https://jatim.times.co.id/
Berita

Perjalanan Pabrik Gula Sukowidi, Saksi Bisu Perjuangan Industri Gula di Banyuwangi Era Kolonial

Minggu, 19 Januari 2025 - 05:20
Perjalanan Pabrik Gula Sukowidi, Saksi Bisu Perjuangan Industri Gula di Banyuwangi Era Kolonial Pabrik Gula Sukowidi Jaman dulu. (Foto : Grup Facebook Banjoewangi Tempo Doeloe Munawir)

TIMES JATIM, BANYUWANGI – Setetes air tebu bagai emas yang bernilai tinggi di era kolonial Hindia Belanda. Dan bangunan Pabrik Gula Sukowidi yang kini berusia 130 tahun, menjadi salah satu saksi bisu perjalanan industri gula di Banyuwangi, Jawa Timur.

Pabrik gula Sukowidi yang berada di Kecamatan Kalipuro itu, berada dibawah kepemilikan N.V Cultuur Maatschappij de Maas dari Rotterdam dan Hindia Belanda yang diwakili oleh Firma Anemaent & Co yang dibangun pada tahun 1895. Di tahun itu pula penanaman tebu pertamanya.

Dijelaskan oleh Koordinator Arkeolog Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi (Disbudpar Banyuwangi), Bayu Ari Wibowo, pendirian pabrik gula tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, yang pertama karena kebutuhan gula yang meningkat dan menjadi komoditas perkebunan dengan harga tinggi di Hindia Belanda termasuk perkembangan pabrik gula Sukowidi pada 1895-1930 dapat dikatakan cukup baik. 

“Bahkan dikatakan hasil produksi per hektar tidak jauh berbeda dengan rata-rata produksi pada pabrik gula di grup Situbondo,” kata Bayu, Sabtu (18/1/2025).

Dalam perjalanan industri komoditas dengan rasa manis itu, pabrik gula Sukowidi pernah mengalami beberapa insiden. Pada bulan Januari-Juni 1902 perkebunan tebu di wilayah Sukowidi pernah terbakar beberapa kali. Seorang pemuda bernama J.F Hagenstein, yang tinggal di Desa Bahungan, Banyuwangi dituduh membakar alang-alang sehingga menyebabkan perkebunan tebu tersebut terbakar. 

Pabrik-Gula-Sukowidi-B.jpgPabrik gula Sukowidi saat ini. (Foto : Grup Facebook Banjoewangi Tempo Doeloe Munawir)

“Dari sumber penelitian, mengatakan sudah tiga kali ini J.F Hagenstein dituduh. Sebelumnya, juga dituduh sengaja membakar kebun tebu dengan menggunakan media korek api dan kulit kelapa,” ujar Bayu.

Setelah kurang lebih 35 tahun beroperasi, pabrik gula Sukowidi terancam ditutup karena krisis ekonomi yang mulai menyeruak ke permukaan. Kala itu, hanya 920 bau dari 1.150 bau area kebun tebu milik pabrik yang ditanami. Itu pun tidak penuh atau hanya sekitar 20 persen dari kapasitas produksi. 

Ketika krisis ekonomi di tahun 1930 itu, termasuk masa krisis malaise sampai 1937. Pabrik gula Sukowidi ini mengalami kesulitan untuk bangkit. Hal ini tentu terjadi akibat harga gula di pasar internasional turun drastis dan banyaknya penyakit tebu.

“Ditambah lagi dengan kurang cakapnya manajemen kepegawaiannya, yang banyak sekali pergantian pekerja,” papar Bayu.

Namun muncul kabar, pemerintahan saat itu memutuskan bahwa Pabrik Gula Sukowidi tidak akan ditutup dan penanaman tebu untuk tahun 1933 sudah dapat direncanakan. Tentu berita itu sangat menggembirakan, tak hanya bagi karyawan tetapi juga bagi pemerintah wilayah. Mengingat, Sukowidi merupakan pabrik gula satu-satunya yang masih berdiri di Banyuwangi yang kontribusinya sangat besar bagi kemakmuran masyarakat. 

Bagaimana tidak, setiap tahun, perusahaan pabrik gula Sukowidi, menyumbang uang sebesar f500.000 atau Rp4.348.569.400 kepada penduduk dalam bentuk upah tebang, upah angkut, biaya pengerjaan tanah, menyediakan lapangan pekerjaan bagi para kuli pabrik, kuli kereta api, sumbangan pemeliharaan jalan dan saluran air.

“Sebelumnya pabrik gula Rogojampi dan Kabat telah ditutup dan pabrik gula Sukowidi yang masih bertahan,” papar Bayu.

Pada bulan April 1931 pemerintah memutasi A. Pereira yang sebelumnya menjadi kepala pabrik di Sukowidi. Ketika itu, area perkebunan tebu milik Pabrik Gula Sukowidi dibawah kelola Anemaet & Co. mengalami pengurangan produksi dari 1.150 bau menjadi 950 bau. Sehingga, pihak direksi memutuskan untuk menyewa sejumlah lahan agar penanaman tebu dapat segera dilakukan pada bulan Maret 1933.

Pada tahun berikutnya di 1932, pabrik gula Sukowidi tidak melakukan penanaman tebu seperti tahun lalu karena alasan efisiensi produksi.

Pada akhir tahun 1934 pabrik Gula Sukowidi resmi ditutup dan kepala kepala pabrik gula yaitu Tuan N. Boon per 1 September 1934 akan kembali ke Eropa, kecuali insinyur Vos yang akan mengelola bangunan pabrik yang ditinggalkan. Alasannya karena daya beli masyarakat terhadap komoditas gula sudah sangat rendah. 

“Setelah ditutup, dan tidak berproduksi, gedung bekas Pabrik Gula Sukowidi digunakan sebagai pabrik serabut kelapa,” ucap Bayu.

Pabrik gula Sukowidi yang sekarang lebih dikenal dengan nama ‘Seranite’. Dinamakan demikian, karena pernah dijadikan pabrik Seranit (sejenis Asbes) hingga dikenal sampai saat ini. (*)

Pewarta : Anggara Cahya Kharisma
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.