https://jatim.times.co.id/
Opini

Kita dan Penjara Digital

Senin, 03 November 2025 - 15:41
Kita dan Penjara Digital Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

TIMES JATIM, BOJONEGORO – Pernahkah kamu merasa hidupmu seperti berada di dalam penjara, tapi tanpa jeruji? Kamu bebas bersuara, bebas berekspresi, bebas scrolling TikTok sampai subuh tapi entah kenapa, kok makin lama rasanya justru makin sempit. Nah, itulah “penjara di era digital” yang dibahas dengan gaya khas dan humor getir oleh Iqbal Aji Daryono dalam bukunya Sapiens di Ujung Tanduk (2022).

Buku ini bukan sekadar kumpulan esai ringan tentang media sosial. Ia lebih mirip cermin retak yang memantulkan wajah manusia digital kita yang kadang lucu, kadang menyedihkan, tapi sering kali absurd. 

Iqbal, dengan bahasa sarkas yang cerdas, mengajak kita merenungkan: apakah media sosial yang katanya ruang kebebasan itu sebenarnya telah berubah menjadi penjara raksasa tempat kita rela mengurung diri?

Ingat masa pandemi COVID-19? Waktu itu, dunia seperti berhenti berputar. Semua orang dikunci di rumah, sementara koneksi internet jadi satu-satunya jendela ke dunia luar. Dari situ, perilaku bermedia sosial manusia berubah drastis. 

Menurut laporan Digital 2022 Global Overview Report, penggunaan media sosial melonjak hingga lebih dari 4,6 miliar pengguna aktif meningkat lebih dari 10% dibanding tahun sebelumnya.

Kita memang tidak bisa keluar rumah, tapi di dunia maya, kita justru lebih “berisik” dari sebelumnya. Setiap hari kita berdebat soal masker, vaksin, sampai teori konspirasi. Semua orang jadi epidemiolog dadakan dan dosen moral instan.

Iqbal melihat fenomena ini sebagai bentuk “pelarian kolektif” yang ironis. Kita lari dari isolasi fisik, tapi justru terjebak dalam isolasi digital. Ruang maya yang awalnya terasa luas, lama-lama berubah jadi sel pribadi tempat kita bergaung dengan pikiran sendiri dan sesekali melempar batu opini ke orang lain di seberang tembok algoritma.

Dalam esai-esainya, Iqbal sering mengingatkan bahwa media sosial dibangun bukan untuk kebenaran, tapi untuk keterlibatan (engagement). Artinya, platform seperti Instagram, X (Twitter), dan TikTok tidak peduli apakah yang kamu bagikan benar atau tidak, asal membuatmu terus menatap layar dan bereaksi.

“Jeruji penjara digital,” tulis Iqbal secara metaforis, “tidak terbuat dari besi, melainkan dari keinginan untuk selalu dilihat.”

Algoritma bekerja seperti sipir yang lihai: ia memberimu apa yang kamu sukai, membatasi yang tak kamu setujui, dan secara perlahan membentuk gelembung informasi (filter bubble). Akibatnya, kita merasa paling benar di antara kelompok sendiri. Kita tidak lagi berdialog, melainkan berkhotbah di ruang gema (echo chamber).

Fenomena ini diperkuat oleh riset Cass Sunstein dalam #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (2017), yang menunjukkan bahwa interaksi digital cenderung memperkuat polarisasi politik dan sosial. Media sosial membuat kita lebih terhubung, tapi juga lebih terpecah.

Dari Homo Sapiens ke Homo Digitalis

Judul buku Iqbal yang menggoda Sapiens di Ujung Tanduk jelas mengacu pada Sapiens karya Yuval Noah Harari. Namun, Iqbal tidak bicara soal revolusi kognitif atau peradaban pertanian, melainkan revolusi jempol. 

Ia menulis dengan nada prihatin sekaligus geli tentang bagaimana manusia modern berubah menjadi Homo Digitalis makhluk yang lebih akrab dengan notifikasi daripada percakapan nyata.

Ia menulis, “Kita hidup di masa ketika orang lebih takut kehilangan followers daripada kehilangan arah hidup.” Kalimat itu menampar lembut tapi tepat sasaran. Kita mengejar validasi digital seperti mengejar oksigen, tanpa sadar bahwa yang kita hirup sebenarnya kabut ilusi.

Contohnya, fenomena cancel culture. Sekali tersandung opini publik, seseorang bisa “dihukum sosial” tanpa proses yang adil. Media sosial menjadi pengadilan, warganet jadi jaksa dan hakim sekaligus. 

Semua berlomba menjadi paling benar, paling suci, paling sadar sosial. Tapi ironisnya, semakin keras kita bersuara soal keadilan, semakin sedikit ruang empati yang tersisa.

Iqbal Aji Daryono dengan cerdas memotret paradoks ini: kita mengira media sosial memberi kebebasan berekspresi, padahal sering kali justru membuat kita menyesuaikan diri dengan arus mayoritas. Kita takut berbeda, takut dibully, takut kehilangan “citra digital”.

Dalam salah satu esainya, ia menulis, “Kita tidak lagi menjadi diri sendiri di media sosial, kita menjadi versi terbaik yang bisa dijual.” Kalimat itu menggambarkan betapa dalamnya infiltrasi kapitalisme ke dalam kepribadian kita. Identitas kini dikomodifikasi dijual lewat story, dipoles lewat filter, dan dinilai lewat likes.

Sosiolog Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1981) sudah lama memprediksi hal ini: dunia modern akan dipenuhi “simulakra”, yaitu tiruan yang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Kini kita melihatnya di wajah manusia digital yang lebih percaya diri di dunia maya daripada di dunia nyata.

Jalan Keluar dari Penjara Digital

Lalu, adakah cara melarikan diri dari penjara ini? Iqbal tidak menawarkan resep instan, tapi ia menyarankan sesuatu yang sederhana: kesadaran.

Kesadaran bahwa tidak semua yang viral itu penting. Bahwa tidak semua debat harus diikuti. Bahwa diam di dunia maya kadang lebih sehat daripada terus berkoar tanpa arah.

Dalam pandangan filsuf Korea Selatan, Byung-Chul Han, yang terkenal lewat The Burnout Society (2015), masyarakat digital mengalami kelelahan eksistensial akibat tekanan untuk terus tampil, terus produktif, terus relevan. 

Karenanya, solusi yang ditawarkan Iqbal untuk jeda, berpikir, lalu bicara bukan sekadar anjuran moral, tapi bentuk perlawanan terhadap sistem yang memenjarakan pikiran.

Membaca Sapiens di Ujung Tanduk terasa seperti ngobrol dengan teman lama yang cerewet tapi jujur. Kita diajak menertawakan diri sendiri dengan semua keanehan, kecepatan, dan ketergantungan digital yang kita alami setiap hari.

Penjara di era digital memang nyata, tapi seperti kata Iqbal, “setiap penjara punya pintu keluar, asal kita mau berhenti menggenggam kunci seperti ponsel.”

Mungkin, langkah pertama menuju kebebasan bukan dengan logout dari semua akun, tapi dengan login kembali ke diri sendiri.

***

*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.