https://jatim.times.co.id/
Opini

Investasi Hidup ala Masyarakat Desa

Minggu, 05 Oktober 2025 - 21:48
Investasi Hidup ala Masyarakat Desa Hainor Rahman, Kader PMII Cabang Kota Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Di tengah gemerlap kota, manusia modern sering kali kehilangan arah dalam mengejar sesuatu yang sesungguhnya semu. Kemapanan, gengsi, dan kecepatan. Gedung menjulang tinggi, jalan raya tak pernah sepi, dan waktu terasa begitu mahal.

Di balik hiruk-pikuk itu, ada satu hal yang makin langka. Ketenangan batin. Ironisnya, justru dari desa tempat yang sering dianggap tertinggal kita bisa belajar kembali bagaimana mengelola kehidupan dengan lebih manusiawi.

Desa adalah ruang di mana nilai-nilai hidup tumbuh dalam keakraban. Di sana, waktu berjalan lambat namun penuh makna. Orang masih saling menyapa tanpa kepentingan, gotong royong bukan jargon, dan kebahagiaan tidak diukur dari saldo rekening. 

Inilah “investasi hidup” yang sering hilang di kota. Jaringan sosial yang hangat, ketenangan batin, dan rasa cukup atas apa yang dimiliki. Nilai-nilai ini bisa menjadi modal sosial paling berharga bagi warga kota yang tengah terperangkap dalam rutinitas kompetitif.

Masyarakat kota hidup dalam ritme cepat dan sistem yang menuntut produktivitas tinggi. Mereka berangkat pagi, pulang malam, dan jarang mengenal tetangganya sendiri. 

Kehidupan sosial bergeser dari interaksi langsung menjadi hubungan virtual. Akibatnya, banyak orang kaya secara materi, tetapi miskin secara emosional.

Bandingkan dengan masyarakat desa. Hal kecilnya saja ketika ada yang sakit, tetangga datang membawa makanan, saat panen, semua orang ikut membantu, dan ketika ada duka, satu kampung berkumpul tanpa perlu undangan. Itulah bentuk nyata dari human capital yang jarang ditemukan di kota besar, rasa kepedulian dan empati.

Nilai-nilai semacam ini adalah “aset tak ternilai” yang sebenarnya bisa diadopsi masyarakat urban. Sebab di tengah tekanan hidup perkotaan, manusia tetap membutuhkan ruang untuk merasa dekat, diterima, dan berarti bagi sesamanya. Kota yang kehilangan rasa kemanusiaan pada dasarnya telah kehilangan separuh jiwanya.

Ketenangan sebagai Kemewahan Baru

Bagi masyarakat desa, ketenangan bukan barang langka. Alam menjadi terapi, udara menjadi pengingat, dan waktu seolah berjalan tanpa desakan. Sementara di kota, ketenangan telah menjadi komoditas: dijual dalam bentuk retreat, healing trip, atau private villa. Orang kota membayar mahal untuk mendapatkan sesuatu yang di desa hadir secara alami.

Fenomena ini menunjukkan satu hal penting. Modernitas tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Banyak warga kota mulai menyadari bahwa ketenangan adalah bentuk kekayaan baru, investasi batin yang nilainya jauh lebih tinggi daripada aset finansial.

Maka, belajar dari desa bukan berarti mundur dari kemajuan, melainkan menyeimbangkan antara kebutuhan material dan spiritual. Desa mengajarkan bahwa hidup tidak harus cepat, asal tetap dalam arah yang benar.

Sosialitas Sebagai Modal Peradaban

Gotong royong dan musyawarah bukan sekadar simbol tradisi desa, melainkan fondasi sosial yang bisa memperkuat kehidupan kota. Kota-kota besar di dunia yang berhasil membangun ekosistem sosial berkelanjutan selalu mengadopsi nilai-nilai yang mirip dengan kultur desa: community-based living, ruang publik yang ramah, dan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan.

Jakarta, Surabaya, atau Bandung misalnya, bisa belajar dari desa tentang pentingnya trust antarwarga. Ketika kepercayaan tumbuh, kejahatan menurun, dan solidaritas meningkat. 

Di sinilah kearifan lokal seperti tepo seliro dan rukun tetangga menjadi inspirasi untuk membangun peradaban urban yang tidak kehilangan hati nuraninya.

Krisis terbesar masyarakat kota bukan pada ekonomi, melainkan pada relasi kemanusiaan. Banyak orang merasa sendiri di tengah keramaian. Padahal, desa menunjukkan bahwa kebersamaan bisa menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan.

Kehidupan kolektif di desa bukan berarti mengekang individualitas, tetapi memperkuat rasa saling ketergantungan yang sehat. Inilah investasi sosial yang perlu ditumbuhkan di kota: membangun jaringan yang bukan hanya profesional, tapi juga personal relasi yang berbasis pada nilai, bukan kepentingan.

Kita terbiasa memaknai investasi sebagai penanaman modal yang berorientasi keuntungan materi. Namun dalam hidup, ada bentuk investasi lain yang jauh lebih mendalam: investasi sosial, emosional, dan spiritual. Desa telah membuktikan bahwa masyarakat yang kuat bukan karena kaya secara finansial, tapi karena solid secara sosial.

Maka, bila kota ingin tumbuh sebagai ruang hidup yang sehat, ia perlu mengadopsi “etika desa” menghargai waktu, menghormati sesama, dan memelihara kebersamaan. Desa mengajarkan bahwa kekayaan sejati bukanlah memiliki segalanya, tetapi merasa cukup dan bermanfaat bagi sesama.

Investasi hidup ala desa sesungguhnya adalah upaya menemukan kembali kemanusiaan di tengah peradaban yang sibuk. Ia bukan nostalgia, melainkan koreksi arah bagi masa depan kota.

Saat dunia semakin digital, kehidupan semakin mekanis, dan manusia makin terasing dari sesamanya, nilai-nilai desa menjadi oase yang menenangkan.

Mungkin sudah saatnya kita membawa “jiwa desa” ke dalam tubuh kota agar kemajuan tidak kehilangan makna, dan kehidupan tidak kehilangan rasa.

***

*) Oleh : Hainor Rahman, Kader PMII Cabang Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.