TIMES JATIM, BONDOWOSO – Di era ketika nasihat berserakan di media sosial namun miskin pengaruh, kiai mengajarkan bahwa keteladanan sejati tidak lahir dari petuah, melainkan dari laku hidup yang konsisten.
Inilah yang pernah disampaikan Al-Ghazali: “Hal yang paling sulit bukan memahami kebaikan, tetapi meneladaninya.” Pesan ini tampak dalam keseharian kiai kesederhanaan, sikap rendah hati, keteguhan ibadah, penghormatan terhadap manusia lain.
Mereka mendidik tanpa perlu banyak bicara; adab mereka menjadi kitab yang dibaca santri setiap hari. Ketika masyarakat kehilangan figur panutan, kehadiran kiai menjadi pembuktian bahwa moral tidak selalu harus diajarkan, tetapi ditampilkan.
Dalam diri para kiai, kita menemukan apa yang oleh filsuf Martin Buber disebut sebagai kehadiran yang memanggil manusia kembali kepada dirinya sendiri. Kiai tidak hanya menunjukkan bagaimana manusia seharusnya berlaku, tetapi juga mengingatkan bahwa hidup memiliki kedalaman yang tak dapat disentuh oleh hiruk-pikuk modernitas.
Mereka adalah cermin yang membuat kita melihat kembali wajah kemanusiaan yang nyaris pudar: wajah yang teduh, sabar, dan berorientasi pada kebaikan. Di tengah dunia yang semakin mengagungkan kecepatan dan pencapaian, kiai mengajarkan ritme lain ritme yang membuat jiwa pulang, menemukan akar, dan kembali merayakan makna hidup yang sejati.
Pesantren sebagai Rumah Batin di Tengah Disrupsi
Pesantren hadir sebagai ruang yang menjaga kedalaman spiritual ketika dunia luar dicekam hiruk-pikuk digital. Dalam bahasa filsuf Charles Taylor, manusia modern mengalami loss of moral horizon kehilangan cakrawala moral. Pesantren menawarkan horizon itu kembali. Di lingkungan yang teratur, sunyi, dan disiplin, santri belajar makna kesabaran, kebersamaan, dan kemandirian.
Di sinilah kiai memainkan peran strategis: menjadi penjaga ritme batin di saat ritme dunia telah kehilangan rem. Pesantren mengajarkan bahwa waktu tidak hanya untuk berlari, melainkan juga merenung; bahwa hidup tidak hanya tentang mengejar, tetapi juga menemukan makna.
Dalam konteks ini, pesantren bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi juga arsip peradaban batin yang menjaga manusia agar tidak kehilangan dirinya. Di saat algoritma digital membentuk cara berpikir dan memilih, pesantren mengajarkan kemampuan untuk kembali menjadi subjek atas hidup sendiri: memilih dengan nurani, bukan dikendalikan oleh arus. Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Arabi, manusia hanya dapat memahami dunia luar setelah ia mengenali dunia dalam dirinya.
Pesantren menuntun santri melakukan perjalanan batin itu, sebuah perjalanan yang kini menjadi barang langka dalam budaya yang serbacepat. Di bawah asuhan kiai, ruang ini menjadi tempat di mana jiwa dipelihara, karakter ditempa, dan manusia kembali menemukan keutuhan dirinya yang nyaris hilang di tengah disrupsi.
Dalam sejarah Islam, selalu ada dua wajah kepemimpinan moral: mereka yang tulus menjaga amanah, dan mereka yang tergelincir oleh ambisi. Para ulama menyebut yang kedua sebagai ulama su’ mereka yang memanfaatkan kehormatan untuk kepentingan diri.
Mengakui keberadaan mereka bukan untuk menodai dunia keulamaan, melainkan untuk mengingatkan bahwa martabat spiritual harus dijaga dari godaan kekuasaan. Ibn Khaldun pernah menulis bahwa kehormatan agama dapat runtuh jika pemegangnya kehilangan integritas.
Karena itu, kiai sejati tidak menuntut penghormatan; kehormatan itu datang dengan sendirinya karena kemuliaan perilaku. Pembedaan ini penting agar masyarakat dapat membedakan antara kemurnian amanah dan penyalahgunaannya.
Ulama sejati adalah mereka yang menjadikan ilmu sebagai jalan untuk menyinari manusia, bukan sebagai tangga untuk menaiki singgasana dunia. Mereka hadir seperti mata air: tenang, jernih, dan memberi kehidupan tanpa memilih siapa yang berhak minum. Inilah yang ditekankan oleh Jalaluddin Rumi ketika berkata, “Pemimpin sejati adalah dia yang cahayanya membuat orang lupa bahwa ia memimpin.”
Dalam tradisi pesantren, cahaya itu lahir dari disiplin batin yang panjang dari malam-malam sunyi yang diisi doa, dari laku hidup yang meletakkan kepentingan orang lain di atas dirinya. Ketika seorang kiai menjaga amanahnya, ia sedang menjaga kualitas kemanusiaan kita semua, sebab keteladanan moral selalu merembes dari seorang guru kepada murid, dari seorang pemimpin kepada masyarakat.
Sebaliknya, ulama su’ adalah cermin gelap yang memperlihatkan kepada kita bagaimana kehormatan dapat berubah menjadi ruang penyimpangan jika tidak dibingkai oleh integritas. Mereka menunjukkan sisi paling rapuh dari manusia: ketika ilmu kehilangan ruh, ketika kehormatan menjadi komoditas, ketika keagamaan menjadi topeng.
Kehadiran mereka harus menjadi alarm bagi publik bahwa moralitas tidak boleh diterima secara pasif; ia harus dijaga, dikritisi, dan diperjuangkan. Di titik inilah masyarakat memiliki peran moral: tidak terpesona oleh simbol, tetapi melihat kedalaman; tidak terjebak oleh gelar, tetapi menilai keluhuran laku.
Dengan membedakan keduanya ulama sejati dan ulama su’ kita sedang memilih wajah peradaban yang ingin kita bangun: peradaban yang bersandar pada kejujuran, kehormatan, dan keteladanan yang tidak bisa dibeli.
Dalam kebingungan moral yang menyelimuti dunia modern, kita membutuhkan figur yang mampu menunjukkan arah tanpa terjebak dalam ingar-bingar popularitas. Kiai dengan akar tradisi, kesunyian batin, dan keluhuran akhlaknya adalah mercusuar di tengah gelombang zaman.
Masyarakat boleh berubah, teknologi boleh berkembang, tetapi nilai keteladanan tidak pernah usang. Seperti dikatakan Rumi, “Manusia menjadi terang bukan karena bicara tentang cahaya, tetapi karena ia sendiri menjadi cahaya itu.” Dan hari ini, ketika dunia sibuk mencari arah, cahaya itu masih memancar dari sosok yang kita panggil, Kiai.
***
*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |