TIMES JATIM, MALANG – Belum lama ini terjadi kasus penendangan sesajen. Peristiwa itu mengingatkan saya pada Abah di kampung. Abah saya itu sering diundang tetangga, untuk memimpin doa ketika ada selametan, termasuk selametan yang pakai sesajen-sesajen juga.
Katakanlah Abah saya kiai kampung. Nah kalau selametan yang pakai sesajen, namanya selametan rokat. Nama doanya pun, doa rokat (Red: Madura). Kata Abah, doa Rokat ini tujuannya untuk keselamatan, seperti selametan rumah, sawah, tegal, kebun, tanaman dan semacamnya.
Dan katanya lagi, doa yang Abah baca itu berasal dari Kiai ‘Abdul Latif, saudara dari Kiai Syamsul Arifin Sukorjo, Situbondo. Jadi sebelum baca doa itu, harus didahului dengan bacaan tawassul kepada Nabi Muhammad, Auliya. Lalu dilanjut dengan bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan seterusnya.
Sedangkan dalam acara rokat itu juga disandingkan sesajen. Itu sudah pasti. Nah, apakah dengan adanya sesajen di sana, Abah saya dan orang-orang yang hadir sudah berbuat syirik? Ya tidak begitu juga kan. Meski demikian, kurang tepat juga kalau sesajen itu dibuang-buang. Saya tidak setuju itu.
Lagi-lagi saya jadi teringat sewaktu kecil. Pernah suatu ketika, Abah baru saja pulang dari rumah tetangga, sebut saja Pak Riri. Sambil membawa jajanan, Abah menemui saya dan dua teman saya yang lagi menginap di mushala depan rumah. Kata Abah, Pak Riri habis selametan tanah tegalan miliknya. “Pak Riri mau naruh sesajen di tegalnya, tuh!” Abah seolah memberi isyarat kepada kami, untuk mengambil sesajen itu.
Biasanya di kampung saya, Situbondo, sesajen yang diletakkan di tegalan itu ketika mau bercocok tanam atau mau panen. Sesajen itu terdiri dari nasi tumpeng, sekaligus sama ayam panggang satu ekor, dikelilingi bubur lima warna. Ada bubur kacang ijo, bubur kacang ijo kuning, bubur beras hitam, bubur jagung, bubur beras putih.
Masing-masing warna itu sudah ada tempatnya, dan harus sesuai arah mata angin, misal putih di timur dan kuning di barat. Kemudian ditambah tujuh ketupat, tujuh lepat ketan, tujuh gelung teleng/iwel-iwel/awuk-awuk, kopi manis dan kopi pahit. Selain itu, juga terdapat lima macam bunga dan lima dhemar kambheng (Madura)—pelita atau lampu yang terbuat dari kapas dan minyak sayur di atas tatakan.
Coba bayangkan, dalam sesajen itu terdapat banyak makanan yang dibuang sia-sia. Akhirnya pada saat itu, saya dan dua teman saya bergegas menuju tegal milik Pak Riri, yang berada tak jauh dari rumah saya. Setiba di sana, pelan-pelan kami mengintai sesajen itu. Biasanya ada di pojokan tegalan. Kami pun segera mencari-cari tempat sesajen itu. Sambil melirik kanan-kiri, khawatir Pak Riri masih di sekitar tegalnya. Ketika dirasa aman, kami bergegas mengelilingi tegalan yang ditanami jagung itu.
Ketemulah timbunan tanah di pojok tegalan, sudah dipastikan itu tempat galian tanah untuk sesajen. Betul. Setelah kami gali kembali, semua isi di dalam kendi masih utuh, termasuk ayam panggangnya. Kemudian buru-buru kami ambil nasi tumpeng, ayam dan lainnya, sebelum ada orang lain datang. Biasanya kalau ada sesajen seperti itu, siapa cepat dia dapat.
Kami bawa ke tempat yang sepi, jauh dari tegalan Pak Riri. Khawatir pak Riri balik lagi atau ada orang lain yang datang. Setelah kami melahap habis sesajen, tulang-tulang ayam, beserta daun-daun pembungkus bubur dikumpulkan. Kami balik ke tempat tadi, tulang-tulang dan lainnya dimasukkan lagi ke dalam kendi. Kenapa saya letakkan lagi tulang dan semacamnya? Waktu itu, saya berpikirnya, biar Pak Riri senang, dan mengira doanya sudah diterima.
***
Apakah tindakan saya dan teman-teman tidak terpuji? Kalau saya timbang-timbang sendiri, justru itu lebih terpuji dari pada membuang-buang makanan dengan alasan adat istiadat. Apalagi ditendang-tendang dengan alasan syirik.
Mestinya hari ini pola pikir masyarakat Islam sudah bergeser. Kenapa dulu budaya sesajen dibiarkan oleh para ulama klasik di Nusantara ini, tentu karena masih penyesuaian dengan kebiasaan masyarakat. Lah sekarang sudah 2022, apa masih relevan tujuan ‘penyesuaian’? Kalau memang iya, berarti tokoh-tokoh agama bahkan pesantren-pesantren belum berhasil membentuk peradaban Islam yang mencerdaskan masyarakat. Sudah berapa abad Islam di Nusantara ini, kok masih begitu-begitu saja.
Justru, kalau membiarkan umat Islam tetap menampung tradisi sesajen, sama halnya dengan memelihara ke-jahilia-an. Dan biasanya masyarakat jahiliah sengaja dipelihara oleh penguasa atau mereka yang punya kepentingan. Seperti tokoh publik, apalagi politisi, untuk memperkuat dukungan atas eksistensinya di tengah-tengah masyarakat.
Coba kita bandingkan dengan anak kecil. Sering kita melihat anak kecil yang membuang-buang makanan, kadang juga uang, kenapa mereka bisa seperti itu? Karena belum tumbuh kesadaran akan pentingnya uang dan makanan. Bukan berarti anak tersebut tidak berakal atau ‘bodoh’.
Berbeda dengan orang dewasa, akalnya sudah sempurna penuh kesadaran. Lantas ketika orang dewasa membuang-buang makanan alasan apapun itu termasuk kategori apa, ‘berakal’ atau tidak?
Apalagi yang dibuang itu satu ekor ayam, satu ekor kambing atau bahkan satu ekor sapi. Wah kasihan kan orang-orang misqueen yang jarang makan daging. Lebih baik berikan kepada mereka.
Ahli-ahli agama atau tokoh publik yang paham agama, sudah seharusnya memberikan pemahaman yang agak lurus kepada masyarakat yang buang-buang makanan. Okelah, sesajen itu kita anggap tradisi atau adat istiadat. Tapi jangan buang-buang makanan juga. Bisa juga kan, sesajen itu dimakan dulu, lalu tulang-tulangnya saja yang diletakkan di tegalan, misalnya begitu.
Sementara itu, pria penendang sesajen itu, sebenarnya niatnya baik, hanya saja caranya yang keliru. Jangan-jangan dia juga tidak murni atas nama keyakinannya sendiri. Mungkin hanya ingin mendapat pembelaan dari masyarakat maya. Bahwa tindakan yang dia lakukan sudah benar.
Atau hanya ingin menunjukkan eksistensi dirinya, bahkan kelompoknya. Seolah-olah ingin mengatakan, “saya Islam garis keras loh, saya Islam paling benar loh”.
Kalau hanya ingin memberikan efek jera kepada orang yang membuat sesajen, mestinya tidak perlu divideo. Kan sama saja mencari musuh. Lain kali jangan begitu! Orang dewasa, mikirnya kok kalah sama saya dan teman-teman sewaktu kecil sih!
Pun juga tokoh-tokoh publik yang menyoal itu, seperti kurang kerjaan. Sebenarnya mereka hanya cari sensasi gak sih? Kalau iya, berarti sama lah dengan pria penendang sesajen tadi. Mereka bilang bahwa pria penendang sesajen itu tidak menghargai adat istiadat dan keyakinan orang lain.
Padahal cuitan mereka sendiri persis sama-sama tidak menghargai keyakinan orang lain. Ya keyakinan pria si penendang sesajen itu. Ayolah soal itu jangan diributkan lagi.
Kalau saya ketemu sesajen tidak layak makan, mungkin saya tendang juga ya, biar disangka Tuhan murka. Terus sesajennya diganti ayam panggang deh.
***
*) Oleh: Fata Pujangga: Penulis, Founder Gen Demokrasi Digital Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Sesajen Itu Dimakan, Bukan Ditendang
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |