https://jatim.times.co.id/
Opini

Ditjen Pesantren dan Ancaman Hilangnya Ruh Kemandirian

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 21:03
Ditjen Pesantren dan Ancaman Hilangnya Ruh Kemandirian H. Sutriyono, Mahasiswa S3 Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Darul Falah Bondowoso.

TIMES JATIM, BONDOWOSO – Gagasan Presiden untuk membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren dalam struktur Kementerian Agama dalam beberapa hari terakhir menyedot perhatian luas. Wacana ini muncul di tengah gema Hari Santri Nasional yang baru saja diperingati pada 22 Oktober 2025. 

Banyak yang menyambutnya sebagai hadiah istimewa bagi dunia pesantren pengakuan formal dan lebih kuat dari negara terhadap peran sentral pesantren dalam sejarah keberagamaan, pendidikan, dan pemberdayaan umat di negeri ini. 

Tidak sedikit pula yang melihat langkah itu sebagai sinyal potensi lahirnya hegemoni baru: negara semakin menancapkan pengaruhnya atas lembaga keagamaan yang selama ini justru kuat karena otonominya.

Pesantren adalah institusi pendidikan Islam tertua dan paling mandiri di Nusantara. Sejak masa kerajaan hingga penjajahan dan kemerdekaan, pesantren tumbuh bukan karena negara, tetapi karena masyarakat yang mempercayakan pendidikan moral dan intelektual anak-anak mereka kepada kiai. Identitas pesantren bertumpu pada nilai kemandirian, ketulusan, dan kepatuhan pada otoritas keilmuan sang pengasuh, bukan pada kekuasaan administratif negara. 

Pesantren tidak lahir dari desain birokrasi, namun dari kebutuhan spiritual dan sosial masyarakat Muslim. Justru karena tidak terikat sistem formal negara, pesantren mampu bergerak leluasa, beradaptasi cepat, dan menjaga ruh tafaqquh fi al-din sebagai orientasi utama.

Memang, pesantren kini telah mengalami transformasi besar. Banyak yang mengelola sekolah formal, memberdayakan ekonomi santri, hingga memanfaatkan teknologi digital sebagai media dakwah. Namun perubahan itu tetap bertumpu pada prinsip: pesantren boleh modern, tetapi tidak boleh kehilangan jati diri. 

Kepercayaan masyarakat terhadap pesantren bertahan karena independensinya terjaga. Dari sinilah muncul pertanyaan besar ketika pemerintah merancang Ditjen Pesantren: apakah negara datang untuk menguatkan pesantren, atau justru untuk mengatur, menentukan arah, bahkan mengendalikan?

Di satu sisi, pembentukan Ditjen Pesantren memang tampak sebagai bentuk pengakuan negara yang lebih tinggi, terlebih setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. 

Unit khusus ini diharapkan mampu menyentuh persoalan kepesantrenan secara lebih komprehensif: peningkatan kualitas pendidikan, akses beasiswa, afirmasi bagi pesantren kecil, hingga dukungan ekonomi dan koneksi dunia kerja bagi santri. 

Jika semua itu berjalan sesuai idealitas, tentu pesantren akan semakin kuat dan mampu bersaing di tengah tantangan zaman yang terus berkembang. Dalam kerangka ini, wajar bila banyak yang menyebut Ditjen Pesantren sebagai “kado manis” untuk Hari Santri.

Kado manis pun tetap harus dicicip dengan kewaspadaan. Ada pengalaman masa lalu yang perlu menjadi pelajaran. Rencana baik negara kerap berubah menjadi dominasi kebijakan yang justru membatasi ruang gerak pesantren. Ketika alur pendanaan, akreditasi, hingga kurikulum berada dalam kendali birokrasi, maka pesantren perlahan dapat kehilangan otoritas keilmuannya. 

Kiai yang selama ini menjadi pengendali arah pendidikan bisa terpinggirkan oleh regulasi yang kaku. Dukungan negara berpotensi menjadi alat kontrol, sementara bantuan dapat berbalik menjadi jebakan yang mengikat.

Jika tidak hati-hati, pesantren dapat tergiring untuk lebih sibuk mengejar proyek dan memenuhi standar administratif ketimbang menanamkan nilai keikhlasan, akhlak, dan spiritualitas. Padahal disitulah kekuatan utama pesantren yang tidak dimiliki sekolah umum. 

Modernisasi tanpa etika dapat berubah menjadi domestikasi. Apa jadinya jika ruh pesantren tergerus perlahan karena aturan dari luar yang tidak memahami kultur internal? Apa jadinya jika suatu hari pesantren harus “meminta izin” untuk menjadi dirinya sendiri?

Negara dan pesantren semestinya bersinergi, bukan saling menundukkan. Pesantren butuh dukungan, tetapi negara juga harus tahu batas. Sinergi ideal adalah ketika negara hadir dengan rendah hati, sebagai mitra yang memfasilitasi bukan mendikte. 

Pemerintah mendorong transparansi dan akuntabilitas, sementara pesantren tetap menjaga independensi dan karakter khas keilmuan. Dalam pola seperti itu, Ditjen Pesantren dapat menjadi jembatan emas, bukan jerat halus yang mengikat penuh. Negara perlu menyadari bahwa pesantren adalah mercusuar moral bangsa yang justru kuat karena tidak berada di bawah kuasa birokrasi.

Jika Ditjen Pesantren akhirnya terbentuk dan hampir pasti akan terbentuk maka tantangan utamanya bukan pada struktur lembaga, melainkan pada paradigma yang digunakan untuk menjalankannya. 

Akankah ia menjadi instrumen pemuliaan pesantren? Ataukah menjadi saluran kontrol terhadap peran sosial-politik pesantren di masa depan? Apakah ia akan melindungi kiai sebagai otoritas moral dan ilmiah, atau justru menggesernya di bawah hierarki keputusan birokrasi?

Di titik ini, kewaspadaan bukan tanda penolakan, melainkan bentuk cinta. Pesantren harus tetap menjadi ruang yang melahirkan manusia berilmu dan berakhlak, bukan lulusan yang sekadar memenuhi standar kertas. Ketika negara datang memberi “kado”, pesantren berhak bertanya: hadiah itu untuk siapa? Untuk pesantren, atau untuk memperluas tangan negara?

Keseimbangan adalah kata kunci. Jika negara benar-benar menjadikan pesantren sebagai mitra sejajar, bukan objek pengaturan, maka Ditjen Pesantren akan menjadi langkah maju dalam sejarah pendidikan Islam Indonesia. 

Pesantren akan terus menjadi benteng moral bangsa sekaligus motor kemajuan umat. Tetapi jika keseimbangan itu gagal dijaga, maka kado manis tadi bisa berubah menjadi jeratan birokrasi yang membuat pesantren perlahan kehilangan kekuatan sejatinya.

***

*) Oleh : H. Sutriyono, Mahasiswa S3 Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Darul Falah Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.