TIMES JATIM, MALANG – Birokrasi pada idealnya adalah rumah tata kelola: ruang yang memastikan pelayanan publik berjalan baik, anggaran tersalurkan tepat sasaran, dan keadilan administratif bekerja untuk rakyat. Namun kita semua tahu, realitasnya sering jauh dari ideal. Di banyak ruang gelap kantor pemerintahan, birokrasi justru menjadi bilik kejahatan yang direncanakan dengan rapi. Korupsi tidak lagi spontan; ia sistematis.
Penyimpangan bukan lagi kelalaian; ia terstruktur. Seakan-akan, sebagian aparatur negara menjadikan jabatan sebagai pintu masuk memainkan permainan kotor: merancang siasat yang menempatkan rakyat sebagai korban utama.
Kejahatan birokrasi tidak selalu tampak sebagai kasus besar yang diberitakan media. Ia sering bermula dari tanda tangan yang ditunda karena “belum ada alasan yang mempercepat”, dari laporan yang sengaja dipersulit agar ada yang bisa “menguruskan”.
Di titik itu, pelayanan berubah menjadi transaksi. Siapa yang membayar lebih, dialah yang lebih dulu selesai urusannya. Pintu pelayanan publik menjadi semacam gerbang tol ilegal: semua bisa lewat, asal bayar ke oknum yang berjaga.
Yang lebih mengerikan, praktik ini bukan tindakan individu nakal yang berdiri sendiri. Di banyak tempat, ia menjadi bagian dari budaya organisasi. Ada pola, ada aktor kunci, ada mekanisme pembagian hasil.
Sebagian ruang rapat seolah menjadi “laboratorium ide kecurangan”: bagaimana memoles laporan agar cairan dana tetap aman, bagaimana menambah pasal kecil dalam persyaratan proyek untuk memastikan hanya jaringan tertentu yang lolos, dan bagaimana menyusun narasi publik agar semua terlihat sesuai prosedur. Birokrasi menjadi instrumen formal untuk kejahatan informal.
Kita tak bisa berpura-pura buta: angka kasus korupsi yang terus bertambah setiap tahun adalah gejala dari penyakit sistemik. Kejahatan birokrasi kerap dimulai bahkan sebelum proyek pembangunan dimulai di atas meja perencanaan.
Pemilihan penyedia jasa yang sudah “dikunci”, penganggaran yang sengaja dinaikkan agar ada ruang “bagi-bagi”, hingga manipulasi jumlah penerima manfaat program. Semua tampak legal dalam kertas, tapi sangat kriminal dalam kenyataan.
Di desa dan daerah terpencil, dampaknya langsung terasa. Ketika dana pembangunan dipangkas di tengah jalan oleh banyak tangan, yang sampai ke lapangan hanya sisa-sisa tidak layak pakai.
Jalan beton yang retak dalam hitungan bulan, puskesmas tanpa fasilitas memadai, bantuan rakyat miskin yang tidak pernah benar-benar sampai kepada yang berhak. Lalu, siapa yang diminta menjawab? Masyarakat hanya diberi jawaban klise: “Dana tidak cukup,” “Belum ada instruksi,” atau “Menunggu persetujuan.”
Birokrasi seharusnya menjadi tempat orang menaruh harapan, namun malah menjadi tempat mereka belajar kecewa.
Hal lain yang memperparah masalah ini adalah adanya perlindungan internal. Ketika ada satu pegawai berani bersuara, ia dianggap pengkhianat. Whistleblower bukan dihargai, tapi dikucilkan.
Sistem pengawasan internal sering hanya menjadi formalitas; laporan hasil pemeriksaan bisa disimpan di laci selama bertahun-tahun. Yang diutamakan bukan kebenaran, tetapi kenyamanan para pelaku.
Tidak semua birokrat jahat itu pasti. Banyak yang bekerja tulus, melayani rakyat dengan sepenuh hati. Namun sayangnya, mereka terperangkap dalam jaringan yang lebih besar.
Bagi mereka yang mencoba jujur dalam lingkungan bengkok, pilihan yang ada hanya menyesuaikan agar tidak tersingkir, atau melawan dengan risiko dikorbankan. Di titik ini, masalah bukan lagi siapa yang jahat, tetapi sistem yang membesarkan kejahatan.
Kita harus bicara tentang akar masalah: birokrasi sering melindungi dirinya sendiri lebih kuat daripada melindungi rakyat. Transparansi masih dianggap ancaman, bukan kebutuhan.
Data publik banyak yang disembunyikan, bukan karena rahasia negara, tapi karena ada kepentingan gelap yang bisa terbongkar bila rakyat ikut mengawasi. Kepercayaan publik pun terkikis tiap kali ada skandal mencuat.
Pertama, buka akses publik seluas mungkin terhadap informasi anggaran, proyek, dan pelayanan. Ketika data dibuka, korupsi kehilangan ruang sembunyi.
Kedua, perkuat independensi pengawasan bukan hanya internal, tetapi melibatkan lembaga eksternal, masyarakat sipil, dan media. Kontrol publik adalah vaksin bagi birokrasi.
Ketiga, pendidikan etika harus bukan hanya materi pelatihan, tapi praktik harian. Bukan hanya menghafal nilai integritas, tapi memastikan sistem mencegah pelanggaran sekecil apa pun.
Keempat, berikan perlindungan total bagi pelapor pelanggaran. Mereka bukan musuh kantor; mereka sekutu rakyat.
Dan yang paling penting: budaya malu harus dihidupkan kembali. Karena selama korupsi masih dianggap kecerdikan, dan kejujuran dianggap kebodohan, kita akan terus terjebak dalam lingkaran birokrasi kotor.
Kejahatan yang direncanakan dalam bilik-bilik birokrasi adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Ia bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga perusakan masa depan. Korupsi satu proyek hari ini bisa berarti peluang anak bangsa hilang bertahun-tahun ke depan.
Birokrasi boleh memiliki banyak pintu dan prosedur, tetapi satu prinsip harus berdiri paling depan: negara ada untuk rakyat, bukan untuk menguntungkan segelintir orang di balik meja rapat yang tertutup.
Saatnya menyalakan lampu terang di setiap bilik gelap itu. Kejahatan yang terencana harus dihadapi dengan perbaikan yang direncanakan lebih cepat, lebih berani, dan tanpa kompromi.
Karena satu hal yang harus kita ingat: negara tidak mungkin kuat jika birokrasi berdiri di atas kebohongan. Rakyat tidak mungkin sejahtera jika para pelayan publiknya sibuk merampok pelayanannya sendiri.
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |