TIMES JATIM, SURABAYA – Di kompleks Tugu Pahlawan, Surabaya sebuah museum berdiri bukan sekadar untuk menyimpan koleksi, melainkan menghidupkan kembali api perjuangan 10 November 1945. Setiap diorama, senjata, hingga kisah rakyat sederhana seperti Bu Dar Mortir, mengingatkan bahwa kemerdekaan Indonesia lahir dari pengorbanan yang tak ternilai.
Di Museum 10 November, koleksi sejarah pertempuran 10 November 1945 tersimpan rapi. Museum dua lantai berstruktur piramida ini diresmikan pada 19 Februari 2000 oleh Presiden RI, KH. Abdurrahman Wahid, sebagai pengingat perjuangan rakyat Surabaya melawan pasukan sekutu.
Dari pintu masuk lantai satu, terdapat ruang audio visual yang dapat dimasuki oleh pengunjung pada waktu tertentu. Pemutaran film dokumenter yang menunjukkan bagaimana pertempuran Surabaya berlangsung. Setelah menontonnya, pengunjung dapat pergi ke ruang pamer pertama, yang memiliki diorama pertempuran, dokumentasi foto, dan panel informasi sejarah.
Terdapat zona proklamasi yang menuturkan proses penyebaran kabar kemerdekaan Indonesia yang kala itu tidak mudah. Jepang masih menduduki beberapa wilayah, sementara teknologi komunikasi sangat terbatas. Di Surabaya, teks proklamasi bahkan diterjemahkan ke bahasa Jawa dan Madura agar luput dari pengawasan tentara Jepang, lalu disebarkan melalui pesan sandi Morse.
Replika patung Bu Dar Mortir. (Foto: Della Nur Khofiah/TIMES Indonesia)
Museum i10 November juga menjelaskan tentang asal-usul tiga lembaga penting dalam sejarah Indonesia. Polisi Istimewa, yang merupakan cikal bakal dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Komite Nasional Indonesia (KNI), yang sekarang dikenal sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang kemudian berkembang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Di area lain, bisa ditemukan filosofi Tugu Pahlawan. Monumen setinggi 41 meter dengan bentuk paku terbalik. Bentuk ini berfungsi sebagai peringatan bahwa setiap orang yang mencoba mengambil alih kedaulatan Indonesia akan “terluka” seperti menginjak paku.
Presiden Soekarno menolak desain awal, yang dianggap meniru arsitektur Amerika dan menampilkan elemen makhluk hidup yang dianggap tidak abadi, dan memilih desain yang sekarang ini.
Di lantai dua, pengunjung dapat melihat kumpulan senjata asli yang berhasil direbut dari pasukan Jepang dan Sekutu selama pertempuran. Salah satu bagian yang cukup menarik adalah kisah Bu Dar Mortir, seorang wanita yang membantu para pejuang dengan mendirikan dapur umum di sekitar 50 tempat di Surabaya.
Setiap koleksi di Museum 10 November sudah dilengkapi kode QR berisi informasi sejarah, tapi pengunjung juga bisa mendengarkan penjelasan langsung dari pemandu museum. Waktu berkunjung museum paling ramai pada weekend.
“Paling ramai itu di weekend. Minggu itu ramai karena pada mau nonton film, karena film itu diputar pada hari Minggu saha dan ada 4 sesi,” ujar Tata, selaku pemandu museum, Minggu (14/9/2025).
Tata menitipkan pesan untuk generasi muda untuk tidak melupakan sejarah. Seperti kata Bung Karno, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.
"Kita kan gak bisa meniru jasa pahlawan, seperti tembak-menembak atau apapun itu ya. Jadi salah satunya ya kita belajar mengingat sejarah, karena kalau kita belajar mengingat dan memahami sejarah, kita gak akan mengulangi sejarah yang sama,” ucapnya.
Setiap bagian di museum ini menyajikan narasi perjuangan yang mampu menyadarkan pengunjung akan makna kemerdekaan, serta pengorbanan besar yang telah diberikan untuk mempertahankannya. Kita harus memahami bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah yang diberikan secara cuma-cuma.
Museum 10 November buka setiap hari kecuali Senin, mulai pukul 08.00 hingga 15.00 WIB. Harga tiket masuk terjangkau, sekitar Rp5.000 untuk umum dan gratis untuk pelajar dengan menunjukkan kartu pelajar. Selain menikmati koleksi di dalam museum, pengunjung juga dapat berjalan-jalan di area Tugu Pahlawan yang menjadi spot foto favorit. (*)
Pewarta | : Siti Nur Faizah |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |