknologi. Tidak ada kesimpulan bombastis. Tidak ada slogan berlebihan.

Malam puncak Dies Maulidiyah ke-18 ini ditutup dengan penyerahan cendera mata, pemutaran video ucapan, dan hiburan musik. Tapi yang paling penting, tampaknya, bukan penutup acaranya melainkan keyakinan bersama bahwa ilmu, jika dirawat dengan sabar, akan menemukan jalannya sendiri. (*)

Pewarta : Yusuf Arifai
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.