TIMES JATIM, MALANG – Jam kosong demikian label yang sering kita dengar di kalangan peserta didik. Jam kosong artinya jam mata pelajaran di sekolah yang kosong karena guru mata pelajaran tersebut tidak hadir atau tidak masuk kedalam kelas dengan atau tanpa alasan. Entah itu alasan guru ada rapat, pelatihan, seminar, kondangan, dan hal yang lainnya.
Apapun alasan itu. Banyak peserta didik sering memperlihatkan ekpresi wajah sumringah. Tak jarang membuat mereka menjerit histeris kegirangan. Apa sih nikmatnya jam kosong?
Meski ada tugas dari guru, tetap saja banyak dari mereka yang tidak disiplin mengerjakan. Apalagi jika guru memberikan tugas “sekedarnya’’. Himbauan untuk mengumpulkan pun tidak dihiraukan.
Ada yang menyikapi jamkos biasa saja tapi ada juga yang menyampaikan jamkos mengasyikkan. Menghilangkan kejenuhan dari terus menerus belajar. Mereka cenderung akan ngerumpi dan bergurau, terasa lebih mengasyikkan.
Yang laki-laki biasanya main uno, main game melalui android, bermain dilapangan, jajan di kantin, bahkan tidur di lantai kelas. Mereka berharap agar setiap harinya selalu ada jam kos. Lain lagi dengan perempuan, ngegosip merupakan menu utama saat jam kos.
Lain lagi bagi pikiran peserta didik yang berprinsip pergi ke sekolah untuk meningkatkan intelektual serta sosialnya agar selalu siap jika nanti terjun bermasyarakat. Mereka akan cemas jika sering jamkos. Karena dengan kosongnya pelajaran, kehadiran mereka di sekolah menjadi sia-sia. Tak ada ilmu yang didapat.
Mending jika guru masih memberi materi kepada guru piket untuk disampaikan kepada murid. Namun namanya belajar tanpa guru, ibarat kapal tanpa nahkoda. Bagaimana bisa berjalan? Menjadi pelik untuk memahami apa sebenarnya dan bagaimana melakukannya.
Belum lagi jika jam kos tanpa pengawasan guru, berbagai hal bisa terjadi mulai hal yang positif maupun yang negatif. Guru sebagai orang tua kedua disekolah harus peka terhadap semua gerak gerik, dan memahami karakter peserta didiknya.
Sekolah harus menjadi lingkungan yang aman untuk belajar. Jangan sampai kecolongan peserta didiknya mempunyai genk-genk negatif. Seperti yang saat ini lagi viral seorang siswa SMP di Cilacap mengalami perundungan karena keluar dari keanggotaan genk dan bergabung ke genk lain. Akibat dari peristiwa ini korban harus dirawat di rumah sakit karena tindakan brutal dan biadab sang ketua genk. Yang memperlakukan korban bak pemain laga.
Guru merupakan figur sentral. Di tangan gurulah terletak kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan belajar mengajar di sekolah agar sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu tugas dan peran guru bukan saja mendidik, mengajar dan melatih tetapi juga bagaimana guru mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif. Sehingga peserta didik dapat menerima pelajaran dengan baik.
Seperti salah satu filosofi Kihajar Dewantara yang berkaitan dengan dasar-dasar pendidikan yang “menuntun”. KHD menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak. Agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Oleh karena itu, pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak. Agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Disinilah peran pendidik sebagai sumber energi yang baik untuk anak-anak. Dalam konsep energi, setiap anak memiliki energinya masing-masing. Sehingga pendidik dapat mengubah bentuk energi tertentu menjadi energi lain yang jauh lebih baik.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik dan mengevaluasi peserta didik, Dalam informasi tentang wawasan Wiyatamandala, kedisiplinan guru diartikan sebagai sikap mental yang mengandung kerelaan mematuhi semua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tangung jawab.
Dari pengertian di atas jelas bahwa, kedisiplinan guru adalah sikap penuh kerelaan dalam mematuhi semua aturan dan norma yang ada dalam menjalankan tugasnya sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak didiknya. Karena bagaimana pun seorang guru merupakan cermin bagi anak didiknya dalam sikap atau teladan, dan sikap disiplin guru akan memberikan rona terhadap hasil pendidikan yang jauh lebih baik dan bermnfaat.
Pendidik adalah setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnado,1989:44). Sehingga sebagai pendidik, guru harus memiliki kesadaran atau merasa mempunyai tugas dan kewajiban untuk mengantarkan peserta didik dengan penuh tanggung jawab.
Sebagai komponen sentral dalam sistem pendidikan, pendidik mempunyai peran utama dalam membangun fundamental generasi muda untuk masa depan bangsa. Untuk mewujudkan hal itu, keteladanan dari seorang guru sebagai pendidik sangat dibutuhkan.
Keteladanan seorang guru dapat dilihat dari prilaku guru dalam keseharian baik didalam sekolah maupun diluar sekolah. Selain keteladanan guru, kedisiplinan guru juga menjadi salah satu hal penting yang harus dimiliki oleh guru sebagai seorang pengajar dan pendidik.
Fakta dilapangan yang sering kita jumpai disekolah adalah kurang disiplinnya guru, terutama masalah disiplin guru masuk kedalam kelas. Seringnya meninggalkan anak-anak di kelas banyak yang menjadikan mindset negatif bagi peserta didik bahkan orang tua.
Bagi anak, mereka menjadi malas mengikuti pelajaran di kelas karena tahu gurunya akan tak masuk. Semangat belajar mereka akan turun meski sang guru sedang mengikuti pelatihan bagaimana meningkatkan semangat belajar siswa. Sungguh ironis, keadaan yang kontradiktif.
Penulis masih tak habis pikir apa yang ada di benak pemangku kepentingan dengan tugas yang harus diselesaikan guru saat jam pelajaran berlangsung. Apapun itu, tugas guru yang utama adalah mengajar dan mendidik siswanya. Alangkah lebih baik jika kegiatan-kegiatan yang melibatkan guru diadakan bukan saat jam efektif sekolah. Inilah benang kusut pendidikan di negeri ini.
Bolehlah guru mengembangkan diri dan bermimpi akan karir bahkan pendidikan kita seperti di negara maju. Namun alangkah lebih bijak jika guru fokus mengajar untuk menghasilkan generasi yang berkualitas. Jangan sampai guru sering ikut pelatihan namun muridnya morat-marit di tengah jalan.
***
*) Oleh: Ratnawati, S.Pd, Pengajar Sejarah SMAN 1 Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |