TIMES JATIM, SIDOARJO – Laporan studi yang diterbitkan jurnal Scientfic Reports pada (18/2) menjelaskan bahwa jumlah emisi gas metana dari semburan lumpur lapindo di Kabupaten Sidoarjo, merupakan yang terbesar yang dihasilkan dari sebuah gas alam bumi.
Lumpur lapindo menjadi bencana sejak 2006 menyembur bekas pengeboran minyak PT Lapindo Brantas di Sidoarjo. Sejak kemunculan bencana tersebut lumpur lapindo tak hentinya menyemburkan air, gas, lumpur dan minyak - sebagaimana dilansir Nationalgeographic.
Metana sendiri adalah gas rumah kaca yang 18 kali lebih kuat dari karbondioksida. Gas ini keluar dari pusat kawah lumpur Lapindo Sidoarjo seluas 7,5 kilometer.
Sebuah penelitian kolaborasi dari pihak internasional yang dipimpin Adriano Mazzimi dari Centre for Earth Evolution and Dynamics di Univesity of Oslo dilakukan dalam rangka memantau dan menganalisis lumpur lapindo selama beberapa tahun.
Hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa bencana ini adalah fenomena geologi yang dipicu tekanan fluida yang tinggi akibat interaksi dengan gunung api magmatik yang dekat lokasi tersebut. Oleh karena itu lumpur lapindo dianggap manifestasi permukaan dari sistem sedimen/hidrotermal hibrida.
Karbondioksida (CO2) dan metana (CH4) ini adalah kandungan yang terdapat dalam lumpur lapindo Sidoarjo. Para peneliti mengukur gas ke atmosfer menggunakan pengukuran berbasis darat dan satelit (TROPOMI).
Kedua teknik tersebut menunjukan total kandungan di lumpur lapindo sekitar 100.000 ton per tahun. Jumlah ini adalah tertinggi dan terbesar yang pernah tercatat secara eksperimen maupun secara penelitian untuk manifestasi gas alam.
Studi baru terhadap emisi lumpur lapindo di Kabupaten Sidoarjo ini juga menunjukan bahwa pengukuran emisi gas dengan bantuan satelit, dapat menjadi cara yang paling ampuh untuk mengetahui cara gas metana di darat dan meningkatkan cara estimasi jumlah geometana secara global. (*)
Pewarta | : Shinta Miranda Sari (MG-242) |
Editor | : Ronny Wicaksono |