https://jatim.times.co.id/
Opini

Masjid, Peradaban Ilmu dan Kemanusiaan

Minggu, 05 Oktober 2025 - 22:33
Masjid, Peradaban Ilmu dan Kemanusiaan Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

TIMES JATIM, MALANG – Masjid dalam sejarah Islam bukan sekadar tempat sujud, tetapi pusat peradaban. Di sana manusia bertemu bukan hanya dengan Tuhan, tetapi juga dengan ilmu, budaya, dan gagasan kemanusiaan. 

Sayangnya, dalam perjalanan panjang peradaban modern, makna masjid kerap menyempit hanya menjadi ruang ritual, bukan ruang nalar dan dialog. Padahal, dari masjidlah dulu lahir semangat ilmu pengetahuan yang mengubah dunia.

Dalam sejarah keemasan Islam, masjid menjadi titik lahirnya para ilmuwan besar. Di Damaskus, Baghdad, hingga Kairo, masjid berfungsi sebagai universitas pertama sebelum kampus-kampus modern berdiri. 

Masjid Al-Azhar di Mesir, misalnya, bermula dari sebuah tempat ibadah kecil yang kemudian menjelma menjadi pusat keilmuan dunia Islam selama seribu tahun. Di sana, tafsir, filsafat, kedokteran, matematika, dan astronomi berkembang seiring dengan kajian Al-Qur’an.

Masjid kala itu bukan hanya tempat membaca ayat-ayat Tuhan yang tertulis, tetapi juga menafsirkan ayat-ayat Tuhan yang terbentang di alam semesta.

Namun kini, banyak masjid kehilangan fungsinya sebagai pusat kecerdasan dan kemajuan. Ia menjadi simbol kebanggaan fisik megah, indah, dan penuh ornamen tetapi sunyi dari aktivitas intelektual. 

Pencerahan spiritual tidak boleh berhenti di ruang ibadah; ia seharusnya berlanjut menjadi kesadaran sosial dan ilmiah. Di sinilah urgensi mengembalikan masjid sebagai rumah ilmu dan rumah kemanusiaan.

Masjid Sebagai Ruang Pengetahuan

Islam menempatkan ilmu sebagai jalan menuju keimanan. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah perintah untuk beribadah, melainkan “Iqra” bacalah. Perintah ini menandai bahwa iman dan ilmu tidak pernah terpisah. Masjid sebagai rumah iman, seharusnya juga menjadi rumah bagi ilmu.

Di masa Nabi, masjid menjadi pusat administrasi, ruang musyawarah, tempat belajar anak-anak, sekaligus tempat diskusi sosial. Para sahabat belajar strategi perang, ekonomi, hingga tata kelola masyarakat dari Rasulullah di masjid. Itulah prototype peradaban yang menyatukan spiritualitas dan rasionalitas.

Kita perlu menghidupkan kembali semangat itu. Masjid harus terbuka bagi kajian lintas bidang: ilmu sosial, lingkungan, teknologi, hingga sains modern. Sebab, seluruh cabang ilmu sejatinya adalah manifestasi dari kebesaran Allah. Seorang fisikawan yang meneliti struktur atom sejatinya sedang membaca ayat kauniyah tanda-tanda kebesaran Tuhan yang termaktub dalam hukum alam.

Dengan cara pandang ini, masjid tidak lagi hanya menjadi tempat ceramah, tapi juga laboratorium berpikir yang memantik kesadaran kolektif untuk berbuat baik bagi bumi dan sesama.

Dalam tradisi Islam, ibadah selalu terikat dengan dimensi sosial. Shalat berjamaah mengajarkan kesetaraan; zakat menumbuhkan solidaritas; dan khutbah menguatkan kesadaran moral publik. Maka, masjid sejatinya adalah ruang di mana kemanusiaan dijaga.

Di tengah masyarakat modern yang individualistis, masjid bisa berperan sebagai pusat solidaritas sosial tempat di mana orang miskin mendapat perhatian, anak muda mendapat bimbingan, dan masyarakat mendapat pencerahan moral.

Masjid yang hidup adalah masjid yang menghadirkan kasih, bukan hanya nasihat; yang membangun kepedulian, bukan sekadar formalitas ibadah.

Kita sering mendengar istilah “masjid makmur”, tapi makna makmur seharusnya tidak hanya ramai jamaah, melainkan juga ramai gagasan dan kepedulian. Masjid yang ideal bukan sekadar tempat menegakkan rukuk dan sujud, tetapi juga menegakkan akal dan nurani. 

Ketika masjid menjadi ruang inklusif tempat di mana anak muda berdiskusi, ilmuwan berbagi, dan masyarakat saling belajar di situlah Islam tampil sebagai rahmat bagi semesta.

Dalam pandangan Islam klasik, ilmu dan iman tidak saling menegasikan. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Biruni membuktikan bahwa mengkaji sains adalah bentuk ibadah. Mereka mengamati alam semesta bukan untuk menyaingi Tuhan, tapi untuk mengenal-Nya lebih dalam.

Spirit itulah yang perlu dihidupkan kembali. Masjid harus menjadi ruang yang menumbuhkan budaya berpikir ilmiah. Bukan berarti mengganti mimbar dengan mikroskop, tetapi menghidupkan semangat tafaqquh fil ‘ilmi memahami dunia agar manusia lebih bijak menjalani kehidupan.

Bayangkan bila setiap masjid memiliki program literasi ilmu: kajian sains Islam, diskusi inovasi ramah lingkungan, hingga pengajaran teknologi digital berbasis etika. Maka, masjid tidak hanya akan memakmurkan umat, tetapi juga mencerdaskan bangsa. Itulah makna peradaban Islam yang sesungguhnya peradaban yang membangun dunia dengan cahaya ilmu dan kasih sayang.

Masjid seharusnya menjadi mercusuar zaman memancarkan cahaya ilmu, spiritualitas, dan kemanusiaan. Di sana manusia belajar mengenal Tuhan tanpa kehilangan logika, dan menuntut ilmu tanpa kehilangan adab.

Peradaban Islam yang agung lahir bukan dari gedung megah, melainkan dari masjid-masjid sederhana yang menumbuhkan budaya berpikir dan berbuat baik.

Kini, di era modern yang serba cepat dan digital, tugas kita adalah mengembalikan masjid ke fitrahnya. Pusat peradaban yang memadukan iman, ilmu, dan cinta. Karena sejatinya, dari masjidlah dunia bisa kembali menemukan keseimbangannya.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.