TIMES JATIM, MALANG – Sejarah pengampunan hukum tidak bisa dilepaskan dari zaman ketika kekuasaan berada di tangan penguasa absolut. Di masa lalu, raja atau sultan memiliki kuasa penuh atas hidup dan mati rakyatnya. Satu titah dapat membebaskan seorang terpidana, menghapus hukuman, atau memulihkan kehormatan seseorang tanpa melalui proses hukum panjang.
Tindakan ini dipandang sebagai hak istimewa yang melekat pada kekuasaan, bahkan sering dikaitkan dengan legitimasi ilahi. Dalam kerajaan-kerajaan Eropa, pengampunan bukan sekadar instrumen hukum, tetapi simbol supremasi politik yang menempatkan raja di atas hukum itu sendiri.
Dalam teori hukum dikenal Lex Divina (Hukum Ilahi) adalah hukum yang diyakini berasal langsung dari Tuhan, bersifat absolut, universal, dan tidak dapat diubah oleh manusia.
Dalam pandangan teologis-politik, raja dalam sistem monarki absolut sering dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Maka, kehendak raja dipersepsikan sebagai perwujudan kehendak Tuhan.
Konsep ini berakar pada Divine Right of Kings di Eropa abad pertengahan, yang menyatakan bahwa otoritas raja berasal dari Tuhan, bukan dari rakyat. Dengan legitimasi ini, raja memposisikan dirinya sebagai pemegang tertinggi kekuasaan politik sekaligus moral, sehingga setiap perintahnya dianggap memiliki landasan suci.
Disisi yang lain, terdapat Lex Humana (Hukum Manusia) yang merupakan hukum yang dibuat oleh manusia untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Dalam teori klasik, Lex Humana seharusnya tidak bertentangan dengan Lex Divina, karena ia hanya merupakan penerapan praktis dari prinsip-prinsip hukum ilahi dalam konteks kehidupan sosial.
Namun, dalam sistem monarki absolut, batas antara keduanya sering kabur. Hukum manusia menjadi sepenuhnya tunduk pada kehendak raja, dan raja mengklaim bahwa segala kebijakannya sudah selaras dengan kehendak Tuhan.
Namun, perkembangan pemikiran modern mulai memisahkan Lex Divina dan Lex Humana, menempatkan hukum manusia sebagai hasil kesepakatan rakyat melalui sistem demokrasi, dan membatasi kekuasaan penguasa melalui konstitusi yang disebut sebagai teori kontrak sosial (Social Contract Theory).
Di sini terjadi pergeseran besar, penguasa tidak lagi dianggap memiliki hak ilahi absolut, melainkan bertindak sebagai pelaksana mandatori dari rakyat, yang kemudian melahirkan konsep-konsep hukum moderen yang dikembangkan serta dijalankan sampai saat ini di banyak negara dunia.
Kemudian pada perkembangannya hak-hak raja mulai dibatasi, dengan Teori Trias Politica yang merupakan konsep pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga cabang utama agar tidak terpusat di satu tangan, sehingga mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Teori ini dipopulerkan oleh Montesquieu dalam karyanya L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws, 1748). Semangat hukum moderen benar-benar menghilangkan hak-hak absolut yang dimiliki oleh seorang raja, namun demikian kekuasaan raja tidak serta merta dapat dihilangkan sepenuhnya secara utuh, sehingga pada saat lahir hukum modern beberapa hak istimewa masih melekat pada seorang raja secara terbatas, sehingga lahirlah istilah-istilah grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi yang merupakan hak seorang raja secara terbatas (tidak sewenang-wenang dapat diberikan namun perlu didiskusikan dan disepakati dengan cabang kekuasaan yang lain).
Dalam negara modern seperti Indonesia, warisan konsep “hak raja” ini dilembagakan melalui kerangka konstitusi. UUD NRI 1945 Pasal 14 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi, masing-masing dengan mekanisme pertimbangan dari Mahkamah Agung atau DPR. Selengkapnya Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Grasi adalah pengampunan atas pidana yang sudah dijatuhkan, amnesti adalah pengampunan kolektif yang biasanya terkait tindak pidana politik, abolisi adalah penghentian proses hukum sebelum perkara diputus, sementara rehabilitasi memulihkan hak dan martabat seseorang akibat putusan pengadilan.
Walaupun kini dibatasi oleh prosedur hukum dan mekanisme pertimbangan lembaga negara, kewenangan ini tetap bersifat diskresioner sehingga pada akhirnya bergantung pada keputusan Presiden.
Dalam teori negara hukum modern, pengampunan seperti grasi, amnesti, dan abolisi berfungsi sebagai katup pengaman. Sistem peradilan yang kompleks tidak luput dari kekeliruan, dan dalam keadaan tertentu, kemanusiaan menuntut penyelesaian di luar jalur formal.
Grasi dapat menyelamatkan terpidana mati yang menghadapi kondisi kemanusiaan khusus, amnesti dapat memulihkan persatuan pasca-konflik, dan abolisi dapat mencegah perkara yang berpotensi memecah belah bangsa. Namun, di luar teori, praktik di lapangan sering kali memperlihatkan sisi politis dari kewenangan ini.
Pemberian pengampunan kadang diarahkan pada tokoh atau kelompok yang memiliki kedekatan dengan penguasa, atau digunakan sebagai alat transaksi politik demi mempertahankan stabilitas kekuasaan.
Pertanyaannya kemudian, dalam sistem demokrasi, pantaskah satu orang memegang kuasa sebesar ini? Di satu sisi, keberadaan abolisi, amnesti, dan grasi dibutuhkan untuk menegakkan keadilan substantif. Di sisi lain, tanpa pengawasan dan transparansi, ia bisa menjadi instrumen yang merusak kepercayaan publik terhadap hukum.
Mekanisme checks and balances yang ada sering kali hanya formalitas, sehingga pengawasan publik dan pembatasan yang jelas melalui undang-undang menjadi kunci agar hak istimewa ini tidak disalahgunakan, karena kita memegang teguh prinsip “No one is above the law” berarti bahwa tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum.
Sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa pengawasan cenderung kembali pada pola lama, hukum yang tunduk pada tahta. Abolisi, amnesti, dan grasi memang kini berada dalam kerangka konstitusional, tetapi sifatnya tetaplah istimewa, hampir seperti mahkota yang bertakhta di atas hukum.
Tantangannya bagi Indonesia modern adalah memastikan mahkota itu tidak hanya simbol kuasa, tetapi juga lambang keadilan dan kemanusiaan.
***
*) Oleh: Diyaul Hakki, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |