TIMES JATIM, JAKARTA – Ibu kandung republik ini adalah desa, yang berarti nuansa kehidupan masyarakat desa mencerminkan gambaran nyata kehidupan masyarakat bangsa ini. Setiap keputusan besar negara ini ada di tangan warga desa, karena berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (2019) diketahui bahwa 91 persen wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan wilayah perdesaan.
Sedangkan dalam data Badan Pusat Statistik (2000) menunjukkan bahwa 43 persen penduduk Indonesia ada desa. Artinya, secara politis kekuatan suara warga desa, bila terkelola dengan baik, bisa menjadi mayoritas tunggal dalam tata kelola demokrasi negara kita.
Secara historis, desa lahir bersamaan dengan lahirnya Indonesia. Bahkan, sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah ada lebih dari 250 entitas budaya yang mengejawantah menjadi ribuan desa yang ada saat ini.
Memperbincangkan desa memang tidak akan ada habisnya, karena begitu kompleksnya tema dan bahan perbincangan yang lahir dari desa. Hanya saja perbincangan tentang desa yang ada selama ini masih berkutat pada stigma dan stereotype yang minor.
Mulai dari potensi, kemiskinan, keterbelakangan, ketimpangan, buruknya infrastruktur desa, angka pengangguran di desa, sampai aksestabillitas pada layanan kesehatan dan pendidikan.
Hal itu diperkuat dengan definisi desa yang dibuat Negara pada masa Orde Baru yang termaktub dalam UU No. 5/1979 sebagai berikut :
“Wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan pemerintahan sendiri”.
Dengan demikian, UU ini memperkuat posisi pemerintah pusat untuk menjadikan desa sebagai subordinasi pemerintahan terkecil. Secara tidak langsung, UU ini mengarah pada upaya korporasi politik untuk mendorong terciptanya stabilitas politik desa, memperkuat birokratisasi dan kontrol politik untuk membangun loyalitas pemerintah desa (Eko, 2005).
Selanjutnya Hermawan R. (2015) dalam sebuah artikel berjudul Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia: Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan, memaparkan bahwa desa mengalami krisis ekonomi-politik sejak adanya UU No. 5/1979 di antaranya:
Pertama, Hilangnya kontrol desa terhadap tanah desa. Kedua, Hancurnya basis sosial otonomi desa, misalnya kepala desa cenderung menjadi bawahan camat dan bupati.
Ketiga, Kematian demokratisasi karena desa dikelola secara sentralistik dan otoriter. Keempat, Pemerintah memanfaatkan kemiskinan desa sebagai komoditas proyek. Kelima, Masuknya berbagai program bantuan ke desa semakin mematikan kemandirian desa atau menciptakan ketergantungan.
Keenam, Eksploitasi besar-besaran dan masuknya kapitalisasi membuat keterbatasan sumber daya lokal. Ketujuh, Berkurangnya masyarakat produktif desa (urbanisasi) karena keuntungan produksi lebih banyak lari ke kota.
Peran Strategis UU Desa dalam Kedaulatan Bangsa
Pemahaman dan kesadaran akan posisi desa mulai berubah setelah lahirnya UU Tentang Desa terbit, yaitu UU No. 6/2014. Peran desa dalam mengelola dirinya mulai diberi porsi dan perhatian lebih. Akan tetapi perhatian yang lebih dari pemerintah masih dibaca pada besaran dana yang dikucurkan. Sebab dalam UU No. 6/2014 memang melekat amanat terkait Dana Desa.
Sehingga Ketika bicara mengenai UU Desa, orang kerap hanya mengaitkannya dengan dana desa. Kucuran dana desa dianggap sebagai salah satu keunggulan dari UU Desa jika dibandingkan dengan UU No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
Anggapan itu tidak keliru meskipun acap kali menyederhanakan masalah. Dari catatan pemerintah, anggaran dana desa memang terus naik, yakni dari semula Rp 20,76 triliun pada tahun 2015, dan naik bertahap hingga mencapai Rp 71 triliun pada tahun ini.
Dengan besaran kapital yang dikucurkan untuk desa masyarakat kemudian mengasumsikan keutamaan UU Desa adalah pada pada dana desa. Padahal bukan, dana desa hanya sarana untuk mewujudkan kedaulatan desa.
Keutamaan UU Desa justru terletak pada rekognisi yang diberikan negara kepada kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal skala desa. Dengan kata lain, warga desa diberi kesempatan menentukan dan mengatur dirinya sendiri.
Daulat dalam hal ini tentunya kata dalam arti peyoratif, yaitu hak dan kewenangan mengelola diri sendiri yang tentu saja dibatasi oleh Undang-undang sebagai sumber hukum positif yang ada. Kedaulatan yang dimiliki desa harus mengacu pada karakteristik dan kemampuan masing-masing daerah, dan ini sangat berkaitan dan bergantung dengan kultur yang ada di daerah.
Ada ungkapan menarik dalam khasanah tradisi Jawa untuk memperkuat asumsi ini, yaitu adagium “Mawa Desa, Mawa Tata, Mawa Cara” yang secara sederhana bisa kita terjemahkan sebagai berikut, “Setiap Desa memiliki kekhasan dalam mencari cara dan gaya tata kelolanya”.
Artinya secara tradisi bangsa kita sesungguhnya sudah memberi amanat dan ruang yang leluasa dalam pengelolaan dan kebijaksanaan di tingkatan desa.
Kedaulatan berbasis lokalitas.
Kedaulatan bangsa, seperti yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto harus dibangun dengan menyadari bahwa basis kedaulatan sebuah bangsa adalah kemandirian pangan dan energi. Sehingga kedaulatan pangan sebagai dasar dari kedaulatan bangsa harus masuk dalam agenda pembangunan nasional 2025-2029.
Komitmen ini kemudian diperkuat dengan pernyataan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto yang mewajibkan 20 persen dana desa dialokasikan untuk ketahanan pangan.
Besaran dana ini tentunya butuh pengawasan penggunaan yang cermat, maka pilihannya tata kelola harus melibatkan entitas strategis yaitu melalui BUMDes atau lembaga ekonomi serupa. Sehingga besaran kucuran dana yang diberikan tidak habis untuk kebutuhan konsumtif, akan tetapi bisa menjadi motor penggerak ekonomi desa.
BUMDes berperan dalam memanfaatkan potensi lokal seperti sektor agribisnis, dalam rangka mengelola semua potensi luar biasa yang ada di desa untuk mencapai kemandirian pangan sebagai langkah perwujudan visi Desa Daulat Pangan di 2030.
Hari Desa Nasional sebuah Apresiasi Negara terhadap Desa
Kematangan manajerial BUMDes juga memiliki posisi yang sangat strategis dalam peran sertanya menjadi pemasok kebutuhan Makan Bergizi Gratis (MBG). Dengan banyaknya desa yang memiliki spesifikasi BUMDes yang memproduksi komoditas khusus. Mulai dari bahan pangan padi, jagung, hingga buah-buahan.
Hal ini adalah tanggung jawab BUMDes melaksanakan arahan Presiden Prabowo, bahwa program Makan Bergizi Gratis sepatutnya menggunakan bahan baku lokal, yang artinya adalah produksi desa.
Sesuai dengan yang diamanatkan PP Nomor 11 Tahun 2021 tentang BUMDes, sebagai turunan dari UU No. 6/ 2014 tentang Desa, pasal 3 poin b, yang menyatakan bahwa BUMDes bertujuan, melakukan kegiatan pelayanan umum melalui penyediaan barang dan atau jasa serta pemenuhan kebutuhan umum masyarakat Desa, dan mengelola lumbung pangan Desa.
Bercermin dari pentingnya posisi UU No. 6/ 2014 dalam perubahan paradigma tentang desa, maka tidak mengejutkan kalau kemudian momentum pengesahan Undang-undang tersebut, melalui Keputusan Presiden nomor 23 tahun 2024, Presiden Republik Indonesia Bapak Ir H Joko Widodo menetapkan tanggal 15 Januari sebagai hari desa nasional.
Meski tidak ditetapkan sebagai hari libur, Hari Desa diperingati di Indonesia sebagai momentum untuk menghargai peran desa dalam pembangunan bangsa, memperkuat solidaritas masyarakat desa, dan mempromosikan pentingnya pemberdayaan masyarakat desa untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan.
***
*) Oleh : Dr. H. M. Afif Zamroni, Lc., M.E.I., Staf Khusus Menteri Desa & PDT.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Hari Desa Nasional 2025: Sumber Kedaulatan Indonesia
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |