TIMES JATIM, MALANG – Bulan Ramadan disebut menjadi sebuah bulan yang penuh berkah. Namun sayangnya, momen ini juga dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang kurang bertanggungjawab. Salah satunya dengan mengais simpati orang lain dengan cara mengemis. Fenomena yang tertangkap di bulan Ramadan, terjadi peningkatan jumlah pengemis di berbagai daerah.
Menurut data, jumlah pengemis di Indonesia pada tahun 2019 diperkirakan mencapai 5,84 juta jiwa. Meningkatnya jumlah pengemis selama Ramadhan sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan hal ini menjadi perhatian dari para pakar sosial.
Dosen program studi kesejahteraan sosial (Kesos) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof. Dr. Oman Sukmana menjelaskan bahwa ada tiga faktor utama yang menyebabkan lonjakan pengemis selama bulan Ramadhan. Pertama, situasi dan kondisi sosial masyarakat yang meningkat.
Masyarakat cenderung lebih peduli dan berbagi di bulan suci ini, menjadikannya sebagai momen yang tepat bagi pengemis untuk melancarkan aksinya. Lalu, mereka menyadari bahwa banyak orang yang lebih terbuka dan murah hati di bulan Ramadhan.
Kedua, faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab utama. Selama Ramadhan, kebutuhan ekonomi masyarakat meningkat, sementara lapangan pekerjaan semakin sulit didapat. Dalam kondisi ini, banyak orang yang terjebak dalam kemiskinan dan mengemis menjadi cara yang dianggap paling mudah untuk mendapatkan nafkah.
Ketiga, ketersediaan dan aksesibilitas yang tinggi selama bulan suci. Dengan banyaknya kegiatan sosial dan amal yang dilakukan selama Ramadan, para pengemis merasa bahwa peluang mereka untuk menerima sumbangan semakin besar. Hal ini memperburuk jumlah pengemis di masyarakat.
Lebih lanjut, Oman menyarankan adanya kebijakan yang lebih terstruktur dalam menangani masalah ini. Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan Mediating Structure, sebuah sistem yang menjadi jembatan antara potensi filantropi masyarakat dengan mereka yang membutuhkan. Lembaga sosial yang profesional perlu berperan aktif dalam mengelola dana sedekah agar dapat disalurkan secara tepat sasaran.
"Potensi sedekah yang besar selama Ramadhan harus dikelola dengan baik oleh lembaga sosial agar benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan, bukan hanya kepada mereka yang mengandalkan cara yang tidak produktif seperti mengemis," ujar Oman.
Budaya sedekah yang berkembang selama bulan Ramadhan memang memberikan dampak positif bagi banyak orang, tetapi juga membuka celah bagi pengemis untuk memanfaatkan kebaikan tersebut. Suasana kebersamaan yang tercipta di tempat ibadah dan pasar selama bulan suci mendorong banyak orang untuk berbagi, namun hal ini juga memperbesar peluang bagi pengemis untuk meminta-minta.
Selain itu, ada risiko jangka panjang yang perlu diwaspadai. Jika sedekah disalurkan secara langsung kepada pengemis, hal itu bisa memperburuk ketergantungan mereka. Sedekah yang tidak terkelola dengan baik dapat mengajarkan mental fragmatis kepada mereka, yang akhirnya malah tidak menyelesaikan akar masalah.
Selanjutnya, peningkatan jumlah pengemis di suatu daerah juga mencerminkan kegagalan daerah tersebut dalam mengatasi masalah sosial, terutama kemiskinan. Pengemis dan gelandangan merupakan bagian dari Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), yang seharusnya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.
Oleh karena itu, penting untuk menyalurkan sedekah dengan cara yang lebih terstruktur melalui lembaga sosial yang profesional agar bantuan yang diberikan dapat tepat sasaran dan memberikan dampak jangka panjang yang positif. Tidak hanya bagi pengemis, tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan mereka serta menciptakan perubahan sosial yang lebih baik.
“Semakin banyak pengemis dan gelandangan di suatu daerah, semakin jelas bahwa daerah tersebut belum berhasil mengatasi masalah sosial yang ada,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |