TIMES JATIM, MALANG – Indonesia adalah negeri yang dibangun di atas fondasi budaya, agama, dan nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Namun, wajah negeri ini kini semakin banyak dihiasi dengan gaya hidup bebas yang lahir dari arus globalisasi.
Dari pakaian hingga pergaulan, kita menyaksikan perubahan yang begitu cepat bahkan kadang lebih cepat dari kemampuan kita mencerna dan menyiapkan ruang untuk menampungnya. Pertanyaan yang muncul: apakah ini kemajuan, atau justru bentuk keterasingan baru dalam masyarakat kita?
Di kota-kota besar, pemandangan anak muda berpakaian terbuka, nongkrong hingga larut malam, atau merayakan kebebasan dengan berbagai cara, bukan lagi hal asing. Media sosial mempercepat laju normalisasi ini.
Apa yang dulu dianggap tabu kini perlahan dianggap biasa, bahkan dianggap wajar sebagai ekspresi diri. Dunia digital menghadirkan panggung baru di mana gaya, penampilan, dan pergaulan lebih mudah dipamerkan ketimbang dikritisi.
Namun, gaya hidup bebas tidak bisa hanya dilihat dari permukaan. Ada dinamika sosial-ekonomi yang mendorongnya. Konsumerisme, misalnya, tumbuh subur lewat iklan yang membombardir. Anak muda digiring untuk percaya bahwa kebahagiaan bisa dibeli: baju bermerek, kafe kekinian, hingga gaya hidup hedonis.
Mereka tidak sekadar membeli barang, tetapi membeli identitas, membeli pengakuan sosial. Inilah jebakan gaya hidup yang pada akhirnya menelan banyak korban, dari utang paylater hingga depresi karena gagal memenuhi standar gaya yang diciptakan pasar.
Dalam pergaulan, kebebasan juga membawa wajah ganda. Di satu sisi, ada semangat inklusif: anak muda lebih terbuka pada perbedaan, lebih bebas berinteraksi tanpa sekat agama, etnis, atau kelas sosial. Ini adalah sisi positif yang lahir dari kebebasan. Namun di sisi lain, kebebasan ini sering kebablasan.
Fenomena seks bebas, narkoba, hingga pergaulan tanpa batas, menjadi alarm yang tidak bisa diabaikan. Kebebasan tanpa kendali hanya akan menciptakan ruang kosong moral yang menggerogoti masa depan generasi.
Masalahnya, kita sering gagap menghadapi semua ini. Negara cenderung hanya bereaksi dengan regulasi kaku, sementara masyarakat sering terjebak pada sikap menghakimi. Padahal, gaya hidup bebas adalah gejala dari perubahan zaman, dan menghadapinya butuh strategi yang lebih cerdas.
Bukan sekadar melarang, tetapi menawarkan alternatif. Bukan hanya mengkritik, tetapi memberi ruang bagi generasi muda untuk menyalurkan ekspresi dengan sehat dan produktif.
Kita bisa belajar dari kearifan lokal yang sebenarnya kaya dengan nilai. Dalam tradisi Jawa, misalnya, ada konsep *alon-alon asal kelakon* yang menekankan keseimbangan, bukan kebut-kebutan dalam hidup. Di Minangkabau, ada pepatah alam takambang jadi guru, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus diambil hikmahnya.
Nilai-nilai ini bisa menjadi penyeimbang di tengah derasnya arus budaya bebas. Tetapi masalahnya, nilai-nilai tersebut sering hanya menjadi jargon, tidak dihidupkan kembali dalam ruang-ruang publik yang dekat dengan anak muda.
Di sinilah pentingnya peran pendidikan. Sekolah bukan hanya tempat mengajar rumus matematika atau teori ekonomi, tetapi juga ruang membentuk karakter. Sayangnya, pendidikan karakter sering kalah oleh pendidikan yang berorientasi pada angka-angka ujian.
Padahal, di tengah derasnya gaya hidup bebas, karakterlah yang menjadi benteng utama. Jika sekolah hanya sibuk mengejar akreditasi, maka anak didik akan mencari “pendidikan lain” di luar sekolah di jalanan, di media sosial, atau di ruang virtual yang tak pernah tidur.
Keluarga juga punya peran vital. Banyak orang tua yang merasa cukup memberi fasilitas, tetapi lupa memberi teladan. Anak-anak tumbuh dalam rumah yang lebih sering berisi gadget ketimbang dialog, lebih sibuk dengan hiburan ketimbang diskusi nilai. Akibatnya, ketika anak mencari makna, mereka lebih percaya pada influencer daripada orang tua sendiri. Ini bukan sekadar krisis keluarga, tetapi krisis peradaban.
Gaya hidup bebas memang tidak bisa sepenuhnya ditolak. Dunia modern akan terus menghadirkan tren baru, dan generasi muda akan selalu mencari cara untuk mengekspresikan diri. Tetapi kita punya pilihan: membiarkan kebebasan itu liar tanpa arah, atau mengarahkan agar kebebasan itu berbuah pada kreativitas, solidaritas, dan inovasi.
Masyarakat sipil perlu lebih kreatif mengisi ruang kosong. Komunitas seni, olahraga, literasi, hingga kewirausahaan bisa menjadi kanal sehat bagi ekspresi anak muda. Jika ada panggung musik jalanan yang menyalurkan energi, mungkin mereka tidak perlu mencari pelampiasan dalam narkoba. Jika ada ruang dialog yang terbuka, mungkin mereka tidak akan larut dalam pergaulan bebas yang merusak.
Bangsa ini tidak bisa hanya berdiri di persimpangan, mengutuk satu sisi dan membiarkan sisi lain tumbuh liar. Kita butuh arah baru: gaya hidup yang bebas, tetapi juga berakar pada nilai. Sebebas-bebasnya generasi, mereka tetap butuh pijakan. Pijakan itu tidak boleh hilang, sebab tanpa pijakan, kebebasan hanya akan berubah menjadi keterombangan-ambingan.
Gaya hidup bebas adalah cermin. Ia mencerminkan bagaimana bangsa ini mengelola identitasnya di tengah dunia yang terus berubah. Jika kita bijak, kita bisa menjadikan kebebasan sebagai energi kemajuan. Tetapi jika kita lengah, kebebasan hanya akan menjadi jalan pintas menuju kehancuran moral.
***
*) Oleh : Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |