https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Al-Quran Membangun Peradaban Islam

Jumat, 29 Maret 2024 - 16:45
Al-Quran Membangun Peradaban Islam Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur

TIMES JATIM, SITUBONDO – Ramadan adalah bulan turunnya al-Quran dan bulan yang spesial (bulan turunnya rahmat). Kata al-Quran sendiri banyak sekali disebutkan dalam al-Quran. Misalnya disebut dengan al-Furqan, huda al-linnas, syifa’ wa rahmah dan lainnya. Tentu saja sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Kita tahu, bulan Ramadan tidak mulia dengan sendirinya. Ia menjadi mulia karena menjadi tempat lokasi turunnya al-Quran. Allah Swt, berfirman yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam qadar.” (QS. Al-Qadr [97]: 1).

Kenapa Ramadan menjadi mulia dengan kehadiran al-Quran? Karena dengan adanya al-Quran maka peradaban Islam bisa dimulai. Masyarakat jahiliyah misalnya yang memperlakukan perempuan dengan semena-mena, dengan kehadiran al-Quran maka perilaku tidak berperikemanusiaan itu secara bertahap bisa dihentikan dan berhenti. 

Dalam al-Quran Surat An-Nahl ayat 58-59 Allah Swt berfirman “Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah.” “Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.” 

Jelasnya ketika orang tua diberi kabar gembira dengan lahirnya anak perempuan justru mereka hadir dengan muka yang marah. Begitu juga ketika sebelum Islam datang, cara memperlakukan budak-budak itu sangat tidak manusiawi. Maka, kehadiran al-Quran ingin menghentikan perbudakan dengan cara memerdekakan budak (tahriru raqabah). Itu sebabnya, saat itu, seluruh sanki-sanki hukum diharuskan memerdekakan budak.

Jauh sebelum dunia Barat menghapus dunia perbudakan pada abad ke-19, Islam sejak menit pertama sudah mempunyai terobosan baru untuk mengakhiri perbudakan. Karena itu, al-Quran mempunyai peran penting sejak menit pertama untuk membangun peradaban yang memanusiakan manusia, salah satunya dengan merubah cara pandang masyarakat Arab saat itu terhadap perempuan dan perbudakan. Di sinilah letak fungsi al-Qur’an yaitu sebagai petunjuk (huda al-linnas). 

Sebagaimana dalam firman-Nya “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Al-Quran adalah kitab yang bisa dibaca dari arah mana saja. Tidak harus dimulai dari Surat Al-Fatihah dan berakhir di Surat An-Nas. Sebab, kalau kita membaca al-Quran seakan-akan berbicara hari kiamat, namun tiba-tiba al-Quran membalik narasinya berbicara yang lain. 

Misalnya pada Surat Al-Qiyamah pada mulanya bicara mengenai kiamat, namun pada ayat yang ke 16 al-Quran sudah berbicara yang lain. Allah Swt berfirman “Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur’an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.” “Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 16-17).

Syahdan. Al-Quran yang 30 Juz itu mengandung isu-isu sentral dan berbicara mengenai hal yang sangat privat. Seperti berbicara shalat, puasa sampai persoalan-persoalan publik. Menariknya, terkadang, meski berbicara soal yang privat, al-Quran justru mengulasnya secara rinci. Sebaliknya, ketika berbicara soal yang universal, al-Quran hanya bicara secara global karena seluruh ketentuan detailnya itu serahkan kepada Nabi bahkan kepada umat Islam.

Itu sebabnya, al-Quran sebagai sumber hukum dibawahnya ada hadits, ijma’ (konsensus) dan qiyas. Konsensus di sini menduduki peran pentin dalam hierarki hukum Islam. Misalnya, ketika NU membuat Halaqah Fiqh Peradaban lalu muncul sebuah pertanyaan apakah hasil keputusan internasional yang disepakati di dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bisa disebut ijma’ modern atau tidak? Misalnya bagaimana cara memperlakukan peran yang terjadi sekarang antara Palestina dan Israel?

Jelasnya, karena ijma’ adalah keputusan mujtahid, maka berarti putusan-putusan itu tidak disebut ijma’. Di Indonesia ada ijtima’, adalah keputusan-keputusan para ustadz yang memenuhi level untuk disebut mujtahid. Ini hanya sebatas ijtima’ alim ulama bukan sebagai ijma’. Jadi sekali lagi, al-Quran dijelaskan oleh hadits, lalu ijma’ dan qiyas. Demikian juga, kalau tidak ada qiyas, maka kita akan sulit bergerak. 

Intinya, bagaimana al-Quran agar terus merespon persoalan-persoalan hari ini.
Misalnya, di dalam al-Quran tidak ada urusan mengenai mekanisme mengangkat kepala negara. Memang, mengangkat kepala negara itu hukumnya wajib, akan tetapi tidak ada mekanismenya di dalam al-Quran. Demikian juga Nabi tidak menjelaskannya. Artinya, Tuhan menyerahkannya kepada manusia yang berakal sehat.

Berbeda jika al-Qur’an berbicara mengenai wudhu’, al-Qur’an justru merincinya dengan sangat detail. Dalam al-Qur’an dinyatakan “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).

Sekalipun setiap negara cara mengangkat kepala negara berbeda-beda, namun semuanya itu Islami meskipun tidak diatur dalam al-Quran sendiri. Bahkan, bentuk negara sendiri juga tidak dibicarakan secara rinci di dalam al-Quran (misalnya tidak ada negara bangsa dalam al-Quran).

Pertanyaannya adalah kalau al-Quran dan hadits tidak berbicara negara bangsa, apakah negara bangsa termasuk syar’i atau tidak? Tidak ada dalil yang melarang untuk mendirikan negara bangsa itu sebagai bukti bahwa, mendirikan negara bangsa adalah boleh, dan jika boleh maka berarti syar’i. Dalam hal ini, selagi tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadits kenapa tidak boleh.

Misalnya, undang-undang 1945, undang-undang Lalu Lintas dan lainnya tidak atur dalam al-Quran dan hadits. Dan juga tidak satu klausul yang melarangnya. Itu berarti, sekali lagi, karena tidak ada dalil yang melarang, maka membuatnya adalah syar’i. Tentu saja isinya dibicarakan di forum-forum publik. Di sinilah fungsi DPR. Adalah bermusyawarah. 

Al-Qur’an menyatakan “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran [3]: 159).

Artinya, urusan-urusan keduniaan yang seperti ini, maka harus dimusyawarahkan diantara kita sendiri. Sementara menyangkut urusan-urusan yang sifatnya privat cukup dengan istikharah. Jangan sampai terbalik. 

***

*) Oleh : Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.