TIMES JATIM, BONDOWOSO – Di balik udara sejuk dan panorama pegunungan yang memukau, Bondowoso menyimpan persoalan pendidikan yang belum juga tuntas. Rata-rata lama sekolah (RLS) di kabupaten ini pada tahun 2024 tercatat sebesar 6,53 tahun, masih berada di bawah rata-rata Provinsi Jawa Timur yang mencapai 8,11 tahun.
Hal itu berarti banyak warga Bondowoso yang pendidikannya hanya setara dengan tingkat SD atau SMP. Di sisi lain, angka partisipasi pendidikan di tingkat SMA masih terbilang rendah, dengan banyak siswa yang terhambat biaya atau akses untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Akankah kita terus mengandalkan pendekatan lama yang kaku dan berjarak dari kehidupan masyarakat? Cukupkah hanya menunggu regulasi dari pusat atau bantuan anggaran dari atas, sementara anak-anak di desa tidak punya tempat belajar yang layak, atau guru yang bisa menjadi teladan? Kondisi ini menjadi cerminan ketidaksetaraan akses pendidikan di kabupaten kita.
Sudah saatnya Bondowoso melangkah dengan cara baru. Kita membutuhkan pendekatan pendidikan yang berakar dari tanah sendiri—pendidikan berbasis akar rumput. Sebuah pendekatan yang tidak hanya mendekatkan sekolah kepada masyarakat, tapi juga menjadikan masyarakat sebagai bagian penting dari proses pendidikan itu sendiri.
Pendidikan berbasis akar rumput adalah model yang tumbuh dari bawah. Ia hadir dari komunitas, dari desa, dari kebutuhan nyata yang dirasakan oleh warga. Ia tidak rumit. Tidak memerlukan gedung megah atau alat yang mahal.
Ia lahir dari kepekaan, kepedulian, dan kreativitas lokal. Anak-anak tidak sekadar duduk di kelas, tapi belajar dari kehidupan di sekeliling mereka-dari alam, dari budaya, dari pengalaman orang tua dan tetua desa.
Bayangkan sebuah balai desa yang diubah menjadi ruang belajar setiap sore. Seorang relawan muda mengajarkan baca tulis sambil mengaitkannya dengan cerita rakyat lokal.
Di sisi lain, para ibu membuka pojok baca mini dengan buku-buku sumbangan yang disusun rapi di rak kayu sederhana. Anak-anak yang sebelumnya hanya bermain di pematang sawah mulai terbiasa membuka halaman demi halaman buku, sambil bertanya dan berdiskusi dengan riang. (*)
Model ini bisa diterapkan di Bondowoso dengan mudah. Yang dibutuhkan bukan anggaran besar, tetapi keberanian untuk keluar dari pola lama, kemauan mendengar suara masyarakat, dan sinergi antara semua pemangku kepentingan.
Keberhasilan pendidikan berbasis akar rumput ini terbukti di Kabupaten Banyuwangi, yang memanfaatkan potensi lokal untuk mengintegrasikan pembelajaran dengan kearifan lokal.
Ada banyak hal yang bisa dimulai. Misalnya, mengembangkan sekolah berbasis komunitas untuk menjangkau anak-anak di pelosok. Sekolah ini bisa dikelola oleh relawan guru, mahasiswa, atau pensiunan pendidik dengan pendekatan fleksibel dan kontekstual.
Mendorong anak muda Bondowoso kuliah di bidang pendidikan. Jalur cepat perlu dibuka agar kekosongan kepala sekolah bisa segera diisi oleh mereka yang memang memahami karakter daerahnya.
Digitalisasi juga perlu disesuaikan dengan konteks lokal. Kita bisa mengembangkan platform pembelajaran daring Bondowoso Digital School dengan konten buatan guru-guru setempat, dalam bahasa dan budaya yang dipahami siswa. Akses internet gratis di balai desa atau taman baca bisa menjadi pintu masuk ke dunia pengetahuan yang lebih luas.
Tak kalah penting, budaya literasi perlu dirawat dan ditumbuhkan sejak dini. Setiap desa bisa memiliki taman baca sederhana. Kegiatan rutin seperti membaca bersama, kelas dongeng, dan bedah buku bisa diadakan melibatkan PKK, karang taruna, dan BUMDes. Dari sinilah anak-anak belajar mencintai kata-kata, berpikir kritis, dan bermimpi lebih tinggi.
Kita juga perlu menghadirkan pendidikan vokasi yang sesuai dengan potensi daerah. Anak-anak Bondowoso bisa diajari pertanian organik, kerajinan batik, atau digital marketing sejak bangku SMP dan SMA. Sekolah bukan hanya tempat belajar teori, tetapi juga ruang tumbuhnya keterampilan dan kewirausahaan. Jadikan sekolah sebagai inkubasi wirausaha pelajar.
Pernikahan dini, yang masih menjadi isu besar, perlu dicegah melalui edukasi kesehatan reproduksi dan kelas perencanaan hidup di sekolah. Program parenting muda juga penting untuk menjangkau remaja dan orang tua. Semua ini bisa dijalankan dengan melibatkan tokoh agama, kepala desa, dan tokoh masyarakat yang dipercaya.
Akhirnya, semua kebijakan perlu berbasis data. Pemerintah daerah bisa mengembangkan dashboard pendidikan Bondowoso yang memetakan kondisi riil sekolah, guru, dan peserta didik.
Dengan data yang akurat dan real-time, program bisa lebih tepat sasaran dan efisien. Ini akan membantu pemerintah dan masyarakat untuk memantau perkembangan pendidikan dan merumuskan kebijakan yang lebih efektif.
Jika Bondowoso ingin benar-benar menjadi daerah yang membawa berkah, maka pendidikan harus menjadi pondasi utamanya. Tidak cukup hanya membangun jalan dan pasar, tapi juga membangun jalan pikiran dan pasar gagasan. Karena di ujung hari, pendidikan terbaik adalah yang menjawab kebutuhan nyata kehidupan.
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMP Negeri 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional Literasi Baca-Tulis.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |