https://jatim.times.co.id/
Berita

5 Tradisi Sakral di Pacitan yang Masih Bertahan

Rabu, 18 Januari 2023 - 16:02
Tradisi Sakral di Pacitan Dipercaya Mampu Mengusir Malapetaka Tradisi sakral Badut Sinampurno di Desa Ploso, Kecamatan Tegalombo, Kabupaten Pacitan dipercaya mampu mengusir malapetaka. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)

TIMES JATIM, PACITAN – Kabupaten Pacitan, Jawa Timur sudah pasti terkenal akan keindahan alamnya. Baik keindahan pantai, sungai, sawah, dan destinasi wisata lainnya. Ada juga tradisi sakral di Pacitan yang dipercaya mampu mengusir malapetaka hingga sekarang. 

Tradisi sakral di Pacitan ini dilakukan pada saat-saat tertentu dan memiliki tujuan khusus. Jika anda sedang merencanakan untuk liburan ke Pacitan, tidak ada salahnya menyaksikan budaya yang masih kental dengan spiritual dan nilai mistis. 

Berikut merupakan lima daftar tradisi sakral di Pacitan yang masih bertahan.

1. Badut Sinampurno

Badut-Sinampurno-3.jpgSuasana arak-arakan kirab tradisi Badut Sinampurno di Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia) 

Badut Sinampurna merupakan upacara tradisional jenis ruwatan yang melekat di Desa Ploso, Kecamatan Tegalombo. Tradisi sakral di Pacitan ini secara geologis kini berusia 10 generasi.

Ki Saidi dan Katmin merupakan generasi ke sepuluh yang mendapatkan warisan alat untuk upacara adat berupa kupluk. 

Jika kita hitung sekitar 100 tahun yang lalu tepatnya tahun 1919 atau bulan Longkang 1853 Jawa. Upacara Ruwatan Badut Sinampurno tidak dapat dipisahkan dengan unsur mantra dan perilaku dramatis dalam pelaksanaannya.

Adapun genealogis pewarisan upacara ruwat Badut Sinampurna secara berurutan bermula dari Mbah Jayaniman, Mbah Kanjeng Kendang, Kanjeng Jimat, Kanjeng Gimbal, Mbah Rono Kenco, Nara Kenco, Nala Jaya, Nala Krama, Mbah Misdi, dan Saidi. Diperkirakan keberadaan Badut Sinampurna sudah berusia sekitar satu setengah abad.

Terdapat keunikan pada media yang digunakan untuk ritual sakral di Pacitan ini. Pada umumnya upacara ruwatan pada masyarakat Jawa menggunakan media wayang kulit dan dilakonkan oleh seorang dalang dengan diiringi gamelan. Akan tetapi upacara ruwatan Badut Sinampurna menggunakan media berupa kupluk layaknya badut yang berwarna-warni serta diberi renda-renda.

Selain itu, upacara ruwatan Badut Sinampurno memunculkan beberapa tokoh peran antara lain Ki Jayaniman, Ki Demang, Kala dan Cantrik.

Karena termasuk upacara ruwatan, Badut Sinampurna juga menggunakan sesajen sebagaimana upacara adat yang lain. Suasana menjadi tambah syahdu lantaran diiringi gamelan dan gerongan sinden. 

Menurut Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata, Pemuda, Kebudayaan dan Olahraga (Disparbudpora Pacitan), Djohan Perwiranto memaparkan sejarah asal usul kupluk dalam upacara ruwatan Badut Sinampurno. Pelaksanaanya tidak hanya sekali dalam setahun, namun disesuaikan dengan hajat, bisa perorangan atau lembaga. Misalnya saat ada orang sakit, ketika sembuh mengundang badut, juga ketika terjadi pagebluk. 

"Kupluk warna-warni yang dipakai untuk ritual Badut Sinampurna itu kan peninggalannya kanjeng Djimat. Kupluk yang asli, misalnya besok mau ada badutan, itu dites dulu dengan media sungai oleh juru kunci disaksikan warga, kalau kupluknya lari ke atas, berarti besok jadi menggelar badutan, tapi kalau hanyut belum berani," katanya, Rabu (18/1/2023). 

2. Janggrung Murwokolo

Tradisi sakral di Pacitan selanjutnya adalah Janggrung Murwokolo. Tradisi ini merupakan upacara adat bersih desa yang sangat kental di Desa Gemaharjo, Kecamatan Tegalombo yang dilaksanakan setiap setahun sekali. 

Menurut Djohan, pelaksanaan upacara adat Janggrung murwokolo memiliki tingkat tanggung jawab yang cukup berat. Hal itu mengingat letaknya berada di perbatasan dengan Kabupaten Ponorogo. Secara kultur tentu sangat jauh berbeda, mulai sopan santun orangnya, hingga kultur budayanya. 

"Kenapa begitu kuat di sana, karena wilayah tersebut memang perbatasan. Secara makna berat, karena tidak hanya menolak balak, tapi juga menolak pengaruh luar yang dinilai tidak baik," terangnya. 

3. Jangkrik Genggong

Jangkrik-Genggong.jpgUpacara adat Jangkrik Genggong dari Dusun Tawang, Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo ini dilaksanakan sekali dalam setahun, yakni setiap Selasa Kliwon (Anggara Kasih) bulan Selo (Longkang/Dzulqo’dah). (FOTO: Prokopim for TIMES Indonesia) 

Upacara adat Jangkrik Genggong yang berasal dari Dusun Tawang, Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo. Tradisi sakral di Pacitan ini dilaksanakan sekali dalam setahun, yakni setiap Selasa Kliwon (Anggara Kasih) bulan Selo (Longkang/Dzulqo’dah). 

Penamaan Jangkrik Genggong diambil dari gending tayub kesukaan (kelangenan) sosok Wonocaki yang dipercaya warga setempat sebagai danyang punden atau makhluk halus penunggu tempat yang dikeramatkan. 

Upacara adat ini juga sebagai pertanda perayaan untuk anak laki-laki yang telah beranjak dewasa. Usai dilaksanakan upacara adat ini, anak tersebut boleh turun ke laut untuk berlayar mencari ikan. 

"Jangkrik genggong juga asyik, soalnya ada tayubnya yang dilaksanakan pada malam hari. Hidangannya berupa kakap merah, semisal besok pelaksanaan, para nelayan hari sebelumnya melaut hanya untuk mencari kakap merah," ucap Djohan menambahkan. 

4. Upacara Baritan

Upacara Adat Baritan ini merupakan tradisi yang berada di masyarakat Desa Gawang, Kecamatan Kebonagung. Prosesi tradisi sakral di Pacitan ini cukup unik. Dilaksanakan waktu pagi, ada kentongan yang dipukul, warga laki-laki bergegas berangkat membersihkan makam. 

Di wilayah tersebut terdapat sebuah tempat yang dikeramatkan, konon dikuasai oleh sosok sakti bernama Soreng Pati. 

Mitosnya, tak ada satupun pejabat atau orang berpangkat berani naik ke tempat Soreng Pati itu lantaran khawatir sial atau turun jabatan. 

"Sebagian warga perempuan menunggu di perempatan bersama juru kunci, di sana kemudian menyembelih kambing kendit, terus diolah. Setelah matang, semua orang cuci tangan menyantap hidangan setelah didoakan," papar Djohan. 

Lebih lanjut dirinya menjelaskan, kepala kambing tersebut dikubur di perempatan, kakinya ditanam di batas dusun, setelah itu, juru kunci mengiris kulit kambing, kemudian setelah ditaruh pada bambu, dibagikan ke setiap warga untuk dibawa pulang. 

"Kulit akan digantung di atas pintu rumah warga yang didapat dari juru kunci untuk tolak balak," jelas Djohan Perwiranto kepada TIMES Indonesia. 

5. Ruwatan

Berbicara ruwatan, Pulau Jawa sudah tidak asing lagi, bahkan hampir setiap daerah melakukannya. Berbeda dengan adat lainnya, ruwatan bisa dilakukan kapan pun dengan maksud tertentu. 

Upacara adat Ruwatan ini identik dengan pertunjukan wayang kulit, yang melaksanakan bisa berbentuk wilayah atau perorangan. Sebagai contoh, jika orang tua hanya punya anak satu-satunya atau ontang-anting, maka perlu diruwat. 

"Sebenarnya tradisi yang masih asli menarik untuk dikupas. Ruwatan itu sebetulnya sebelum Badut Sinampurno sudah ada. Pelaksanaanya menyesuaikan hajat," pungkas Djohan Perwiranto terkait lima tradisi sakral di Pacitan yang dipercaya mampu mengusir malapetaka. (*)

Pewarta : Yusuf Arifai
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.