https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Selamat, 73 Tahun HMI masih bertahan dengan YAKUSA-nya

Selasa, 04 Februari 2020 - 14:26
Selamat, 73 Tahun HMI masih bertahan dengan YAKUSA-nya ILUSTRASI - HMI. (FOTO: Istimewa)

TIMES JATIM, MALANG – Di dalam buku K.H. Saifuddin Zuhri. Berangkat Dari Pesantren, halaman 671-674 menggambarkan K.H. Saifuddin Zuhri yang menjabat sebagai Menteri Agama ikut mempertahankan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari ancaman pembubaran oleh Presiden Sukarno. Percakapan antara K.H. Saifuddin Zuhri dengan Presiden Sukarno di dalam buku tersebut seperti ini:

"...Pada suatu pagi aku dipanggil Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Aku diterima di serambi belakang. Menjadi kebiasaan Presiden sejak di Yogyakarta, tiap pagi antara pukul 07.00-09.00, untuk menyelenggarakan koffie uurtje - sejenak untuk minum kopi – bersama beberapa orang tamunya, baik yang datang dengan perjanjian maupun tanpa perjanjian. Biasanya mereka berjumlah hingga belasan orang dengan berbagai profesi. Ada menteri, duta besar, perwira tinggi, wartawan, pengusaha swasta, istri pejabat, seniman, dan lain-lain. Masing-masing disuguhi ‘setangkup’ roti panggang yang ditaburi gula pasir dan telur dadar, sebagai teman secangkir kopi hitam.

Setelah beberapa tamu memperoleh giliran masing-masing untuk berbicara empat mata dengan Presiden, aku dipersilahkan duduk di sebelahnya. Tamu-tamu tinggal 3-4 orang saja, di antara yang kukenali ialah Hasyim Ning, salah seorang pengusaha nasional yang berhasil.

“Saya ingin bicara dengan Saudara, biarlah ada Hasyim Ning tidak apa,” Presiden memulai keterangannya mengenai maksudnya memanggilku.

“Saya memberi tahu kepada saudara, selaku Menteri Agama, bahwa saya akan membubarkan HMI!” seketika aku seperti mendengar suara petir.

Beberapa detik aku terpana, seperti kehilangan keseimbangan mental. Alhamdulillah, aku tidak kehilangan akal, aku cepat mengatasi kegoncangan batinku yang agak tiba-tiba tadi.

“Mengapa HMI akan dibubarkan?” aku ingin tahu alasannya.

“Berbagai laporan disampaikan kepada saya bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan antirevolusi dan bersikap reaksioner,” kata Presiden. Ia menatap wajahku dalam-dalam seperti hendak menguak isi kepalaku.

“Kadar antirevolusi maupun reaksionerannya sampai di mana?” aku bertanya.

“Yaaah, misalnya selalu bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan, dan lain-lain.”

“Apakah HMI sudah pernah bapak panggil untuk dinasihati?” “Secara umum dan terbuka saya sudah berulang-ulang memperingatkan lewat pidato-pidato saya!”

Aku sejenak membuat keseimbangan dalam diriku, antara emosi dan akal pikiran. Karena Presiden memanggil aku, itu artinya aku masih dihargai atau (katakanlah) diperhitungkan. Kalau tidak, bukankah Presiden dapat saja membubarkan HMI tanpa kehadiranku? Ataukah kehadiranku justru untuk memperlihatkan kepda masyarakat bahwa aku menyetujui pembubaran HMI?

“Mohon dipertimbangkan sekali lagi!” aku memberanikan diri untuk membuka diskusi, “HMI itu anak-anak muda. Mereka sudah termakan oleh pidato-pidato Bapak di banyak peristiwa: ‘Kalau saya ini anak muda, saya akan memberontak melihat hal-hal yang tidak beres di kanan kiri kita’. Lha, HMI-HMI itu telah mempraktikkan anjuran Bapak, apakah Bapak tidak bangga?”

Presiden menatap wajahku dengan pandangan lunak, memberi isyarat kepadaku masih terbuka kesempatan berdiskusi terus.

“Mereka itu para mahasiswa berbagai fakultas,” aku kemukakan pertimbanganku, “Mereka adalah calon insinyur, dokter, ekonom, sarjana hukum dan lain-lain. Mereka itu merupakan kader-kader bangsa. Sudah jamak anak-anak muda berpikiran dinamis, karena itu, seperti yang sering Bapak pidatokan, mereka bisa membentuk gelombangan arus listrik. Bapak lebih tahu daripada saya, arus listrik itu harus ditransformir, dan bila gerakan itu arus air yang deras mengalir harus dikanalisir, disalurkan, supaya menjadi kekuatan yang bermanfaat. Kalau HMI itu dibubarkan mereka menjadi frustasi dan kita rugi semua!”

“Mereka ‘kan anak-anak Masyumi. Tentu seperti ‘bapak’ nya, tetap saja reaksioner!” Bung Karno masih belum menyerah tetapi semangatnya untuk membubarkan HMI tidak mengebu-gebu lagi.

“Pak, ketika masa jaya-jayanya Masyumi, mereka masih anak-anak SMA dan SMP. Mereka tidak tahu persis apa itu Masyumi. Kita jangan mengikuti falsafah yang mengatakan: Karena bapaknya berbuat salah, anak-anaknya pun berdosa semuanya ...!” aku merasa di atas angin.

Presiden Sukarno untuk beberapa saat memutuskan pembicaraannya denganku karena memanggil ajudannya untuk suatu keperluan. Buatku mengandung isyarat bahwa ia mulai kehabisan argumentasi. Kalau tidak, dan kalau memang berada di atas angin, buat apa memanggil ajudan?

“Tetapi bagaimanapun HMI dan SBII bakal saya bubarkan. Kalau HMI bubar, NU ’kan untung, PMII makin besar!” kata Presiden.

“Soalnya bukan masalah untung atau bukan untung. Sulit buat saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam yang dibubarkan tanpa alasan kuat!” aku memberanikan diri untuk qulil haqqa walau kaana murran ...!

“Waaah,... tidak saya sangka kalau Suadara membela HMI, ya?” Presiden berbicara sambil pandangannya menerawang.
“Bukan membela HMI, Pak! Saya tidak ingin Presiden berbuat berlebihan. Itu termasuk tugas kami para pembantu Presiden,” kataku makin mantap.

“Bukan berlebihan. Tetapi saya berbuat menurut gaweten saya, perasaan hati saya” kata Presiden.

Aku merenung sejenak, lalu aku menentukan sikap terakhir. “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gewetan Bapak. Maka tugasku sebagai pembantu Bapak hanya sampai disini ...!” aku telah bulat kata dan tawakal.

“Oooooh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan Saudara membantu saya ...!” Presiden Sukarno berkata sambil merekahkan senyuman di bibirnya. Tangannya diulurkan kepadaku. Refleks tangannya kujabat juga..."

Dr. Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Pada bagian kedua, bab X tentang Dimensi-dimensi Sosial Gerakan Islam di Indonesia, halaman 200, menyatakan:

"...Dalam kaitan ini, kita juga dapat menilai penyebab perpecahan di kalangan HMI. Bagaimanapun harus diingat bahwa HMI lebih merupakan organisasi politik daripada organisasi keagamaan. Jadi mereka yang aktif di HMI cenderung menjadikan aktifitas mereka sebagai karir politik. Nah, sejauh mana kelompok-kelompok yang ada di HMI membangun jaringan politik mereka dengan tokoh-tokoh atau figur-figur tertentu, itulah yang menyebabkan terjadinya pelbagai perbedaan pandangan maupun sikap politik di kalangan mereka. Ini terutama jika kita melihat HMI dalam fenomena tahun-tahun 1970-an dan 1980-an. Perpecahan HMI hasil kongres di Padang pada tahun 1986 dan HMI MPO merupakan contoh yang representatif. Di satu pihak ada kelompok yang lebih menghendaki HMI tampil sebagai perjuangan keagamaan, di lain pihak ada yang menginginkan HMI sebagai oragnisasi politik yang lebih pragmatis, kalau tidak dapat dikatakan kompromis.

Kecenderungan semacam ini berbeda sekali dengan fenomena HMI pada dekade tahun 1960-an. Ketika itu terjadi polarisasi dan pengkotak-kotakan politik yang demikian tajam antara Islam dan non-Islam. HMI misalnya, dituduh onderbouw Masyumi dan dianggap sebagai kekuatan reaksioner berhadapan dengan CGMI dan GMNI yang oleh Bung Karno dianggap sebagai kekuataan revolusioner. Dalam situasi semacam itulah solidaritas internal di kalangan HMI begitu kuat sehingga jaringan politik yang terbentuk tidak cukup dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan serius. Jadi karena ada semacam ancaman yang jelas dari luar, maka solidaritas ke dalam mudah terbentuk, bahkan secara otomatis. HMI ketika itu menghadapi bayang-bayang ancaman dari luar, sehingga psikologi politiknya adalah psikologi “kita-mereka”.

Psikologi semacam ini tidak dihadapi oleh generasi Islam pada tahun-tahun terakhir ini. Katakanlah sejak tahun 1970-an ke atas, terjadi suatu proses yang berbeda sekali dengan yang terjadi pada dekade-dekade sebelumnya. Gerakan politik massa, terutama yang didasarkan pada politik aliran, hampir mustahil dilakukan, apalagi setelah diterapkannya politik massa-mengambang. Dalam kaitan ini gerakan-gerakan Islam perlu melakukan reorientasi terutama untuk merumuskan strategi yang baru..."

Dari dua rujukkan di atas menjadikan jembatan kita untuk mengetahui proses panjang yang sudah di lewati oleh HMI. Tentu hal ini menjadi penting untuk disuguhkan kembali, mengingat umur HMI mengijak ke-73 pada 5 Februari 2020. Tidak banyak harapan yang bisa disampaikan selain slogan khas HMI Yakin Usaha Sampai (YAKUSA) serta tujuannya yang termaktub dalam AD ART HMI. 

Tidak menafikan juga atas kontribusi baik dari seluruh kader HMI atau partisipan HMI, karena jelas tanpa meraka HMI bisa dipastikan tidak akan tetap eksis sampai saat ini. Akan tetapai, eksistensi yang sudah didapat menjadi pembahasan penting di Internal HMI itu sendiri untuk merumuskan kembali gerakan ke Islamannya di Indonesia. Dengan menjaga keseimbangan antara eksistensi dan esensi gerakan serta misi HMI, menjadi kunci untuk tetap mempertahankan HMI. (*)

Oleh: Baqi Maulana Rizqi, Kader HMI Bumiayu

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

Pewarta :
Editor : Dody Bayu Prasetyo
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.