TIMES JATIM, JAKARTA – Di tengah krisis kemanusiaan, ancaman disintegrasi sosial, serta rusaknya ekosistem bumi akibat kerakusan manusia, dunia sangat merindukan sosok pemimpin spiritual yang bukan hanya bicara pada umatnya, tapi juga menyapa seluruh umat manusia dengan pesan kasih sayang dan tanggung jawab moral.
Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, adalah dua tokoh dari dua tradisi agama besar yang telah menampilkan wajah agama yang damai, bersahabat, dan menyelamatkan. Keduanya adalah simbol harapan bahwa agama tidak harus bersuara nyaring dalam konflik, tapi bisa bersinar terang dalam kolaborasi.
Paus Fransiskus dikenal luas sebagai pemimpin Gereja Katolik yang meruntuhkan sekat-sekat eksklusivitas dan membawa gereja kembali ke tengah umat, terutama mereka yang terpinggirkan.
Ia mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan universal, membela kaum migran, melawan ketidakadilan global, serta memperjuangkan hak-hak lingkungan melalui ensiklik Laudato Si’, yang menyebut bumi sebagai “rumah bersama” yang harus dijaga dengan cinta, bukan dieksploitasi.
Cita-cita besar ini ternyata tak hanya hidup di Vatikan, tetapi juga menemukan pantulannya di Jakarta, di jantung Masjid Istiqlal, di tangan Nasaruddin Umar. Sosok akademisi sekaligus tokoh lintas iman ini telah mengubah Istiqlal bukan hanya menjadi pusat peribadatan, tetapi juga rumah dialog, laboratorium perdamaian, dan sekolah peradaban yang ramah terhadap semua kalangan.
Kerja-kerja kemanusiaan dan spiritualitas Nasaruddin Umar menemukan bentuk simbolik dan substansialnya dalam Deklarasi Istiqlal, yang ia tandatangani bersama perwakilan dari Vatikan dan para tokoh agama dunia.
Deklarasi tersebut merupakan wujud nyata dari cita-cita bersama umat beragama untuk membangun dunia yang damai, adil, dan berkelanjutan. Dalam deklarasi itu disebutkan.
“Kami menyerukan kepada umat manusia untuk menjadikan tempat ibadah sebagai sumber perdamaian, bukan konflik; ruang suci untuk refleksi dan solidaritas, bukan provokasi dan perpecahan.”
Ini adalah refleksi nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin sekaligus sejalan dengan semangat Gereja Katolik yang dibawa Paus Fransiskus.
Yang menarik, deklarasi ini tak hanya berbicara tentang hubungan antaragama, tapi juga memuat kesadaran ekologis yang mendalam. Salah satu poin pentingnya berbunyi.
“Kami berkomitmen menjaga bumi sebagai rumah bersama umat manusia. Kerusakan lingkungan adalah bentuk kezaliman terhadap generasi mendatang. Karena itu, tempat ibadah harus menjadi pusat edukasi ekologis dan penggerak gaya hidup hijau.”
Inilah titik temu spiritual antara Paus Fransiskus dan Nasaruddin Umar—yakni keyakinan bahwa bumi adalah bagian dari amanah Tuhan yang harus dirawat dengan penuh tanggung jawab moral dan spiritual.
Dalam berbagai forum, Nasaruddin Umar kerap menyampaikan bahwa Islam mengajarkan prinsip keseimbangan (mīzān) dan menentang segala bentuk kerusakan (fasād) di muka bumi. Maka, menyelamatkan lingkungan hidup bukan sekadar isu sosial, tapi merupakan bagian integral dari penghambaan kepada Tuhan.
Ia menginisiasi langkah konkret dengan menjadikan Masjid Istiqlal sebagai "masjid hijau", yang menerapkan prinsip efisiensi energi, pengelolaan air, serta penggunaan ruang yang ramah lingkungan.
Namun di balik semua harapan itu, dunia baru saja kehilangan sosok besar: Paus Fransiskus dikabarkan wafat. Kabar ini mengguncang komunitas lintas agama. Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin umat Katolik, melainkan salah satu suara moral paling lantang dalam memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan ekologis. Kepergian beliau adalah kehilangan besar, tidak hanya untuk gereja, tetapi juga bagi seluruh umat beragama dan masyarakat dunia yang mencintai perdamaian.
Dalam situasi ini, kehadiran Nasaruddin Umar menjadi semakin penting. Ia disebut oleh banyak kalangan sebagai "Paus-nya dunia Islam"—bukan dalam struktur, tetapi dalam semangat. Ia adalah sosok yang mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam narasi yang membebaskan, menyatukan, dan menyelamatkan.
Di tengah kegalauan global akibat konflik politik, perubahan iklim, dan polarisasi sosial, suaranya menjadi penyejuk dan pengingat bahwa agama seharusnya membangun, bukan menghancurkan.
Dengan kombinasi antara keteduhan spiritual, keluasan wawasan akademik, dan keberanian dalam membangun komunikasi lintas iman, Nasaruddin Umar menjadi figur kunci dalam gerakan Islam moderat global.
Ia tidak hanya menjaga marwah Islam Indonesia di panggung dunia, tapi juga membawa harapan bahwa Islam dan agama-agama lain bisa bekerja sama untuk membangun masa depan yang lebih adil, damai, dan lestari.
Maka, ketika dunia bertanya siapa yang akan melanjutkan cita-cita besar Paus Fransiskus, nama Nasaruddin Umar patut dijawab dengan keyakinan. Ia bukan sekadar tokoh nasional, tetapi warisan spiritual global.
Dari Masjid Istiqlal, ia terus menyalakan obor perdamaian, yang pernah dijaga oleh Fransiskus dari Vatikan. Dan kini, giliran kita semua untuk menjaga api itu tetap hidup.
***
*) Oleh : Muhammad Aras Prabowo, Direktur Lembaga Profesi Ekonomi dan Keuangan PB PMII 2021–2024.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |