https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Menyoroti Netralitas Jokowi dalam Pilpres 2024

Kamis, 01 Juni 2023 - 15:23
Menyoroti Netralitas Jokowi dalam Pilpres 2024 Muhammad Aufal Fresky, Penulis buku ‘Empat Titik Lima Dimensi’, mahasiswa Prodi Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya.

TIMES JATIM, MALANG – Sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, setiap ucapan dan tindakan Presiden Jokowi tentu tidak pernah lepas dari sorot media massa. Gerak-geriknya pasti selalu dalam pantauan masyarakat.

Seperti halnya ketika dalam suatu pertemuan dengan sukarelawan, dia memberikan sinyal dan kode bahwa kriteria pemimpin harus kurus dan berambut putih. Saat itu, dia didampingi oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang kebetulan cocok dengan kriteria yang disebutkan.

Di lain kesempatan, saat ulang tahun Partai Perindo, dia juga mengatakan, pemilihan presiden berikutnya menjadi jatah Prabowo. Kedua pernyataan Jokowi menimbulkan gonjang-ganjing. Publik bertanya-tanya terkait maksud ucapannya. Benarkah Jokowi memihak terhadap salah satu calon? Apakakah dalam pesta demokrasi tahun 2024 mendatang Jokowi secara terang-terangan mendukung salah satu pihak? Pertanyaan semacam itu menyeruak ke permukaan dan menjadi perbincangan hangat.

Mengutip hasil survei periodik Litbang Kompas periode Mei 2023, disebutkan bahwa Jokowi memiliki pengaruh yang relatif lebih besar dalam dinamika politik nasional. Hal itu bisa dilihat dari hasil survei di 38 provinsi yang menunjukkan bahwa kurang lebih 16 responden mengaku akan memilih sosok yang diusung Jokowi. Sementara itu, 53 persen mengaku akan mempertimbangkan tokoh yang didukung mantan gubernur DKI Jakarta tersebut. Sementara sisanya menolak siapa pun yang didukung oleh Jokowi. Kelompok ketiga ini sama sekali tidak terpengaruh dengan arah politik Jokowi. 

Kemudian, terkait netralitas Jokowi, Litbang Kompas juga dengan detail memaparkan bahwa ada 50,3 persen responden merasa Jokowi sudah bersikap netral, 39,4 persen responden menyebut Jokowi tidak netral, bahkan 6,1 persen menyebut Jokowi bersikap sangat tidak netral. Hasil survei tersebut seolah membuka mata kita bahwa terkait netralitas Presiden, pendapat publik terbelah.

Namun, secara umum, 90,3 persen responden menilai penting agar Presiden bersikap netral dalam pemilu mendatang. Selaku penulis, saya sendiri merasa cukup sulit untuk membaca ke mana arah politik Jokowi yang sebenarnya. Sebab, politik ini sangat dinamis dan elastis. Apa yang tampak di media massa belum tentu yang sebenarnya terjadi. Bisa jadi yang kelihatan bermusuhan oleh kita, nyatanya malah bersenda gurau di waung kopi.

Yang nampak saling pukul, siapa tahu di tempat makan, mereka saling rangkul. Sulit ditebak kadang. Penuh misteri dan teka-teki. Namun, umumnya publik menilai yang tersiar di media massa. 

Belum lagi pertemuan Jokowi dengan enam pimpinan parpol di istana yang menuai pro dan kontra. Sebab, pertemuan tersebut tidak melibatkan NasDem, salah satu partai koalisi pemerintah yang saat ini mencalonkan Anis Baswedan sebagai bakal calon presiden.

Jokowi dinilai ikut cawe-cawe alias intervensi dalam kontestasi pilpres 2024. Mesikpun menampik atas tudingan tersebut, Jokowi tak bisa lepas dari penilaian publik. Apalagi saat ini suhu politik nasional mulai memanas. Sah-sah saja jika ada yang beranggapan Jokowi campur tangan dalam pesta demokrasi mendatang. 

Padahal, regulasi terkait netralitas pejabat publik dalam pemilu sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Seperti pada pasal 283 Ayat (1), menyatakan, pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri  dilarang untuk mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap pesertra pemilu.  Bentuk kegiatan diperjelas dalam Ayat (2), yaitu kegiatan yang meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang. Sementara definisi dari pejabat negara sudah diterangkan dlam UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, salah satu di antaranya yaitu Presiden dan Wakil Presiden. 

Saya pikir, aturan itu harusnya menjadi acuan bagi pejabat publik, termasuk Jokowi untuk bersikap tegas mengenai posisinya dalam pemilu mendatang. Sebab, jika presiden menunjukkan ketidaknetralannya dalam kontestasi politik, bukan tidak mungkin jajaran di bawahnya hingga tingkat kepala desa, bisa meniru bahkan bisa lebih parah.

Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya suasana pemilu mendatang jika semua pejabat publik memiliki calon yang di-endorse oleh mereka. Belum lagi fasilitas negara yang dikhawatirkan bisa disalahgunakan untuk kepentingan diri dan golongannya. Lalu, apa gunanya aturan dibuat jika hanya untuk dilabrak. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa berpandangan keberpihakan Presiden kepada salah satu bakal calon presiden dinilai wajar-wajar saja. Sebab, menurutnya, Presiden memiliki kepentingan untuk memastikan program-program yang dijalankan bisa dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya.

Melalui tulisan ini, saya ingin membantah pernyataan Khoirunnisa, bahwa keberpihakan tersebut tidak seharusnya ditampakkan di muka umum. Sebab, selaku pemimpin bangsa, Presiden harusnya mengayomi semua golongan. Jika memang harus berpihak, alangkah baiknya jangan diungkap secara blak-blakan hingga menimbulkan kecurigaan publik. Memang, kedudukan Jokowi selaku pejabat negara juga sebagai politisi bisa saja bertabrakan. 

Namun, bagaimanapun juga, hukum harus menjadi panduan utama dalam melangkah. Kepentingan bangsa dan negara harus diutamakan dibandingkan kepenitngan diri dan partainya. Jokowi harus beridiri untuk semua golongan. Sebab, dia sendiri berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat, dan tentunya wajib bekerja untuk rakyat. Dalam hal ini, saya sendiri menilai keberpihakan Jokowi terhadap salah satu bakal calon presiden bisa mempengaruhi suara rakyat.

Netralitas Presiden sedang dalam sorotan. Apakah Presiden kita saat ini sedang menjadi sedang memainkan siasat politiknya? Entahlah. Yang jelas, kita berharap kinerja Jokowi tidak terganggu oleh aktivitas poitiknya sebagai kader PDI Perjuangan. Sebab dia harus benar-benar bekerja dengan maksimal hingga masa jabatannya berakhir.

Jangan sampai rakyat menjadi korban dari kesibukannya menjadi petugas partai. Tanggung jawabnya sebagai pemimpin negara jauh lebih besar. Tak ada maksud mengguruinya. Ini hanya sekadar catatan untuk menjadi refleksi buat kita semua. Terakhir, terkait netralitas Presiden, silakan amati dan nilai sendiri. 

***

*) Oleh: Muhammad Aufal Fresky, Penulis buku ‘Empat Titik Lima Dimensi’, mahasiswa Prodi Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.