TIMES JATIM, MALANG – Transformasi digital di perguruan tinggi kini berlangsung begitu masif dan nyaris tak terbendung. Banyak kampus berlomba mengadopsi teknologi, dari pembelajaran daring, digitalisasi administrasi, hingga promosi institusi melalui media sosial.
Di balik euforia ini, muncul pertanyaan mendasar yang tak boleh diabaikan: apakah teknologi benar-benar dimanfaatkan sebagai mitra strategis untuk memperkuat misi pendidikan, atau justru telah berubah menjadi komoditas baru yang memperdalam ketimpangan antara pemikiran kritis dengan logika praktis? Sebuah fenomena menarik untuk dibahas.
Fenomena komodifikasi teknologi di dunia pendidikan saat ini sudah menjadi bagian dari realitas tersendiri. Beberapa negara, termasuk Indonesia, penggunaan teknologi dalam pendidikan tinggi telah bergeser dari sekadar alat bantu menjadi instrumen bisnis. Hal ini terlihat dari masifnya digitalisasi sistem akademik yang tidak jarang menjadikan mahasiswa sebagai konsumen, bukan lagi subjek pembelajar.
Situasi ini semakin kompleks dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI) yang kini banyak digunakan oleh mahasiswa untuk berbagai keperluan, mulai dari membuat ringkasan bacaan, menulis esai, mencari ide tugas akhir, hingga merancang proposal penelitian. Hal ini menunjukkan AI dapat menjadi solusi praktis yang menjanjikan efisiensi.
Berbagai platform seperti ChatGPT, Grammarly, dan tools berbasis generatif lainnya diposisikan sebagai life hack pendidikan: cepat, mudah, dan instan. Namun, di sisi lain, ketergantungan yang berlebihan terhadap AI justru berpotensi mereduksi proses berpikir kritis mahasiswa.
Ketika proses analisis, argumentasi, hingga penyusunan struktur tulisan mulai dialihkan kepada mesin, ruang refleksi intelektual perlahan menyempit. Mahasiswa cenderung menerima hasil dari AI tanpa sikap skeptis atau verifikasi ulang, padahal justru keterampilan tersebut adalah inti dari pendidikan tinggi itu sendiri.
Pada tataran ini, teknologi, dalam wujud AI, menjadi produk yang dikonsumsi, bukan alat yang dikritisi. Kampus yang tidak siap dalam mengarahkan penggunaan AI secara etis dan pedagogis bisa terjebak dalam mekanisme pasar yang pragmatis: menjual efisiensi, namun kehilangan esensi.
Padahal, jika diarahkan secara bijak, AI justru bisa menjadi mitra belajar yang kolaboratif, bukan sekadar mesin penyelesai tugas. Tantangannya terletak pada bagaimana institusi pendidikan membangun budaya literasi digital yang tidak hanya adaptif, tetapi juga reflektif dan kritis.
Beberapa kampus di dunia telah mulai merespons fenomena ini dengan serius. Di Amerika Serikat, misalnya, University of California, Berkeley, telah merancang pedoman penggunaan AI generatif dalam proses belajar-mengajar.
Pedoman ini menekankan pentingnya transparansi penggunaan AI dalam tugas akademik, serta mendorong mahasiswa untuk menggunakan AI sebagai alat bantu eksplorasi, bukan substitusi pemikiran. Tujuannya jelas: menjaga integritas akademik tanpa menolak kemajuan teknologi.
Sementara itu, di Inggris, University of Cambridge tengah mengembangkan kurikulum yang mengintegrasikan literasi AI ke dalam mata kuliah dasar, agar mahasiswa tidak hanya tahu cara menggunakan teknologi, tapi juga memahami implikasi etis, sosial, dan epistemologis dari penggunaannya. Pendekatan ini berupaya membentuk mahasiswa sebagai critical users, bukan sekadar efficient users.
Di Indonesia, beberapa dosen di perguruan tinggi mulai mengambil pendekatan inovatif. Alih-alih melarang penggunaan AI secara kaku, mereka justru mengajak mahasiswa untuk mendiskusikan hasil kerja AI, mengkritisinya, dan membandingkan dengan hasil pemikiran mereka sendiri.
Dalam satu kelas, misalnya, mahasiswa diminta mengumpulkan draft esai versi AI dan versi buatan sendiri, lalu melakukan refleksi tertulis atas perbedaan gaya, argumen, dan kedalaman analisis.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa keberadaan AI dalam pendidikan tinggi tidak harus dilihat sebagai ancaman semata. Justru, jika dikelola secara kritis dan kolaboratif, AI bisa menjadi pemicu lahirnya pendekatan pedagogis baru yang lebih adaptif dan partisipatif.
Tantangan terbesar bukan pada teknologinya, melainkan pada kesiapan kampus untuk mengembangkan budaya akademik yang tidak tunduk pada logika komodifikasi semata, tetapi tetap berpijak pada nilai-nilai intelektual dan etika keilmuan.
Hal yang sama terjadi di Eropa. Inggris, misalnya, menghadapi gelombang kritik saat sejumlah universitas mulai memonetisasi data mahasiswa untuk kepentingan pemasaran program studi. Di Jerman, perdebatan mencuat ketika algoritma digunakan untuk menilai kualitas pengajaran dosen melalui student tracking system yang bersifat kuantitatif.
Kampus perlahan-lahan menyerupai korporasi, dengan dosen sebagai “penyedia konten” dan mahasiswa sebagai “pengguna akhir”. Komodifikasi teknologi dalam konteks ini bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang kuasa: siapa yang mengendalikan pengetahuan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang disisihkan.
Ketika teknologi hanya dilihat sebagai produk yang diperjualbelikan, pendidikan berisiko kehilangan ruh kritisnya. Alih-alih menciptakan ruang intelektual yang reflektif, kampus justru berubah menjadi ruang produksi konten digital yang serba cepat, instan, dan terukur secara algoritmis.
Kunci utamanya ada pada desain kebijakan dan komitmen institusi pendidikan untuk tetap berpihak pada nilai-nilai humanistik. Beberapa kampus sudah mulai menerapkan pendekatan ini. Di Finlandia, University of Helsinki mengembangkan platform MOOC yang terbuka dan gratis untuk publik tanpa embel-embel monetisasi.
Pada kampus di Indonesia, Universitas Gadjah Mada meluncurkan platform “eLOK” sebagai Learning Management System terbuka yang dikembangkan sendiri oleh civitas akademikal. Di sinilah letak pentingnya kedaulatan digital kampus , tidak hanya soal memiliki teknologi, tapi juga menguasai dan mengembangkannya untuk tujuan pendidikan yang lebih adil dan inklusif.
Langkah berikutnya adalah membangun ekosistem kolaboratif antara dosen, mahasiswa, dan pengembang teknologi. Teknologi bukan sekadar barang jadi yang dibeli dan diimplementasikan, melainkan harus dibentuk bersama dalam dialog lintas-disiplin.
Kampus harus menjadi co-creator, bukan hanya konsumen. Ini sejalan dengan semangat open science, open education, dan open innovation yang kini mulai digemakan di berbagai belahan dunia.
Pendidikan tinggi berada di titik kritis. Di satu sisi, ada tekanan untuk menjadi lebih efisien, kompetitif, dan relevan di era digital. Di sisi lain, ada tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai pendidikan sebagai ruang pembebasan, bukan sekadar tempat produksi tenaga kerja.
Komodifikasi teknologi bukanlah keniscayaan yang tak bisa ditolak, namun juga bukan sesuatu yang harus diterima mentah-mentah. Yang dibutuhkan adalah keberanian menyusun ulang relasi antara kampus dan teknologi, dari hubungan transaksional menjadi kemitraan strategis berbasis nilai dan kemanusiaan.
Solusi terbaik bukanlah menolak teknologi dengan pandangan yang kaku atau curiga, melainkan membangun pendekatan yang selaras dan seimbang. Teknologi harus ditempatkan pada posisinya yang tepat: sebagai alat bantu (tools), bukan sebagai pengganti peran manusia.
Kampus harus menjadi ruang di mana teknologi dimanfaatkan untuk memperkuat nalar kritis, kreativitas, dan kolaborasi, bukan justru menggantikan proses berpikir atau mengerdilkan kapasitas reflektif mahasiswa.
Dengan cara itu, pendidikan tinggi dapat menjaga jati dirinya sebagai ruang akademis yang mengedepankan pemikiran kritis dan emansipatif. Perguruan tinggi bisa mengembangkan kurikulum yang mengintegrasikan literasi digital dan etika teknologi, sambil tetap menanamkan kepekaan sosial, kedalaman analisis, dan tanggung jawab moral.
Karena pada akhirnya, kemajuan teknologi harus sejalan dengan kemajuan cara berpikir, bukan menggesernya. Masa depan pendidikan bukan milik mereka yang sekadar menguasai mesin, tapi milik mereka yang mampu memanusiakannya.
***
*) Oleh : Arif Budi Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Mahasiswa Doktoral Universitas Airlangga.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |