https://jatim.times.co.id/
Opini

Trump dan Tantangan Perdamaian Gaza

Selasa, 07 Oktober 2025 - 06:05
Trump dan Tantangan Perdamaian Gaza Moh. Iqbal Bulgini, Mahasiswa S3 Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya.

TIMES JATIM, SURABAYA – Konflik Israel-Palestina, khususnya di Gaza, sudah lama menjadi semacam panggung kebuntuan diplomasi. Perundingan demi perundingan berjalan, tetapi hasilnya hanya gencatan senjata sementara. 

Akar persoalan tak pernah benar-benar disentuh. Jika kita meminjam kacamata Hegel, kondisi ini bisa disebut sebagai sebuah tesis: situasi yang stagnan, tidak adil, tapi tetap bertahan.

Lalu kemudian muncul Donald Trump. Dengan gaya khasnya sebagai "deal maker", ia datang membawa paket perdamaian yang penuh ultimatum. Trump menginisiasi 20-Point Gaza Peace Plan, antara lain pengembalian tawanan, penghentian operasi militer, pembentukan pemerintahan transisi, dan lainnya. 

Dalam kerangka dialektika Hegel, ini disebut antitesis: sebuah negasi yang keras, mengguncang tatanan lama. Trump menolak jalur konvensional ala PBB yang terlalu lamban. 

Sebaliknya, ia memilih diplomasi paksa, menekan semua pihak keluar dari zona nyaman. Setidaknya secara filosofis, kehadirannya memang mengubah arah permainan.

Langkah Trump itu melahirkan sintesis sejati, sebuah jalan tengah yang mengatasi dan menyatukan kedua posisi atau justru hanya menjadi kompromi timpang yang pada gilirannya akan meledak?

Antitesis ala Trump

Selama bertahun-tahun, solusi dua negara menjadi mantra diplomasi internasional. Tapi kenyataannya, mantra itu tak pernah benar-benar diwujudkan. Palestina tetap tanpa negara berdaulat, Israel tetap dibayangi ancaman keamanan. Itulah tesis statis yang macet di tempat.

Trump masuk dengan antitesis. Rencananya terang-terangan berpihak pada Israel, menyingkirkan proses bertahap, dan mendikte syarat yang sulit ditolak. 

Banyak yang mengkritik gaya ini, tetapi dalam logika Hegel, sebuah antitesis memang dibutuhkan untuk memecah kebekuan. Trump berhasil membuat semua pihak bereaksi, bahkan mereka yang sebelumnya pasif. Dengan kata lain, ia memaksa drama lama itu bergerak.

Sintesis yang Pincang

Masalahnya, sintesis yang lahir dari antitesis Trump tidak pernah menjadi aufhebung, sebuah penggabungan yang mengangkat kebenaran dari kedua sisi. Alih-alih menyatukan, rencananya justru bisa menekan Palestina semakin jauh.

Trump menuntut perlucutan senjata total dari Palestina, sekaligus memberi Israel hak kendali keamanan jangka panjang. Namun janji negara Palestina yang berdaulat tidak jelas. 

Artinya, keamanan Israel diutamakan, sementara kedaulatan Palestina dikesampingkan. Di sinilah kontradiksi fundamentalnya: perdamaian dibangun di atas ketimpangan.

Hasilnya bukanlah melahirkan kebebasan rasional, melainkan “kedamaian” yang dipaksakan. Jika satu pihak hanya dipaksa menerima kekalahan struktural, itu bukan rekonsiliasi, melainkan sekadar jeda sebelum konflik meledak kembali. Karena memang sedari awal, Palestina tidak pernah diajak atau terlibat dalam perundingan untuk ikut menentukan nasibnya sendiri.

Kelemahan paling fatal dari sintesis ala Trump ada pada aspek anerkennung, atau pengakuan timbal balik. Bagi Hegel, perdamaian sejati hanya mungkin jika kedua belah pihak saling mengakui martabat dan kedaulatan masing-masing. Tanpa itu, hubungan jatuh ke dalam pola tuan-budak, dimana ketika satu pihak memerintah, pihak lain tunduk.

Rencana Trump jelas tidak memberi ruang bagi pengakuan semacam itu. Palestina dipaksa menanggalkan pertahanannya, tapi tak diberi jaminan kedaulatan penuh. 

Mereka ditempatkan pada posisi yang lemah, hanya diberi “kebebasan” sebatas bertahan hidup. Itu bukanlah pengakuan, melainkan subordinasi. Dan selama kebutuhan mendasar akan pengakuan ini tak terpenuhi, konflik hanya akan terus berulang.

Tantangan Perdamaian

Jika kita rangkum, Trump memang berhasil mengguncang status quo. Ia menjalankan peran antitesis dengan efektif, setidaknya memaksa dunia berhenti pura-pura bahwa diplomasi lama masih berjalan. 

Namun, “sintesis” yang ia hasilkan tidak pernah sampai pada tahap aufhebung. Tanpa pengakuan setara, tanpa keadilan substantif, perdamaian yang dijanjikan hanya tampak di permukaan.

Dengan kata lain, Gaza masih terjebak dalam tantangan perdamaian. Selama kedaulatan Palestina tidak diakui penuh, kontradiksi mendasar akan terus hidup, siap meletus kapan saja. 

Belum lagi risiko bahwa Israel tidak benar-benar menarik diri sepenuhnya, atau bahwa pasukan keamanan dan kontrol mereka tetap ada di belakang.

Trump mungkin jago membuat kesepakatan bisnis, tapi di panggung sejarah, perdamaian bukan soal deal sepihak. Hegel sudah mengingatkan: kebebasan sejati hanya lahir dari pengakuan timbal balik. Tanpa itu, “perdamaian” di Gaza hanyalah jeda yang rapuh, sebuah fatamorgana politik yang tak akan bertahan lama. (*)

***

*) Oleh : Moh. Iqbal Bulgini, Mahasiswa S3 Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.