TIMES JATIM, MALANG – Delapan puluh tahun bukan usia yang muda bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dari sebuah angkatan perjuangan rakyat bersenjata, kini TNI menjelma menjadi institusi pertahanan yang profesional, modern, dan menjadi simbol stabilitas bangsa.
Usia panjang bukanlah sekadar catatan sejarah, melainkan cermin untuk menatap masa depan. Bagaimana TNI tetap relevan di tengah perubahan dunia yang kian kompleks, serta bagaimana nilai-nilai kepemimpinan militernya menjadi inspirasi bagi seluruh warga negara.
TNI lahir dari semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, bukan sekadar kekuatan bersenjata yang diciptakan negara. Di situlah letak kekuatan moralnya.
Keteladanan para pendiri bangsa seperti Jenderal Soedirman bukan hanya tentang keberanian di medan tempur, tetapi tentang kejujuran moral, kesetiaan pada rakyat, dan keteguhan hati untuk berjuang tanpa pamrih.
Hari ini, keteladanan itu harus dimaknai ulang dalam konteks kemandirian bangsa. Dunia sedang bergerak menuju era perang nonkonvensional perang informasi, perang ekonomi, dan perang ideologi.
Kemandirian TNI tidak lagi hanya diukur dari alutsista, tetapi dari sejauh mana ia mampu mengamankan kedaulatan digital, kedaulatan pangan, hingga kedaulatan sumber daya alam. Pertahanan tidak hanya di medan perang, tetapi juga di meja diplomasi, di ruang siber, dan bahkan di algoritma media sosial.
TNI dan Kecerdasan Strategis
Presiden Prabowo Subianto dalam bukunya Kepemimpinan Militer menulis bahwa kepemimpinan bukan hanya seni memerintah, tetapi seni memahami manusia. Di era digital ini, seni itu meluas menjadi kemampuan membaca perubahan, memprediksi ancaman, dan mengintegrasikan potensi sipil dalam strategi pertahanan.
Kecerdasan strategis inilah yang menjadi tantangan terbesar TNI di usia ke-80. Ia dituntut untuk beradaptasi, bukan hanya pada perubahan teknologi, tapi juga pada pola ancaman yang tak kasat mata: disinformasi, infiltrasi ekonomi, hingga degradasi moral generasi muda. Ketahanan bangsa tidak bisa dijaga dengan senjata semata, tetapi dengan membangun daya tahan sosial dan spiritual rakyat.
TNI yang kuat bukan hanya yang memiliki tank dan jet tempur, melainkan yang mampu menjadi penggerak moral bagi bangsa. Dalam konteks inilah, peran sosial TNI dalam kebencanaan, pendidikan, hingga pembangunan daerah tertinggal menjadi wujud nyata dari “soft power” militer Indonesia yang membedakannya dari banyak negara lain.
TNI tidak bisa berdiri sendiri. Kekuatan militernya lahir dari kepercayaan rakyat. Di era demokrasi, hubungan sipil-militer harus bersandar pada prinsip saling menghormati dan bekerja sama untuk tujuan nasional.
Rakyat membutuhkan TNI yang profesional dan netral, sementara TNI memerlukan rakyat yang cerdas dan berkarakter untuk menjaga kohesi nasional.
Kebersamaan inilah yang harus terus diperkuat. Karena sejatinya, setiap warga negara adalah bagian dari sistem pertahanan negara. Seperti tertuang dalam konsep Total Defense System, pertahanan bukan monopoli militer, melainkan gerakan kolektif seluruh elemen bangsa pemerintah, akademisi, pebisnis, dan masyarakat sipil. Di tengah ancaman global yang makin tak terduga, semangat gotong royong dan nasionalisme menjadi perisai utama.
Kepemimpinan militer menyimpan nilai universal: disiplin, loyalitas, tanggung jawab, dan ketegasan moral. Nilai-nilai ini tidak hanya penting bagi prajurit, tetapi juga bagi pemimpin sipil di semua lini kehidupan.
Saat bangsa ini menghadapi krisis integritas dan kepemimpinan, TNI memberi teladan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk melindungi, bukan menindas; untuk mengayomi, bukan menguasai.
Etika kepemimpinan militer harus menjadi spirit baru dalam reformasi birokrasi dan politik nasional. Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi sering kehilangan figur yang teguh dan berani mengambil keputusan untuk kepentingan publik. Dari TNI, kita belajar bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang popularitas, melainkan pengabdian.
Tantangan abad ke-21 menuntut TNI menjadi kekuatan yang adaptif dan berorientasi masa depan. Penguasaan teknologi pertahanan, modernisasi alutsista, dan penguatan industri militer nasional harus berjalan beriringan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Di atas semua itu, TNI harus tetap menjadi institusi yang dicintai rakyat karena integritas dan pengabdiannya.
Sejarah telah membuktikan, TNI selalu hadir ketika bangsa ini menghadapi krisis dari bencana alam, konflik sosial, hingga pandemi. Namun ke depan, kehadiran TNI harus makin bermakna sebagai pendorong kemajuan bangsa, bukan hanya penjaga stabilitas. TNI masa depan adalah TNI yang cerdas, tangguh, dan berjiwa rakyat.
HUT ke-80 TNI bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan momentum strategis untuk meneguhkan arah: dari kekuatan bersenjata menjadi kekuatan moral dan intelektual bangsa.
TNI telah membuktikan dirinya sebagai benteng kedaulatan. Kini saatnya ia juga menjadi pelopor kemajuan, inspirator kepemimpinan, dan simbol persatuan Indonesia yang berdaulat dan bermartabat.
Dirgahayu ke-80 Tentara Nasional Indonesia. Jaya selalu dalam menjaga merah putih, di darat, laut, udara, dan di hati rakyat Indonesia.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |