https://jatim.times.co.id/
Opini

Santri Penjaga Tradisi dan Moral Bangsa

Senin, 20 Oktober 2025 - 22:58
Santri Penjaga Tradisi dan Moral Bangsa Upik Raudhotul Hasanah, S.S., Mahasiswi Aktif Pascasarjana Sosiologi UMM.

TIMES JATIM, MALANG – Satu dekade sudah bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional (HSN), sejak pertama kali ditetapkan pada tahun 2015. Tanggal 22 Oktober dipilih bukan sekadar seremonial, melainkan refleksi sejarah besar: Resolusi Jihad 1945 yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama. 

Seruan jihad fi sabilillah itu menjadi spirit lahirnya perlawanan rakyat terhadap upaya penjajahan kembali oleh Sekutu pasca-proklamasi kemerdekaan.

Momentum ini bukan hanya mengenang masa lalu, tapi juga menegaskan kembali peran strategis santri dalam membela dan membangun Indonesia. Penetapan Hari Santri merupakan pengakuan negara atas jasa besar umat Islam, khususnya para santri, dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keutuhan NKRI.

Kini, setelah sepuluh tahun diperingati, Hari Santri Nasional telah berkembang menjadi ruang refleksi nasional: sejauh mana nilai-nilai pesantren dan peran santri tetap relevan di tengah perubahan zaman?

Santri dan pesantren adalah dua entitas yang tidak terpisahkan. Keduanya menjadi benteng moral, penjaga akhlak, dan sumber nilai-nilai kebangsaan. Di masa lalu, peran santri identik dengan mengajar, berdakwah, dan memimpin pesantren. Kini, spektrum itu melebar. Santri hadir di berbagai sektor politik, birokrasi, ekonomi, diplomasi, hingga dunia teknologi.

Kehadiran mereka di berbagai lini kehidupan menegaskan bahwa pesantren tidak hanya mencetak ahli agama, tetapi juga sumber daya manusia unggul yang berkarakter dan berdaya saing. Pesantren tidak lagi sekadar tempat belajar kitab, melainkan juga pusat kaderisasi pemimpin bangsa.

Dalam perspektif fungsionalisme Talcott Parsons, pesantren menjalankan empat fungsi sosial penting: adaptasi terhadap kemajuan zaman, pencapaian tujuan dalam membentuk generasi berakhlak, integrasi sosial melalui dakwah dan pendidikan, serta pelestarian nilai Islam yang menjadi fondasi moral bangsa. Dari kerangka itu, santri hadir sebagai moral stabilizer di tengah derasnya arus modernisasi.

Sebagai kelompok sosial, santri memiliki peran sosiokultural yang strategis: menjadi perekat persatuan, penjaga moderasi, dan benteng toleransi di tengah kemajemukan bangsa. Dalam konteks teori strukturasi Anthony Giddens, santri berfungsi sebagai agen perubahan sosial yang mampu mengadaptasi nilai lama sekaligus menciptakan struktur baru dalam masyarakat modern.

Hari Santri, dengan demikian, bukan sekadar ritual penghormatan terhadap masa lalu, tapi juga momentum memperkuat kesadaran sosial santri masa kini. Mereka dituntut untuk tidak berhenti di ilmu agama, melainkan memperluas kiprah di bidang ekonomi kreatif, teknologi digital, dan kepemimpinan sosial.

Pesantren sebagai institusi sosial memainkan peran penting dalam pembentukan etika publik dan karakter sosial. Nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab yang ditanamkan di pesantren menjadi modal sosial untuk memperkuat budaya hukum dan demokrasi yang berkeadaban.

Tantangan dan Transformasi di Era Modern

Tantangan terbesar santri di era modern bukan lagi pada soal eksistensi, melainkan pada kemampuan beradaptasi terhadap perubahan. Globalisasi, disrupsi teknologi, dan kompetisi ekonomi menuntut santri untuk keluar dari zona nyaman tanpa kehilangan akar nilai.

Pesantren kini banyak bertransformasi menjadi pusat inovasi pendidikan, mengintegrasikan ilmu agama dengan sains dan teknologi. Kolaborasi antara pesantren, ormas Islam, dan pemerintah menjadi kunci untuk memperkuat posisi santri sebagai subjek pembangunan.

Santri masa kini tak cukup hanya pandai mengaji, tapi juga harus melek data, memahami isu sosial, bahkan menjadi pelaku ekonomi hijau dan digital. Dengan begitu, santri bisa menjadi agen perubahan yang menjembatani tradisi dan modernitas, moralitas dan kemajuan.

Hari Santri Nasional bukan hanya mengenang jasa masa lalu, tapi juga memanggil kesadaran masa depan. Sepuluh tahun perjalanannya adalah cermin bahwa santri tidak boleh berhenti sebagai simbol, tapi harus terus menjadi subjek peradaban.

Di era modern ini, santri tidak cukup hanya menjaga nilai-nilai tradisi, tapi juga harus menjadi motor perubahan bangsa yang mampu menghadirkan Islam yang ramah, progresif, dan relevan dengan tantangan zaman. 

 

***

*) Oleh : Upik Raudhotul Hasanah, S.S., Mahasiswi Aktif Pascasarjana Sosiologi UMM.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.